Rabu, 30 Maret 2016

Bunga Rampai ke sekian

Kita bisa menyukai dan menuliskan banyak nama dalam kehidupan kita.
Masalahnya hanya terletak pada seberapa lama nama itu tertulis dan bertahan.

(Tentang Bunga Rampai yang kubuang di tengah pagi)

Semoga saja....

Aku berdoa semoga si penakut hujan itu menemukan apa yang seharusnya ia temukan.
Kebahagiaan, keikhlasan, dan cinta yang semestinya.

Iya aku tau dia masih dalam tahap pencarian, entah itu jati diri atau karakter dan sebangsanya.
Hanya saja semoga apa yang kulihat darinya bukanlah suatu kebenaran.

"Semoga saja, ah iya dan jangan lupa berbahagialah dengan hidup berwarnamu".

Catatan Pagi ke sekian

Rasanya ingin tertawa, terlebih pada diri sendiri.
Lucu sekali, aku ternyata salah menuliskan nama tokoh utama.
Itu bukan dia, yang bercabang dan membingungkan.
Iya aku menyesal, dan untuk saat ini ingin tertawa lebih keras.

(Catatan Sebuah Pagi yang Baik, Pagi yang Membisikan Kesadaran)

Selasa, 29 Maret 2016

Sepertinya....

Sepertinya aku tidak akan merengek lagi, tentang sebuah hubungan yang selalu berjudul 'kabur'.

Aku juga sedikit bosan dengan bualan mereka, tentang wanita dan segala kelemahannya.

Aku akan berusaha untuk terlihat kuat, biar mereka tidak tahu dimana aku akan terjatuh.

Aku wanita, dan aku bangga. Mengambil langkah seribu lantas membuat kau dan mereka 'sadar'.

Senin, 28 Maret 2016

Mumas yang Hampir Berakhir

Mari kita mulai pelayaran ini dengan senyuman.
Lantas semoga mengakhirinya dengan hal yang sama.

Perjuangan ternyata belum usai, masih panjang.
Semoga selalu berusaha saling menguatkan.

Tentang kisah yang baru saja dimulai,
tentang MUMAS yang hampir berakhir.

Senin, 28 Maret 2016 pukul 04.50 WIB

Jumat, 25 Maret 2016

Sial!

Aku merebahkan kepalaku di atas lengan kanannya, menatap langit-langit kamar, di tengah senja yang menua.

Tiba-tiba dia memelukku lantas mengatakan 'rindu'.
Aku terdiam, bingung kemudian ragu.

"Kenapa?"
"Gapapa, pengen meluk aja"
"Kamu kenapa?" aku mengulang pertanyaan sebelumnya.
"Gak tau, kangen aja sama kamu"

Lantas puncak gunung es dalam hatiku sedikit mencair.

Aku menarik nafas panjang, seakan mengeluarkan sisa-sisa kecanggungan dalam hati.

"Hhhh, ayo kita kayak gini aja" ucapku ringan.
"Iya" gumamnya pelan, lantas kita terdiam beberapa saat, sibuk dengan pikiran masing-masing.

Entah apa yang tengah menganggu pikirannya, dia kembali memelukku, lebih erat hingga terasa menyesakkan.

Bernafas teratur hingga acak, tepat di atas ubun-ubunku.

Aku berusaha melirik, mendongkak dan sedikit berupaya melepaskan diri dari pelukannya. Mata kami bertemu, lantas saling menatap lebih dalam.

Secara tidak sadar Sang Waktu menggiring kami untuk lebih dekat, bahkan terlalu dekat.

Kami hampir melakukannya, namun aku segera mengalihkan pandangan seraya mengumpat pelan ''sial''.

Aku mengutuk tiga hal: kepolosan, rasa penasaran, dan kebodohanku.

Dia mengecup keningku lembut, hingga kami kembali terjebak dalam diam.

Entah bagaimana caranya, wajah kami kembali mendekat, terlalu dekat.

Semua terjadi, dengan cepat, bahkan terlalu cepat.

"Kesalahanku!"

Lantas semua terhenti, sebelum terlalu jauh.

"Maafin kakak, Nad". Dia memelukku spontan dengan pelukan menyesal. Dan tanpa sengaja aku menangis, merasa aneh serta bersalah.

"Shuuut, jangan nangis". Dia mengusap kepalaku, mencairkan situasi, tapi gagal. Aku masih menangis, linglung, dan tak sengaja membuatnya menambah penyesalan.

"Kakak jahat ya, Nad?"
Pertanyaan yang racau, namun tanpa sadar aku mengangguk_mengiyakan.

"Maaf...." kata yang terucap dengan sendu, menusuk.

Kemudian tangisan sedu yang lain terdengar, bukan dariku, aku berusaha mendongkakkan kepalaku namun tertahan. Dia memelukku terlalu erat, menahan agar tidak bisa melihatnya.

"Kakak kenapa?" pertanyaan bodoh pertama.
"Udah kamu diem aja, Nad"
"Kenapa?" pertanyaan bodoh kedua, suara yang terdengar sayup karena berusaha menerobos pelukannya.

Aku menyerah, patuh.

"Kamu udah sayang sama kakak, tapi malah kakak kecewain. Maaf ya, Nad. Harusnya aku bisa nahan diri".

Lantas puncak gunung es dalam hatiku kembali mencair.

"Maafin aku kak" ucapku kemudian. Penyesalanku bertambah, rasanya menyedihkan karena tanpa sengaja membuatnya bersedih.

Entahlah.
Rasanya memang tidak adil, tapi ini semua jelas kesalahan kami berdua. Terlalu dekat membuat emosi kami semakin besar, lantas tertaut.

Ah sial. Tetaplah disini, jangan buat aku rindu.

Rabu, 23 Maret 2016

De Javu.

Sekali lagi, kuperhatikan Kota Kembang dengan tatapan sedih yang tertahan. Kota yang nampak semakin kecil seiring naiknya pesawat yang kutumpangi itu, akan selalu teringat dalam hati dan pikiran. Kota yang mempertemukanku dengan seseorang yang tersebut sebagai keju.

Aku menarik nafas panjang, menutup mata lantas bersenandung tentang lagu rindu yang kuciptakan di Teras Cikapundung senja kemarin.

"Selamat tinggal keju, semoga Tuhan menjagamu untukku...." bait terakhir yang kulafalkan dengan sedikit pilu, nyatanya juga memantik bulir bening yang sedari tadi menggantung ragu di kedua sudut mataku.

Waktu curang, mereka berlari terlalu cepat! Padahal aku masih senang ada disini.

Aku masih senang menatap senja dari atap kosan, menatap malam dari balkon sekre, lantas menatap keju dari kelam dan hening yang berkawan.

Iya! Kemanapun aku pergi, nyatanya dengan sengaja aku juga mengajak keju untuk pergi bersamaku_walau dia hanya berwujud kenangan manis yang sedikit menyakitkan dan candu.

Biar, biarkan saja semua ini. Toh mencintainya sudah menjadi suatu kebiasaan yang sulit hilang.

"Selamat tinggal keju, semoga setiap hari Tuhan berkenan memberimu bahagia.

Selamat tinggal, jangan cemas_kau akan selalu menjadi keju-ku.

Keju yang selalu bermain dalam otak dan hati polosku.

Keju yang manis, yang selalu terindukan di setiap senja.

Keju yang meninggalkan bayangannya di pelupuk mataku.

Keju yang mungkin akan kutemui lagi suatu saat nanti."

"Selamat tinggal keju, semoga Tuhan menjagamu untukku...." sekali lagi, lantas bait itu terlafalkan dengan tangisan.

Biar, biarkan saja semua ini. Toh mencintainya sudah menjadi suatu kebiasaan yang sulit hilang.

Byba.

Aku berbaring santai, menatap lambang itu dengan tatapan kagum_berulang kali tanpa jenuh. Lambang segi lima yang ditembus dengan sebuah panah putih yang berani

....lambang salah satu organisasi pecinta alam tertua yang ada di kampusku.

Seperti yang pernah kukatakan, dia adalah rumah, yang terindukan ketika jauh dari Bandung.

Berdiri 39 tahun yang lalu, dengan ratusan anggota yang terikat secara emosional menjadi kakak-adik ketemu gede yang solid dan hangat.

Aku bangga berperan sebagai anggota keluarga-nya, senang memiliki mereka di tanah rantau

....bukan hanya rumah untuk yang haus suasana keluarga, dia juga rumah untuk berkarya_apalagi dalam hal tulis-menulis dan film pendek bergenre lingkungan atau aktivitas minat khusus.

Sekali lagi, aku bangga berperan sebagai anggota keluarga-nya.

Sebagian, bahkan banyak orang menganggap jika Mahasiswa Pecinta Alam adalah mereka yang urakan_jarang mandi dan kucel,

....tapi disini tidak. Mungkin karena tuntutan jurusan atau karena perkembangan zaman, kami tidak banyak berbeda dengan mahasiswa lain dari segi fisik_tapi tidak pola pikir

....pendidikan dasar yang diterapkan dengan sistem yang keras dan ketat akan membentuk pribadi yang lebih kuat dalam menghadapi persoalan hidup.

Kami bahkan diajari langsung oleh alam mengenai bagaimana manisnya perjuangan dan doa. Lantas bagaimana merasa dekat dengan-Nya ketika melihat secara langsung laboratorium alam yang maha besar nan indah ini.

Seperti yang pernah kukatakan, dia adalah rumah, yang terindukan ketika jauh dari Bandung.

Ah iya, disini pula aku bertemu dengannya, dari bawah organisasi yang sama: di bawah cahaya segi lima berpanah putih.

Namanya byba, mahasiswa tingkat sekian yang secara tidak sengaja dekat denganku sebagai kakak terbaik. Jangan katakan ini friendzone, karena bukan. Jangan juga sebut ini brotherzone, karena bukan.

Sebut saja ini twilight zone, anggap saja demikian. Biar temaram, kabur, dan sedikit tenang.

Aku pertama kali bertemu dengannya di taman kampus, masa Penerimaan Mahasiswa Baru. Kebetulan, dia tengah bertugas sebagai kakak pembimbing selama masa kaderisasi

....berdarah Ciamis dan Belanda. Senang menelusur dan memetakan gua, juga Rock Climbing dan Canyonning (menuruni air terjun dengan tali kernmantel).

Bagiku byba adalah candu, yang tengah kuputus pengaruhnya.

Biar tidak sakit, biar dia bahagia.

Aku, lagi.

Namaku esa, jangan pake huruf besar, biar sedikit sadar mengenai arti kesederhanaan

....gadis usia 20 yang senang menulis catatan di blog lantas mempublikasikannya secara terang-terangan atau diam-diam.

Aku mahasiswi tingkat dua di salah satu perguruan tinggi terkemuka di Bandung, sedang dalam masa pencarian jati diri_seperti yang mereka bilang.

Kebiasaanku sederhana, semenjak menjadi salah satu anggota pecinta alam, aku berubah menjadi gadis yang tidak senang berjamur di kosan, malah lebih senang tertawa riang di bangunan berlantai empat_yang sebenarnya sekre tapi selalu kusebut rumah.

Kalau sedang tidak ada kuliah, aku juga senang duduk-duduk santai di depan fakultas, tepatnya di bawah pohon alpukat dewasa yang sudah lama malas berbuah. Disampingnya juga ada pohon jambu dan beberapa semak, cukup efektif untuk sedikit bersembunyi dari tatapan mata dosen yang melintas.

Duduknya bareng-bareng, banyakan_sambil tertawa dan bercanda, kadang juga sambil diskusi tentang hal-hal serius yang sedikit intelek. Tempat duduknya beragam: kursi tembok, lantai kotor, batu besar yang berada tepat di bawah semak, atau di hamoock yang dipasang khusus kalau sedang ingin.

Bagiku menulis adalah sebuah kebiasaan lain yang menyenangkan, candu. Dan setiap penulis harus memiliki subjek tulisan dan genre cerita. Maka yang tertulis disini adalah subjek dan genre yang dipilih sesuai kata hati.

Aku menyukai keju, yang unik. Menyukai senja, yang cantik. Lantas menyukainya, yang menarik.

Lupakan.

Waktu Itu

Aku merebahkan kepalaku di atas lengan kanannya, menatap langit-langit kamar, di tengah senja yang menua.

Tiba-tiba dia memelukku lantas mengatakan 'rindu'.
Aku terdiam, bingung kemudian ragu.

"Kenapa?"
"Gapapa, pengen meluk aja"
"Kamu kenapa?" aku mengulang pertanyaan sebelumnya.
"Gak tau, kangen aja sama kamu"

Lantas puncak gunung es dalam hatiku sedikit mencair.

Aku menarik nafas panjang, seakan mengeluarkan sisa-sisa kecanggungan dalam hati.

"Hhhh, ayo kita kayak gini aja" ucapku ringan.
"Iya" gumamnya pelan, lantas kita terdiam beberapa saat, sibuk dengan pikiran masing-masing.

Entah apa yang tengah menganggu pikirannya, dia kembali memelukku, lebih erat hingga terasa menyesakkan.

Bernafas teratur hingga acak, tepat di atas ubun-ubunku.

Aku berusaha melirik, mendongkak dan sedikit berupaya melepaskan diri dari pelukannya. Mata kami bertemu, lantas saling menatap lebih dalam.

Secara tidak sadar Sang Waktu menggiring kami untuk lebih dekat, bahkan terlalu dekat.

Kami hampir melakukannya, namun aku segera mengalihkan pandangan seraya mengumpat pelan ''sial''.

Aku mengutuk tiga hal: kepolosan, rasa penasaran, dan kebodohanku.

Dia mengecup keningku lembut, hingga kami kembali terjebak dalam diam.

Entah bagaimana caranya, wajah kami kembali mendekat, terlalu dekat.

Semua terjadi, dengan cepat, bahkan terlalu cepat.

"Perasaan ini!"

Lantas semua terhenti, sebelum terlalu jauh.

"Maafin kakak, Nad". Dia memelukku spontan dengan pelukan menyesal. Dan tanpa sengaja aku menangis, merasa aneh serta bersalah.

"Shuuut, jangan nangis". Dia mengusap kepalaku, mencairkan situasi, tapi gagal. Aku masih menangis, linglung, dan tak sengaja membuatnya menambah penyesalan.

"Kakak jahat ya, Nad?"
Pertanyaan yang racau, namun tanpa sadar aku mengangguk_mengiyakan.

"Maaf...." kata yang terucap dengan sendu, menusuk.

Kemudian tangisan sedu yang lain terdengar, bukan dariku, aku berusaha mendongkakkan kepalaku namun tertahan. Dia memelukku terlalu erat, menahan agar tidak bisa melihatnya.

"Kakak kenapa?" pertanyaan bodoh pertama.
"Udah kamu diem aja, Nad"
"Kenapa?" pertanyaan bodoh kedua, suara yang terdengar sayup karena berusaha menerobos pelukannya.

Aku menyerah, patuh.

"Kamu udah sayang sama kakak, tapi malah kakak kecewain. Maaf ya, Nad. Harusnya aku bisa nahan diri".

Lantas puncak gunung es dalam hatiku kembali mencair.

"Maafin aku kak" ucapku kemudian. Penyesalanku bertambah, rasanya menyedihkan karena tanpa sengaja membuatnya bersedih.

Entahlah.
Rasanya memang tidak adil, tapi ini semua jelas kesalahan kami berdua. Terlalu dekat membuat emosi kami tersulut, semakin besar, lantas saling tertaut
.
.
.
Ah iya, hari itu.
Memandangmu sebagai sebuah kesalahan hanya akan membuat kita semakin jauh.
Dan kini aku menyesal, menyesali sang waktu yang selalu berjalan lebih cepat. Sedang aku belum siap menjauh
.
.
Rasanya ingin bergumam, tapi ragu. "Tetaplah disini, jangan pergi, jangan buat aku rindu".

Ambisi 'Memiliki'

Salah satu hal yang paling sulit dari mencintai adalah berusaha untuk tidak berambisi 'memiliki'.

Namun jika nyatanya egoisme lebih besar dari pada ketulusan, maka manusia harus bersabar dengan seluruh perasaannya yang menyiksa (karena terlalu menuntut).

Entah, sepertinya hanya orang yang rajin berlatihlah yang akan mampu bersikap tulus. Maka semoga Tuhan mengijinkan kita menjadi bagian daripadanya.

(dandelionliar.blogspot.com)

Kamis, 17 Maret 2016

Teruntuk Ceu Bancet

Dia perempuan, tapi sering terpanggil sebagai Ceu Bancet, terinspirasi oleh binatang yang selalu ia sebut kalau sedang sedih atau marah. Bancet adalah anak katak yang masih orok.

Ceu Bancet seperti bank data, yang menyimpan banyak rahasia, mengenai aku dan segala hal yang sempat terpikirkan.

Ceu Bancet yang setia menunggunya, pria tinggi kurus yang dinginnya sedingin es, dan juteknya menggemaskan.

Ceu Bancet yang senang memperhatikan foto orang, lantas membuat sketsa, dan menghadiahkannya di hari kelahiran mereka.

Ceu Bancet yang senang menari, berjualan cibay, dan berpetualang naik beberapa gunung sama abang dan kawan-kawannya.

Ceu Bancet, terima kasih karena sudah terlalu sering mendengarkan. Semoga Tuhan memberi jalan kehidupan yang lebih baik dari jalan hidup ibu kita. Semoga berbahagia dengan penantian akan jodoh yang halal, semoga setia mendekatiNya.

Dariku, yang sedang mager.

Hadiah dari Jane Austin

Aku menatap kedua sepatu itu lekat-lekat, lantas menggores beberapa motif bunga yang terlukis di sampingnya.

Sedikit tertawa, aneh.
Jane Austin menghadiahkan sebuah cerita yang manis tapi menyedihkan, mengenai sebuah cinta yang disalahpahami. Mengenai persahabatan yang terlampau hangat.

Aku jadi ingat kisah beberapa tahun lalu, saat aku masih terbiasa dengan rok abu dan baju putihnya.

Aku terlalu menyenangi sahabatku, hingga merelakan seseorang untuk dia miliki.

Tampak seperti kebodohan yang disengaja? Padahal bukan, menurutmu siapa orang yang dengan rela disakiti? Kecuali orang bodoh tentunya.

Dan kau, apa kau mengira aku bodoh?
Keterlaluan, aku mengutuk kejujuranmu dan kebenaran kisah itu.

Hadiah dari Jane Austin, mengajarkan sedikit hal unik kepadaku. Bahkan merelakan dan direlakan adalah dua hal yang berkaitan, yang harus ditempatkan sesuai ruang dan masa yang tepat.

Jangan menyalahpahami cinta, apalagi membuatnya nampak rumit karena terbumbui oleh egoisme diri dan keterpaksaan. Jalani saja seperti kita bernafas, berkesinambungan tanpa berusaha untuk kembali ke hembusan nafas sebelumnya, atau tidak juga berusaha untuk memburu nafas selanjutnya.

Begitu saja, hadiah yang sederhana Jane.

Surat untuk Mamah

Mah, tekstur tampias air di kamarku semakin kompleks. Bau novel juga semakin kuat. Tapi sayangnya rasa rindu kepadamu justru seakan memudar.

Mah, aku takut. Takut menjadi orang yang keras hati dan buta akan kebajikan. Aku takut memasukan kalian ke api yang berkobar, aku takut demikian.

Tapi maaf, Mah. Aku masih senang berbicara, niatku hanya sebatas lisan bergerak. Masih belum kaffah dalam bertindak.

Mah, doakan aku menjadi manusia yang mudah menangis, bukan karena cinta kepadanya, tapi cinta kepada-Nya.

Semoga Ia selalu memberimu bahagia, walau dalam malam yang sangat hening.

Rabu, 16 Maret 2016

Membual untuk Kesekian Kalinya

"Apa kamu sakit melihatnya tertawa riang bersama wanita lain?"
"Iya, sedikit. Mungkin, aku gak tau"

"Apa kamu ikhlas kalau ternyata dia pacaran sama salah satu saudara kamu?"
"Ikhlas, cuma paling ngerasa kehilangan aja"

"Menurut kamu, profesionalitas atau perasaan?"
"Profesionalitas, walau ternyata biasanya secara nggak sengaja aku malah mendahulukan perasaan"
.
.
Tiga pertanyaan, tiga jawaban untuk malam ini. Tentang kisah yang belum berakhir, tentang Yudan-Ja dan februari-nya.

Hari ke-230 dari 1000 hari yang telah kuproyeksikan.

Lucu, ternyata sebagian besar hari itu kuhabiskan dengan memikirkanmu, bukan memikirkannya. Padahal niat hati 1000 hari itu kusiapkan untuk melupakan atau menguatkan perasaan kepadanya.

Aduh manusia!

Iya, mungkin itu semua terjadi karena aku hanyalah manusia. Yang hanya memiliki pensil untuk menulis, sedang Tuhan tetap jadi pemilik penghapusnya.

Entah, aku bisa bilang apalagi. Aku jemu, berpikir mengenai sesuatu yang tidak seharusnya terpikirkan. Berpikir sendiri mengenai kisah yang tidak berjudul.

Aduh bodoh!

Aku terlalu bodoh untuk bersikap seperti wanita dewasa yang elegan, apalagi di hadapan seorang pria.

Aku masih senang berbicara sesuka hati, lantas bertindak seingin diri.

Aku terlalu banyak bicara --"
Hingga terkesan sebagai pembual ulung.

Konyol, ini semua konyol.
.
.
Kami berjalan beriringan, bersebelas, di tengah malam yang temaram sehabis hujan.

Aku memainkan syal dengan menunduk, hingga Diana menepuk pundak dan bertanya.

"Kamu kenapa?"
"Menyerah kayaknya, Di"
"Jangan sakit, kamu tidak akan pernah tersakiti selama kamu tidak membiarkan siapapun untuk menyakitimu". Aku tersenyum, kata-kata yang bijak, sayang bukan untukku.

Iya, tidak ada yang berusaha untuk menyakitiku. Ini hanya skenario palsu yang kuciptakan sendiri. Tidak ada yang salah selain isi kepalaku, semua baik-baik saja. But its fearless,

Hanya saja, aku memang menyerah. Menyerah untuk berpikir mengenai ketidakprofesional-an ini. Aku lupa bahwa ikatan emosional itu tidak seharusnya dinodai oleh ikatan yang lain. Aku terlalu jauh menulis, hingga lupa genre apa yang seharusnya kumainkan. Aku terlalu jauh berpikir, hingga lupa alur cerita yang seharusnya kuikuti.

Iya, malam ini aku berniat untuk menyerah.

Hanya tidak berjanji, takut membual lagi seperti hari kemarin.

Tapi setidaknya niat ini sedikit berbeda, tersaksikan. Terima kasih, ayo kita kembali ke lembar awal, saat secara tulus aku berusaha untuk menjadi saudara yang baik.

Semoga aku tidak sedang membual, membual untuk ke sekian kalinya.

Selasa, 15 Maret 2016

"Aku jahat, karena aku manusia"

Aku jahat, karena aku manusia. Yang senang berlaku egois, dalam hal apapun.

Aku jahat, karena aku manusia. Yang berusaha untuk hidup dengan orang yang dia cinta, bagaimana pun situasinya.

Aku jahat, karena aku manusia. Yang lupa jika tidak semua perasaan bisa sama, bagaimana pun menariknya hati.

Aku jahat, karena aku manusia. Yang khilaf bermain hati dan bertindak di luar norma religius.

Aku jahat, karena aku manusia. Yang tanpa sengaja menyudutkan pihak lain lantas membuatnya seakan jahat, padahal tidak.

Aku jahat, karena aku manusia. Yang lupa bahwa setiap jiwa itu milik Tuhan, bukan milik sesamanya.

Aku jahat, karena aku manusia. Yang senang berlaku egois, dalam hal apapun.

Ayo Hentikan, Kau Tidak Jahat.

Aduh, diriku.
Mari kita hentikan, semua ini sangat lucu.

Bukan dia, aku saja.
Aku terlalu senang menonton drama, bahkan menulis skenarionya secara langsung.

Jahat sekali, benar, aku jahat.
Dia tidak, tidak pernah.

Sepertinya aku harus segera membangun skenario sebaliknya, yang lebih realistis, bukan khayalan.

Ayo berusaha lebih keras, diriku. Jangan buat dia semakin terlihat jahat, karena tidak.

Aduh, dirimu.
Aku ingin hentikan, semua ini sangat lucu.

"Kamu tidak akan mati karena terlalu mencintai"

Pagi, lagi. Dua hari yang lalu, aku berniat untuk menjauh_sejenak. Bukan membencimu, hanya tengah berdamai dengan diriku.
Iya, aku sedang berusaha untuk mencintai orang dengan dewasa, mencintai orang dewasa, bersikap lebih dewasa.
Walau sebenarnya aku masih belum mengerti bagaimana caranya -,-'
Yang jelas, seperti yang selalu mereka katakan, mencintai orang dengan tulus.
Ketulusan yang terletak dari memberi.
Maka tidak akan ada yang sakit hati, apalagi dalam kisah cinta tanpa judul.
Jangan pernah berpikir ini menyedihkan, karena tidak. Ini menyenangkan.
Ketulusan tidak akan menorehkan luka.
Kalau pun iya, maka luka sakit hati tidak ada artinya jika dibandingkan dengan rasa bahagia saat mencintai.
Maka, tenang saja. Kamu tidak akan mati karena terlalu mencintai.
Sekian, selamat pagi kekasihnya.
Rindu, sedikit, eh banyak.
(Seribu Hari Menanti Hujan - dandelionliar)

Senin, 14 Maret 2016

Brother Zone

Guys, kali ini kita bakal bahas sedikit mengenai brother zone yang tengah marak terjadi di kalangan remaja seluruh dunia (biar keliatan luas juga gitu).

Ok, emang brother zone itu apasih? Sama gak sama friendzone atau timezone? Etdah malah promosi wahana permainan -_-'

Brother zone adalah sebuah hubungan complicated yang terjadi diantara cewek dan cowok (jangan cewek dan cewek atau cowok dan cowok karena itu LGBT, please deh jangan), dimana salah satu atau dua pihak hanya menganggap pasangannya sebagai kakak/adik.

Kalau ditanya sereman mana sama friendzone?

Ya, sereman brother zone bray

Kalau ditanya seruan mana sama timezone?

Ya, seruan brother zone haha kan lucu yah bisa ngejailin hati anak orang 😀😅✌

Tapi..... itu masih hipotesis aja yah

Sebelum lanjut, yuk kita bahas hubungan kayak apa aja yang biasa diolok-olok sebagai brother zone relationship. Coba cek beberapa karakteristik berikut ini.

Notice: anggap aja gue korban brother zone, biar menghayati dan lu pada sedikit percaya (plakk) 😓😢

Pertama, doi cuma anggep lu sebagai saudara_terbukti dari omongan dia yang sering nyinggung-nyinggung kalau lu itu adik/kakak/saudara terbaiknya (ya biasanya sih diomongin langsung).

Kedua, kalian sering jalan bareng. Entah untuk makan, jalan ke taman kota, ke perpustakaan, ke gunung, ke lembah, ke timur, ke barat, dan mencari kitab suci 🙆👏🙌 pokoknya hal yang seru dan kadang romantis, tapi bukan berarti doi baper jadi lu juga jangan, biar gak jatuh cinta sendirian (eh).

Ketiga, perhatikan silsilah keluarganya, kalau ternyata dia gak punya adik cewek dan kalian terbukti cewek_maka sebenarnya udah jelas kalau dia cuma pengen ngerasain yang namanya punya adik cewek. Atau liat juga kalau ternyata dia anak sulung dan lu anak angkat (eh maksudnya dari segi umur lebih tua dari dia), berarti doi emang lagi nyari seorang kakak. Ya gitu deh, sambil iseng aja lu tanya-tanya silsilah keluarga dia sampe tujuh turunan, biar sedikit jelas pembagian hak warisnya kek apa hehe 😝😋

Keempat, dia selalu memberi perhatian yang lebih dan gak suka bales chat dengan lelet. Itu artinya ada sesuatu yang selalu membuat dia tertarik ke dalam keseharian kamu, dan itu bisa saja jadi sebuah candu yang selalu berulang.

Udah segitu aja, kalau kalian ternyata merasakan keempat hal tersebut, apa itu artinya gue harus mulai ngasih selamat sama nyediain tissu karena salah satu pembaca blog ini telah terperosok ke dalam lubang brother zone?

Ternyata gak usah..... 🙌👏🙆

Terlepas dari itu semua, menyayangi seseorang adalah hak dan kewajiban setiap orang di dunia. Gak pernah ada orang yang salah dalam hal menyayangi, yang salah hanya bagaimana cara kita menyikapinya.

Kalau toh akhirnya kalian udah terlanjur sayang sama seseorang_yang malah nganggap kalian adik/kakaknya, ya memang mungkin seharusnya begitu. Lu bersikap biasa aja. Lu sayang sama dia, dia baik sama elu, masalah hubungan kalian kayak apa? Ya kayak gini, maksudnya ya jalanin aja, itung-itung belajar menyayangi orang dengan tulus, itung-itung belajar memperhatikan sesama, itung-itung tengah menguji seberapa kuat perasaan kalian sama doi.

So, brother zone ternyata gak seseram yang gue katakan di awal pembicaraan ini kan?

Brother zone itu sebenarnya gak pernah ada dalam kamus hidup manusia, kalau saja manusia berusaha ikhlas mengasihi sesamanya.

And finally, see you. Semoga sedikit bermanfaat buat ngurangin galau kalian yah 😝😋😂🙋✌ Daaaaaaah

Surat Untuk Si Jeruk Nipis

Surat untuk saudaraku yang sedikit kecut, untung tidak sedingin Tropus dan tidak sepanas Angin.

Hei, sudah baikan? 😀😂🙋✌
Ini surat pertama loh, di Bulan Maret Sehabis Hujan.

Terkadang cinta itu terkesan salah alamat yah, bisa jadi:

kita mencinta orang yang tepat di waktu yang tidak tepat,
atau mencinta orang yang tidak tepat di waktu yang tepat,
atau mencinta orang yang tidak tepat di waktu yang juga tidak tepat
bahkan mencinta orang yang tepat di waktu yang tepat juga bisa terkesan salah

Pusing? Aku juga.
Sepertinya Tuhan sengaja menempatkan manusia di posisi seperti itu, sepertinya Tuhan tengah menguji seberapa cepat kita mengatasi masalah yang timbul dari semua ketidaktepatan itu. Mungkin.

Ok, jadi maksud tulisan ini apa Sa?
Bentar, aku sebenarnya juga bingung. Intinya adalah semoga besok masih bisa berbahagia, saudaraku.

Aku tidak bisa memerintahkan kalian untuk memaafkan atau membenci seorang, dua orang, atau banyak orang yang sedang bertingkah (sedikit) menyebalkan.

Aku juga tidak bisa menyihir kalian untuk bersikap biasa.

Baiklah, aku ternyata tidak bisa melakukan apa-apa di tengah kerumitan kisah kalian. Aku bahkan tidak bisa berbicara hal yang solutif, hanya bisa melihat dan berusaha mendengarkan.

Semoga Tuhan memberi kalian hati yang lapang, untuk memahami setiap hal baik yang terselip dari kejadian beberapa menit lalu.

Anggap saja mereka terlalu cinta hingga salah tingkah begitu, maklum orang yang dibuai cinta memang tidak bisa berpikir jernih kan?

Atau anggap mereka so' tau, maka tertawakan saja.

Yang jelas, biarkanlah malam ini jadi malam termenyebalkan untukmu.

Tapi besok jangan.

Jangan kalah dengan hal sesepele itu, tunjukan kalau kamu orang yang tiis. Yang tidak akan terpengaruh sama usilan-usilan seperti itu.

Jeruk nipis sepertimu layak menjadi sarkastik, seperti biasanya.

Jadi, sekali lagi_semoga berbahagia. Semoga besok matahari memberimu semangat yang lebih banyak untuk tidak memikirkan hal-hal tidak berguna seperti itu.

Kau harus memikirkan masa depan bangsa, anak muda. Ingat kata-kata kemarin malam 😀😂

Jaga ibu, bapak, sama adik.
Jadilah kriteria paling maksimal buat orangtua dan kriteria paling minimal buat adik. Terakhir, jangan kalah dengan keadaan.

Salam, dari kosan Bapak Ohing.

Saudaramu, yang NTA-nya lebih kecil dari kalian (pede, ampuni ✌)

"Maaf, aku mencintai saudaramu"

Teruntuk tiga kakak tersayang, yang tersebut sebagai orang yang usil bersilat lidah.

Tiga kakak tersayang, semalam aku memohon maaf, atas kesalahanku terlalu menyukai saudaramu.

Teruntuk tiga kakak tersayang, coba tunjukkan bagaimana harusnya aku bersikap? Tentang penataan hati yang terbiasa bermanja diri.

Tiga kakak tersayang, aku sedikit kesal tapi juga bangga. Aku bangga dia memiliki saudara seperti kalian, yang mencintai dengan sangat, hingga berlaku selektif terhadap orang-orang yang terduga sebagai penggemarnya.

Teruntuk tiga kakak tersayang, aku menyerah. Menyerah membuat kalian khawatir, menyerah membuat kalian berdosa karena harus menggunjingku dan menyudutkannya.

Tiga kakak tersayang, terlalu menyukainya adalah murni kesalahanku. Maka ayo kita hentikan, akan kuikuti aturan khusus yang kalian tegakkan tanpa sepengetahuanku, ayo berhenti membuat hubungan kami menjadi risih.

Teruntuk tiga kakak tersayang, walau itu semua nampak sepele, tapi jelas memercikkan dosa. Maka akhiri saja :)

Salam, adikmu.

Sabtu, 12 Maret 2016

Sebatas Itu

Hening selalu memberiku ruang untuk mengatakan cinta, bukan dengan kata tapi dengan mata dan jemari.
Iya, apa daya_hanya sebatas itu aku memahami hubungan cinta Adam & Hawa.

(f kecil)

Diamlah

Jika kau mengerti, maka diamlah.
Pura-pura tidak tahu.
Mari kita nikmati hening dengan tetap berpegang tangan.
Tanpa suara, tanpa omong kosong.

(Catatan Hambar di Pagi Buta)

Surat untuk Kekasihku

Fatih kekasihku, hari ini malam berjalan dengan sangat lambat dan melelahkan. Menghilangkan sedikit kesadaranku mengenai bedanya kenyataan dan harapan, menipiskan keduanya hingga tampak menyatu dan berkawan. Padahal tidak!

Fatih kekasihku, bolehkah kusebut begitu? Kalau pun bukan, biarkan hanya aku yang menganggapmu sebagai kekasih, kau tidak usah. Aku tidak terlalu mengharapkannya!

Fatih kekasihku, bolehkah aku merasa sangat rindu pada pria yang selalu berada tepat di hadapanku?

Fatih kekasihku, kemarin aku mendapat kabar dari angin jika Seno Gumira dengan gagah mencuri senja dan menyembunyikannya selama 10 tahun demi pacarnya yang sudah menikah.

Bolehkah kulakukan hal yang sama untukmu?
Mencuri senja mereka lantas membingkainya hanya untuk kesenanganmu.

Apa aku terlalu jahat?
Maaf, aku lupa kalau kau tidak pernah mengajarkanku demikian.

Maaf juga karena aku terlalu dibuai cinta hingga terlupa apa yang pantas dan tidak pantas untuk dilakukan.

Fatih kekasihku, ayo tetap seperti ini. Mengasihi dalam dingin dan kelam. Mengasihi di balik diam, di belakang mereka semua. Mengasihi berdua saja.

Aku tidak apa, asal masih bisa tertawa lepas_itu sudah sangat cukup.

Iya, aku tidak ingin mereka terlalu melebihkan suasana dan memberi noda hitam di atas nama indah kita.

Aku tidak suka dibuat kikuk hanya karena usilan lidah.

Fatih kekasihku, maaf jika aku rewel. Aku hanya ingin kau tahu, aku tidak akan membicarakan segala hal yang merumitkan itu.

Aku paham: jalani saja seperti biasanya.

Jika dengan demikian kita bahagia, kenapa tidak. Bukankah begitu?

Sudahlah, maaf jika aku salah memaknai semuanya.

Selamat malam
Teruntuk sang penakluk, fatih kekasihku :)

Aku Bodoh

Aku bodoh, bisa sangat mencintaimu di setiap hening
lantas merindumu dalam ramai

Aku bodoh, mencintaimu untuk diriku sendiri
memberi hanya untuk memuaskan hati

Aku bodoh, mencintaimu dengan kepolosan
sehingga terkadang pamrih dan merasa lelah

Aku bodoh, mencintaimu tanpa alasan masa
tanpa ruang yang lebih tegas

(Catatan Hening di Pagi Buta)

Selama Kumampu

Selama kumampu, aku ingin menggenggammu dalam kasih yang terlampau hangat
Agar aku lupa rasa hambar dan sakit karena harus merindu di setiap siang

(Catatan Lelah di Pagi Buta)

Cinta yang Bermasa

Setiap cinta memiliki masa
maka bertahanlah hati yang polos
kau harus kuat sampai dia benar hilang
kau harus kuat menunggu senja datang

(Catatan Tubuh Lelah di Pagi Buta)

Kamis, 10 Maret 2016

Tenda Lafuma, Jam 04.00 Pagi Itu

Malam yang sangat riuh.

Sekali lagi angin gunung mengguncang tenda kami, dengan lebih agresif_meninggalkan kesan menyeramkan dan dingin yang menusuk hingga ke tulang.

Sekali lagi pula kuperhatikan siluet wajahnya, pria yang tertidur lelap di sampingku. Kelam melukisnya menjadi sketsa kabur yang indah. Entah sejak kapan, namun nyatanya wajah itu mulai kusenangi dalam diam.

Pria itu menggeliat, lantas sendi-sendi di tubuhku bersiaga.

"Kamu udah bangun?" pertanyaan yang seakan terdengar seperti sebuah gumam kecil.

"Iya, kak"
"Sekarang jam berapa?" pertanyaan kedua.
"Jam empat" juga jawaban yang kedua.

"Oh masih setengah jam lagi, bentar ya ngumpulin nyawa dulu". Lantas dia mengalihkan pandangannya kepadaku, dekat, terlalu dekat.

Aku menarik nafas tertahan, mencoba menguasai diri untuk tidak mengatakan hal yang aneh.

Ah sial, aku terjebak.
Hening selalu membuatku begitu menyukainya.

Minggu, 24 Januari 2016
Anak Kecil yang Terjebak di Kastil Merah Jambu,

Selasa, 08 Maret 2016

Abu-abu

Mencintaimu, tidak dalam diam, tapi tidak juga dalam ramai

Mengasihimu, berusaha untuk tulus, tapi sedikit dibuat pamrih

Menjagamu, seakan dalam pelukan, seakan dalam pandangan

Abu-abu.

Senin, 07 Maret 2016

Selamat Pagi

Selamat pagi penantian
Selamat berkutat dengan rindu yang menggebu
Selamat menikmati hari yang sedikit hambar
Selamat menjalankan aktivitas,
bukan rutinitas

(Catatan bunga rampai di pagi buta #6)

Menyerah

Aku menyerah menelan rindu dengan obatnya
Menyerah membunuh waktu di bawah bayangmu
Menyerah untuk bercinta dengan mata nakal
Menyerah untuk bersilat lidah dan berlaku jahat
.
.
Iya, aku menyerah
menyerah untuk membuat paragraf baru
.
.
.
Tapi itu sekarang, beberapa detik selanjutnya selalu berubah

(Catatan bunga rampai di pagi buta #5)

Carilah Kekasih

Carilah yang sekufu, agar pandangan mata selalu terjaga dalam keikhlasan.

Carilah yang ikhlas, agar terbiasa untuk bersyukur bersama sepanjang waktu.

Carilah yang bersyukur, agar berlindung di bawah bayangmu lantas setia.

Carilah yang setia, agar menyejukan hati saat tak berdua.

Carilah yang menyejukan, agar selalu dekat dengan Yang Punya.

Carilah kekasih, carilah yang seperti itu agar kebahagiaanmu abadi hingga akhirat.

(Catatan bunga rampai di pagi buta #4)

Jangan Dekat, Nanti Jahat

Jangan dekat, nanti cinta.
Jangan cinta, nanti rindu.
Jangan rindu, nanti bersyair.
Jangan bersyair, nanti jahat.

Jangan dekat, nanti jahat.

(Catatan bunga rampai di pagi buta #3)

Tentang Wanita, untuk Kesekian Kalinya

Terlepas dari perkataaan mereka mengenai kepemimpinan dan sebagainya,
wanita tetaplah makhluk yang kuat
Yang rela menunggu sampai batas waktu yang tidak pernah ditentukan
bahkan kuat menunggu orang yang belum ia kenali sekalipun

(Catatan bunga rampai di pagi buta #2)

Tidurlah Anak Kecil

Jangan menunggu, nanti terbakar.
Jangan terbakar, nanti menghilang.
Jangan menghilang, nanti menyesal.
Jangan menyesal, karena tidak menunggu.

(Catatan bunga rampai di pagi buta)

Tidurlah anak kecil....

Minggu, 06 Maret 2016

~_~

[Hutan Lindung Elpeem]

Dengan tatapan percaya diri setengah angkuh, pria itu berjalan menelusuri lorong gelap di depannya. Diawali tarikan nafas panjang dan decih menghina, ia telah lama memangkas sisi kemanusiaannya untuk mengokohkan diri di tengah bumi yang tidak manusiawi.

Langkahnya terhenti,

Tap, tap, tap.
Langkah yang lebih pelan (bahkan seakan berjinjit) berjalan mendekatinya. Tubuhnya waspada, dia menarik pisau yang sedari tadi bertengger dengan gagah di pinggang kirinya.

"Aaaaaa" teriakan itu menggema ke seluruh lorong setelah sabetan pisau dengan licin mengenai lehernya.

Tidak lama kemudian langkah kaki yang lebih banyak terdengar mendekatinya. Pria berambut ikal sebahu itu dengan lincah membunuh pemilik langkah-langkah tadi. Bau amis menyeruak di lorong, pria itu kembali berdecih, merasa puas akan perlawannya.

Dia memulangkan pisau basah itu ke dalam rumahnya lalu melanjutkan langkah terakhirnya yang sempat tertunda.
.
.
.
.
.
[Penjara Manatan]

Sinar matahari merangsek masuk melalui fentilasi udara di kiri atas ruangan. Pria tambun yang sudah tiga tahun dijeruji itu menggeliat malas, hingga seorang sipir penjara memanggilnya dengan teriakan yang memekik.

"Hei, Pak Tua bangunlah! Ada yang ingin bertemu".
"Siapa Sipir?" tanyanya seakan bergumam.

"Dia bilang, dia anakmu". Mata pria tambun itu langsung membulat. Dia sadar siapa yang datang, pria itu langsung berdiri kemudian mengusap wajah tidurnya, menepuk pipinya dengan keras hingga memerah terasa segar.

"Anakku, anakku, anakku...." dia mengulangnya pelan seperti sebuah mantera kemenangan.
.
.
.
Pria tambun itu melihat pemuda di depannya dengan seksama, memperhatikan setiap senti bagian tubuh yang mampu dilihatnya. Walau dibatasi sebuah kaca, pria itu merasa puas dengan pemandangan di depannya_pemuda berambut ikal sebahu yang menatapnya datar,

'Dia selamat', ujarnya dalam batin disertai seringai licik.

"Kau berhasil merenovasi rumah kita, Raka?"
Pemuda di depannya mendelik, ia mengerti setiap kode yang tersirat dari pertanyaan itu.

"Iya, aku bahkan melakukannya sendiri. Anak buah kita terlalu sibuk mengurusi villa-villa yang lain".

"Hahaha" tawa berat pria tambun itu membahana. Merasa puas terhadap laporannya.

"Kau memang anakku, Raka"
"Cih, aku hanya melakukan semuanya demi uang. Bukan karena rasa patuhku pada ayah sepertimu, dasar bajingan!" Raka memalingkan wajahnya ke sisi kanan. Menghindari tatapan tajam seseorang yang dulu sempat ia panggil 'ayah'. Seseorang yang sempat ia kagumi, namun dengan tega berperilaku kotor di depan ibunya_melenggang kesana kemari bersama wanita-wanita malamnya.

"Kau masih membenciku?" pertanyaannya mengambang di udara, tak didengar apalagi terbalas.

"Oh iya, apa minggu ini kau bisa urus jadwal keluar? Aku tidak sabar ingin meniduri salah satu wanita koleksiku".

"Ternyata penjara tidak pernah membantumu melupakan mainan-mainan itu. Tugasku hanya merenovasi dan membangun rumah yang lebih mewah, serta menyingkirkan gulma-gulma yang menghalangi perluasannya. Itu saja".

"Apa kau tidak mau membantu ayahmu menemukan mainannya?" satu lagi pertanyaan yang mengambang.

"Aih, anak sialan! Kau bahkan tau aku bisa mati tanpa mainan-mainan itu" gerutu pria tambun dengan nada kesal.

"Terserah, laporanku selesai. Jaga dirimu baik-baik, jangan sampai penjara itu membunuhmu"
"Hei, tunggu. Aku belum selesai bicara, Raka!" seruan yang tidak didengar itu hanya menjadi salam perpisahan. Pemuda dihadapannya pergi dengan wajah tampannya yang tak berekspresi.

"Ish anak nakal itu, ternyata dia masih mengkhawatirkanku" ia bergumam sembari memperhatikan sebuah punggung tegap yang nampak menjauhinya.

"Kau harus kembali ke sel", pria tambun mengangguk. Seorang sipir lantas membawanya kembali ke kamar dingin berbintang 'zero' itu.
.
.
.
.
.
[SMAN 5 Ordem]

"Alma!" gadis bermata hazel itu spontan berbalik. Seorang gadis lain mencoba menghampirinya dengan setengah berlari. Alma terdiam, menunggu sapaan dari sahabatnya itu.

"Akhirnya...." ungkapan yang diselingi nafas pendek-pendek itu terdengar kesal.
"Jalanmu cepat sekali Alma, apa ada roket di sepatumu?" Alma menggelengkan kepalanya polos.

"Ok, aku harus duduk. Bicara denganmu membutuhkan energi besar. Ckckck, rasanya kecantikan itu tidak berpengaruh pada kepintaran seseorang. Oh Tuhan, skenariomu...." gadis itu mengedarkan pandangan dengan mata coklatnya.
"Ketemu!" serunya setelah menemukan tempat yang cocok untuk duduk, kemudian menarik Alma ke sampingnya.

"Aku punya kabar baik"
"Apa?", akhirnya Alma mengeluarkan suaranya.

"Fasya ulangtahun, dan dia mengundang seisi sekolah untuk berpesta di rumahnya"
"Terus?" yang ditanya menarik rambut pendeknya dengan kesal_frustasi.

"Maksud aku Alma, bagaimana kalau kita datang? Aku yakin Fasya pasti senang"
"Aku gak mau" Alma mengambil handphone lantas membuka game favoritnya.

"Anak ini...." gumam sahabatnya kesal.

"Rinka" gadis berambut pendek itu merasa terpanggil.
"Aku capek jadi penggemar, melihat Fasya sama seperti melihat kebodohanku sendiri. Sampai kapan pun, Fasya hanya milik Sa...." Rinka langsung memeluk sahabatnya, dia sadar gadis itu tidak akan sanggup meneruskan kalimatnya.

"Menangislah, Alma" gadis hazel itu perlahan membasahi pundak sahabatnya.

"Malam ini kita pergi shopping aja ya". Alma menggeleng dalam pelukannya,
"Terus mau kemana?"
"Tidur" jawaban Alma terkesan tidak menyenangkan.

"Aduh, hidupku. Oranglain berpesta ria dan aku hanya tidur? Membosankan sekali, oh Tuhan wajah cantikku bisa mubadzir...." Alma terkekeh geli dengan kalimat sahabatnya.

"Dan kau, kenapa kau tertawa peri jahat? Kau menghancurkan malam indahku, rasanya aku akan mati jomblo malam ini. Ah tidak, aku tidak mau mati jomblo" Rinka bertingkah konyol dengan memeragakan kata-katanya. Mereka lantas tertawa bersama.
.
.
.
.
.
[Kediaman Pratama]

Rumah yang selalu sunyi itu tiba-tiba ramai, banyak orang hilir-mudik untuk menata setiap sudut ruangan, menghiasnya dengan berbagai perlengkapan pesta.

"Akhirnya selesai, aku yakin Fasya pasti senang" ucap Miya puas.

Miya adalah gadis yang merencanakan pesta megah itu. Semenjak ibu Fasya meninggal, Miya yang hanya berumur tiga tahun lebih tua dari pemuda itu telah bertransformasi menjadi kakak perempuan yang baik. Walau mereka tidak memiliki ikatan darah, Miya tetap menyayangi keluarga Pratama dengan sepenuh hati.

"Bi, Fasya mana?" teriakan itu membuat Miya menoleh. Selain Fasya, pemuda di depannya adalah salah satu alasan terbesar untuk mencintai keluarga Pratama.

"Kamu udah pulang, Raka?" pertanyaan itu hanya dibalas dengan tatapan datar. Miya sadar bahwa pertanyaannya tidak berguna, Raka sudah ada di rumah itu, untuk apa ditanya lagi.

"Kamu udah makan?" pertanyaan kedua, dijawab oleh anggukan.
"Oh...." Miya merasa mati kutu.

"Fasya mana?" pertanyaan itu keluar dengan nada dingin, tapi Miya tetap tertarik untuk menjawabnya.
"Masih di sekolah, aku menata semuanya. Bagaimana menurutmu?" Raka melirik setiap sudut, ada yang aneh.

Dia melangkah menuju sudut ruangan yang dibuat layaknya panggung, memperhatikan sketsa wajah yang tadi pagi ia temui.

"Jangan pasang yang ini" salah satu sketsa berbingkai kaca itu ditutup, sehingga tinggal tiga sketsa yang masih tersisa _wajah Fasya, ayah, dan ibunya_

"Kenapa?" tanya Miya sedih.
"Aku tidak niat bergabung di pesta, jadi untuk apa memasangnya" Raka melangkah ke lantai dua, menuju kamarnya dan meninggalkan Miya yang sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Gadis itu sadar, yang diucapkan Raka adalah sebuah keputusan mutlak.
.
.
.
.
.
[SMA 5 Ordem]

"Alma!" ini kedua kalinya gadis itu dipanggil dari kejauhan, namun oleh dua orang yang berbeda.

Alma menoleh, dia mengenal suara bariton yang memanggilnya. Suara yang dia puja selama tiga tahun ini, Fasya.

"Hei" pemuda itu sudah berdiri di depannya.
"Hei" entah kenapa Alma merasa salah tingkah. Sesekali ia menyelipkan rambut sisa kuncirannya ke belakang telinga. Wajah gadis cantik itu perlahan merona.

"Mau datang ke pesta ulangtahunku?" Alma terhenyak, ragu.
"Jangan bilang gak datang" kata-kata Fasya mengurungkan penolakannya.

"Ok, jam berapa?" tanya gadis itu mantap, di sisi lain dia membayangkan Rinka yang akan kegirangan saat mendengar berita ini.

"Jam 7 malam, di rumahku. Datang ya" Fasya memberikan senyum terbaiknya.
"Oh iya, aku pergi dulu ya".

Sabtu, 05 Maret 2016

Surat Cinta yang Semakin Usai

Nyaris usai surat cintaku kepadamu
dari permulaan Maret yang mulai membasah

Tentang beberapa nada yang tidak bermelodi
tentang tinta-tinta yang tercerai tanpa sketsa

Tentang kisah yang tidak memiliki judul
bersama februari yang basah dan tawa hambarmu

Selamat Malam

Selamat malam, dari pertengahan sidang yang tidak terlalu panas

Selamat malam, dari sudut hati yang tidak menginginkan omong kosong

Selamat malam, karena ini bukan pagi atau siang

Selamat malam, semoga esok menjadi sebuah hari dengan tawa yang terlampau lepas

(Seribu Hari Menanti Hujan - H218)

Jangan Terlalu Mencintai Sesuatu

Jangan terlalu mencintai sesuatu, karena ia akan pergi secara mendadak atau perlahan
Perlahan memang sakit, tapi mendadak lebih sakit
Seakan tertembak senapan angin, cepat namun menyakitkan.

Cintailah sewajarnya, layaknya kau mencinta mentari dikala siang
Kemudian mencinta rembulan dikala malam
Lantas tidak mencintai apapun dikala hujan

(Tentang kisah yang tidak pernah selesai - H218)

Jumat, 04 Maret 2016

Buka Mata Tentang MEA

Satu lagi pemikiran cemerlang hari ini, urusan cinta dan kebetulan sangat terikat dengan urusan masa depan.

Ide yang muncul dari percakapan kecil esa dan Abia di tengah Musyawarah Adat Jantera ke-23.

Menurut Abia, pemuda tinggi kurus yang lahir 21 tahun lalu di Kiara Condong, saat ini bukanlah momen yang tepat untuk membahas perihal cinta dan tektek bengeknya. Saat ini justru lebih tepat dimanfaatkan untuk berpikir mengenai masa depan diri kita, dan Indonesia (mungkin). Ah iya, topik mengenai MEA juga pasti menghiasi pemikiran ini.

Manusia Indonesia harus segera sadar akan tanggung jawabnya terhadap harga diri bangsa di tengah persaingan bebas Masyarakat ASEAN, terlebih dalam bidang ekonomi_lebih sempitnya: lapangan pekerjaan.

Beberapa tahun yang akan datang, wilayah Indonesia yang luas ini tidak akan hanya dimiliki oleh Indonesia_negara lain juga akan semakin berminat untuk mengembangkan dan meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Toh regulasi mengenai penanaman modal dan lapangan pekerjaan juga akan dipermudah kan?

Lantas kita akan jadi apa?

Apa hanya akan menjadi penonton yang duduk manis melihat orang asing datang dan pergi mengeruk sumber dollar dari tanah kita?

Tidak boleh!
Semoga kita termasuk orang-orang yang bermanfaat dan terbutuhkan oleh MEA.

(To be continue, rieut euy)

Rabu, 02 Maret 2016

UPI Rumah Kita

“UPI RUMAH KITA”, slogan yang tersebar di beberapa penjuru kampus pendidikan ber-museum ini ternyata memiliki makna yang dalam. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), rumah diartikan sebagai bangunan untuk tempat tinggal. Sedangkan secara psikologis, rumah bisa diartikan sebagai tempat tinggal manusia untuk beraktivitas dalam kondisi damai, tentram, dan menyenangkan.

“UPI RUMAH KITA” merupakan slogan yang sengaja dipasang oleh petinggi UPI agar para penghuni kampus ini sadar bahwa UPI yang biasa mereka kunjungi minimal sekali dalam seminggu ini merupakan sebuah rumah yang harus diperlakukan layaknya rumah.

Rumah megah seluas ±615.766 m2 ini terletak di Jl. Setiabudi 229 Kota Bandung, dan secara implisit terletak di hati dan kotak memori para penghuninya. Rumah ini memiliki fasilitas yang cukup lengkap, diantaranya adalah WC yang bisa merangkap fungsi jadi kamar mandi, ruang baca dan belajar, arena nongkrong dan diskusi, beberapa tempat fotokopi, museum, danau, bahkan arena food gathering yang menyenangkan. Arena food gathering itu terdiri dari dua macam, yakni yang berbayar dan gratis. Yang berbayar itu misalnya seperti di KOPMA, BMT, Kantin Fakultas, Toko Swalayan Omy, Emang Cuanki dan Siomay, bahkan Ibu-ibu Semak (sebutan untuk ibu-ibu penjual makaroni keliling yang biasa bersembunyi di balik semak-semak Lobi Timur FPIPS). Sedangkan yang gratis bisa dengan mudah kita temukan di seluruh penjuru UPI, diantaranya adalah spot pohon jambu biji, jambu air, durian, mangga, belimbing, alpukat, nangka, dll.

Sebagai sebuah rumah, UPI sudah cukup baik memberi kita ruang yang nyaman untuk beraktivitas. Walau terkadang membuat bosan juga karena UKT yang dirasa mahal, wifi fakultas yang di-password, dan beberapa sarana yang kurang tersedia bahkan tidak terurus. Namun sebagai penghuni yang baik, sudahkah kita bertanya pada diri sendiri: apa yang telah kita berikan pada rumah kita? Manusia biasanya memang begitu, cenderung menuntut hak dan mengesampingkan  kewajiban.

Jika tidak mampu menorehkan prestasi, setidaknya jangan membuang sampah di sembarang tempat,  jangan mencorat-coret kursi dan meja saat ulangan, dan yang terpenting jangan pernah mencemarkan nama baik kampus demi kepentingan pribadi.

“UPI RUMAH KITA” merupakan slogan mulia yang harus diresapi dan diimplementasikan dengan benar oleh para penghuninya. Jangan biarkan ia hanya menjadi sebuah slogan, jadikan penyemangat. Demi UPI yang lebih menyenangkan. Demi masa depan kita, demi hati yang akan berbangga saat kembali pasca lulus nanti 😀😂🙌🙋🙆👏

Selasa, 01 Maret 2016

Tentang Pacaran Lagi

Pacaran selalu saja jadi bahan cerita yang bagus untuk di bahas saat kita remaja, tentang si doi yang kamu taksir dan sejenisnya.

Namun sayang, pacaran selalu dianggap sebagai sebuah rumah tangga kecil yang harus mendapat perhatian ekstra dari para pelakunya. Efek akhirnya jelas akan mengganggu kedua belah pihak termasuk orang-orang di sekitarnya.

Pacaran hanya membuat si pelakunya pusing, apalagi kalau si doi-nya tengah marah dan cemburu.

Pacaran juga memberikan peluang besar untuk berbuat dosa, baik dari sentuhan, bahasa, dan tatapan mata.

Pacaran akan membuat kita sibuk mengurusi dunia oranglain, yang harusnya menjadi satu hal yang privat dan iya! Kita ngurus hidup sendiri aja udah belum bener 😀😂😅

Pacaran membuat kita bermuka dua, ayolah gak ngelak kalau kita akan selalu berusaha terlihat baik dan perhatian di depan si doi_yang terkadang bahkan kita terseret dan memainkan karakter yang bukan kita banget.

Finally, aku gak pernah melarang orang pacaran_hanya menganjurkan agar kita sama-sama bijak dalam bersikap. Doi bukan suami atau istri kamu loh, jadi kamu masih punya otoritas untuk melakukan apapun dalam hidup kamu tanpa ada di bawah bayang-bayangnya. Jangan sampai pacaran hanya memberi kamu efek negatifnya aja, ambil hal baik dan buang hal jelek.

Belajarlah untuk:
1. Bahagia sewajarnya
2. Bersedih sewajarnya
3. Bersyukur sebanyak-banyaknya

Bahagia, tapi masih inget kalau gak ada kebahagiaan yang abadi. Bersedih, tapi masih inget kalau gak ada juga kesedihan yang abadi. Lantas bersyukur, karena masih diberi kesempatan untuk saling mengasihi antar manusia.