Senin, 30 Maret 2015

30 Maret 2015

Kau yang disana, ternyata betapapun aku berusaha untuk mengingatmu di setiap detik yang kujalani, aku masih saja selalu khilaf. Seperti barusan ! Maafkan aku yang tergoda oleh senyuman dunia lain.
Kau yang disana, kehidupan begitu menyenangkan. Banyak orang yang menyayangi kita dengan tulus di kehidupan fana ini. Tuhan ternyata begitu baik dengan tidak pernah membiarkan kita hidup sendiri di dunia ini. Tuhan memberikan kita keluarga dan teman yang baru setiap harinya.
Kau yang disana, hidup ini memang menyenangkan dan tidak mudah, namun ternyata Tuhan sengaja menciptakan ketidakmudahan itu untuk memacu dan memompa keluar semua potensi dalam diri kita.
Kau yang disana, hari ini aku mensyukuri semua yang terjadi dalam kehidupanku. Mensyukuri ke-belumhadiranmu. Ya, aku bersyukur karena kurasa ini bukan waktu yang tepat.
Kau yang disana, terkadang aku berpikir betapa bodoh melakukan semua ini. Berkicau sendiri, membuat surat cinta yang entah kapan kan terbaca. Tapi aku yakin, kebodohan ini akan berguna suatu saat nanti. Aku tidak ingin gila sendiri, memendam semua yang kurasa dalam hening dan sepi. Aku ingin bebas, mengelana alam pikiran dan berbagi denganmu, pemuda tanpa nama.

Minggu, 29 Maret 2015

29 Maret 2015, 22:05 WIB


Dear kau yang disana, apa kabar ? Semoga baik-baik saja ya :) Rasanya tidak sabar ingin tahu siapa dirimu itu, bagaimana sosok dan perangaimu. Setiap hari, saat detik-detik terasa tidak menyenangkan, satu figur yang kuingat dan kunanti adalah dirimu, imam masa depan yang entah siapa.
Kau yang disana, bagaimana kehidupanmu ? Menyenangkan kah ? Jikalau pun tidak, semoga kau tetap tegar menghadapi segala cobaan yang Tuhan berikan, ingatlah bahwa Tuhan tidak akan memberi musibah yang tidak akan bisa engkau atasi. Oh iya, apa kau seorang aktivis ? Ataukah akademis ? Aku berharap kau tetap menyeimbangkan keduanya, semoga. Kalau pun tidak, setidaknya semoga kita bisa saling mengajari mengenai arti kehidupan.
Kau yang disana, aku selalu berharap kau adalah seseorang dengan mahkota putih dan wajah yang selalu bermandikan air suci, bersujud di suatu tempat yang selalu sejuk. Namun aku tidak mampu berharap lebih, aku malu karena masih belum bisa seperti itu. Bagaimanapun, jikalau ternyata kita bukan orang yang sangat baik, aku hanya mampu berharap semoga Tuhan menyatukan kita untuk berjalan di jalur kebaikan.
Kau yang disana, semoga kehidupan tetaplah menyenangkan untuk kita kecap. Semoga kau selalu berjalan walau terjatuh, tersenyum walau bersedih, mendaki walau melelahkan, menyusur walau dalam kegelapan, membidik walau meleset, memanjat walau jalan menuju puncak tidaklah mudah dan bersahabat. Bertahanlah, sampai akhirnya Tuhan mempertemukan kita untuk saling menguatkan.
Salam rindu, dariku yang berusaha lebih baik sebelum pertemuan itu.

Minggu, 08 Maret 2015

Arkeoastronomis



Arkeoastronomis, banyak orang yang mungkin tidak akan ‘ngeh dengan istilah ini. Istilah yang biasanya hanya dipelajari oleh rumpun ilmu pengetahuan tertentu saja, sejarah atau ilmu perbintangan. Namun tahukah Anda jika arkeoastronomis juga ternyata dipelajari oleh orang-orang yang menyenangi topik Illuminati ? Ya, arkeoastronomis memang erat kaitannya dengan pembahasan mengenai simbol-simbol dalam mitologi Yunani, Romawi Kuno, bangsa Sumeria, Aztek, Maya, Inka, dan sejenisnya.
Arkeoastronomis sendiri merupakan ilmu yang mempelajari mitos, legenda, kepercayaan, dan pandangan pandangan kebudayaan kuno/ pra sejarah di dunia dalam kaitannya dengan astronomis. Oalah, definisi yang sangat rumit dan menjengkelkan syekali #AuthorPekaNih :D
Sebagai asumsi dasarnya, arkeoastronomis ini selalu melihat sisi filosofis suatu kebudayaan. Yang pada akhirnya bertujuan untuk meneliti bangunan megalitik dari segi astronomis dan ilmu huruf (piktogram).
Tonggak awal perkembangan ilmu ini dimulai saat Norman Lockyer menemukan monumen Stonehenge di Inggris pada 1960-an. Setelah diteliti juga oleh Gerald Hawkins, dia berasumsi bahwa Stonehenge merupakan sebuah obsevatorium astronomi kuno mengenai gerakan rasi bintang, gerhana, dan peristiwa langit malam yang lainnya.
Dilihat dari pembahasan di atas, ternyata kita memang harus mengakui satu hal bung ! Nenek moyang manusia ternyata tidak sebodoh yang dipikirkan Charles Darwin dalam teori evolusinya. Mereka justru telah menemukan cara yang lebih efektif untuk menentukan masa tanam dan masa panen. Ya itu, menurut perhitungan perbintangan. Waw, keren keren :)
Ok, segitu aja dulu soal arkeoastronomisnya ya. Nanti Esa sambung ke topik yang lebih menarik lagi. _Aduh, sumpah so’ asik banget ini Author >:(
See you kalian, hohoho *pergi ke Utara pake rusa terbang.

Nenek Itu



Nenek itu menatap jalanan lengang di depannya dengan mata kosong, entah apa yang tengah ia pikirkan. Sesekali tangannnya meraup bungkus cemilan yang ia jual sendiri. Langit memang sedang mendung, bahkan beberapa air kasihnya telah jatuh menyejukkan bumi sedari tadi. Suasana begitu mungkin membuat nenek itu merasa lapar, atau mungkin bosan ? Karena tak seorangpun pembeli menghampirinya untuk sekedar menyapa atau bahkan membeli.
Nenek itu memang sering disini, berjualan makanan ringan yang juga ber-budget ringan (khas sekali dengan kantong makhluk-makhluk kost’an). Ia selalu ramah, tersenyum pada siapapun yang memandangnya. Senyum itu juga seringkali dibumbui dengan kalimat penawaran yang terdengar lembut. Mungkin usia telah menjadikan suaranya terdengar lebih bijak bak seorang ibu atau nenek pada umumnya.
Khayalanku terbang jauh, jujur saja aku kurang mendengarkan diskusi angkatan kala itu. Maklum, ada yang lebih menarik bung ! :D
Aku heran kenapa nenek itu memiliki nasib demikian. Dalam kondisi demikian sebenarnya siapa yang harus dipersalahkan ? Takdir atau diri kita sendiri. Akh tapi sepertinya aku merapat ke pemikiran Aliran Qadariyah saja (haha, maafkan muridmu ini Pak Nurul Fajri/ Read : guru Akidah Akhlak Esa).
“Tuhan tidak akan pernah mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya”. Sepertinya kita harus berlari lebih kencang lagi Bro, menjauh dari garis kekurangan yang begitu dekat dengan orang-orang yang kurang beruntung. Kita mungkin bergelimang harta hari ini, tapi punya siapa ? Kebanyakan dari kita cuma bisa ngaku harta orangtuanya saja. So, mungkin cara yang paling tepat untuk semuanya adalah ‘Pendidikan’. Ya, sudah jadi rahasia umum kalau pendidikan yang bermutu bisa membawa kita kepada harta, tahta, dan .... (you know what I mean). Tapi harta, tahta dan .... (temannya) belum tentu akan membawa kita kepada pendidikan yang bermutu.
Tolak ukur bermutu di atas juga tidak harus selalu ditunjukan dengan keberadaan kita di ruang kelas yang mewah, buku paket yang banyak dan berkualitas, belajar secara bilingual, dsb. Tapi bermutu disini artinya dilihat dari seberapa kuat tekad kita untuk meningkatkan kualitas diri melalui pendidikan. Tidak harus serius (karena itu membosankan), hanya perlu santai tapi pendidikan selesai dengan hasil memuaskan (konsep pendidikan itu meresap ke dalam otak, bukan ke dalam buku catatan saja).
Ok, akhirnya ucapan terimakasih layak Esa sampaikan kepada nenek itu. Karena diamnya mengajarkan kita mengenai satu hal yang bermakna. Biarkanlah takdir dan bahagia yang merangkul nenek itu,  tentunya dengan syarat ikhlas yang ia pegang teguh. Semoga akan ada banyak orang lagi yang belajar dari nenek itu, mengenai apapun yang lebih berarti daripada yang Esa tulis :)

Dia


Dia adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ibunya hanya mengurusi rumah tangga kala itu, sedangkan ayahnya adalah salah seorang produsen makanan tertentu. Dia, adalah seorang wanita, yang tangguh dan berani.
Wanita itu memiliki kisah hidup yang tidak terlalu indah. Ya, kedua orangtuanya bercerai karena masalah orang ketiga, ayahnya menikah lagi ! Tanpa sepengetahuan ibunya, tapi justru dengan restu dari nenek yang selama ini tinggal di atas atap yang sama dengan mereka.
Tuhan mungkin tengah menguji keluarganya, tapi ternyata ujian itu terlalu berat untuk dijalani. Hingga akhirnya dia dan kedua adiknya hidup harus tanpa keluarga yang lengkap, ayah dan ibu yang jauh. Antara Pelabuhanratu, Parungkuda dan Jeddah.
Masa kecil yang suram ternyata tidak cukup Tuhan beri untuk mengujinya. Beranjak dewasa, dengan terpaksa dia harus menikah dengan seorang lelaki kasar yang tidak dicintainya. Hancur ? Pasti, apalagi saat itu dia memiliki cinta pertama yang tidak mungkin ditinggalkan begitu saja.
Pernikahanpun digelar, cinta pertamanya datang memberikan selamat dengan aroma alkohol yang kuat di sela-sela ucapannya. Tuhan memang benar-benar mencintainya, kehidupan pernikahan juga berjalan dengan tidak mulus. Hampir sama dengan orangtuanya ? Tidak, ini lebih parah.
Suami wanita itu ternyata orang yang benar kasar, main pukul dan main perempuan. Hari-hari berat dia jalani dengan merawat dua buah hatinya. Sesekali ia menangis, merangkai kata-kata rindu pada cinta pertama yang tiada (ternyata tak lama kemudian setelah pernikahannya, laki-laki itu jatuh sakit dan meninggal dunia).
Malam dan kesunyian adalah sahabat sejati yang cukup baik dan setia. Senandungnya mengiramakan melodi hati yang tak terungkap. Lembaran cerita kehidupan itu perlahan menumpuk menjadi satu bundel penuh perih. Suatu waktu bahkan ia melukai dirinya sendiri, hanya untuk menggoreskan sedikit noda merah pada lembar yang suci itu.
Setiap harinya ia berusaha belajar tertawa se-natural mungkin. Bukan karena kesenangan yang dikecap, hanya demi buah hati yang ia cintai. Ya, lantunan manjanya kepada Tuhan hanya berisi tentang permohonan bahagia untuk peri-peri kecil itu !
Kini waktu tengah berbaik hati kepadanya, peri-peri kecil itu mulai tumbuh dewasa. Bahkan mereka tumbuh dengan spesialisasinya masing-masing. Mereka pencipta ! Tulisan sederhana, gaun-gaun menawan, animasi lucu, dan entah apalagi kejutan Tuhan yang lainnya.
Semoga Tuhan dan waktu memang selalu memberinya senyuman, yang lebih hangat dan bermakna dari masa lalu.