Minggu, 20 September 2015

Seribu Hari Menanti Hujan #19

Mataku seakan tertusuk
Perih dan ingin menangis
Tapi tak kuasa
Aku terlalu kerasa hati sepertinya

(Seribu Hari Menanti Hujan - H19)

Bernada seperti simfoni
Namun melilit bagai tali
Kau....

(Seribu Hari Menanti Hujan - H19)

Sabtu, 19 September 2015

Seribu Hari Menanti Hujan #17

Entah ini penantian ke berapa
Dunia fana menyilaukan
Aku hilang.... Di keramaian

(Seribu Hari Menanti Hujan - H17)

Akan datang suatu masa dimana kau duduk di taman dengan membaca surat-surat ini

(Seribu Hari Menanti Hujan - H17)

Aku selalu merasa heran dengan rasanya
Tapi itu adalah kesalahan
Jangan, diriku!

(Seribu Hari Menanti Hujan - H17)

Sekarang aku meyakininya
Aku percaya bahwa namaku telah bersanding dengannya

(Seribu Hari Menanti Hujan - H17)

Kau yang senja itu berdiri disana
Menatap opera jingga dengan seksama
Jangan pergi
Aku tak memiliki subjek cerita lagi

(Seribu Hari Menanti Hujan - H17)

Dia pendiam dan sholeh
Tapi ternyata juga pemalas dan pemalu

(Seribu Hari Menanti Hujan - H17)

Setiap manusia memiliki waktu heningnya sendiri
Entah untuk beristirahat, atau sekadar mengasingkan diri untuk berpikir
Bukan sebuah kesalahan!

(Seribu Hari Menanti Hujan - H17)

Aku ingin pergi kesana
Finlandia, bisakah?

(Seribu Hari Menanti Hujan - H17)
Bandung, 16 September 2015

Seribu Hari Menanti Hujan #9

Mengeluh bukan cara terbaik untuk menyelesaikan tugas

(Seribu Hari Menanti Hujan - H9)

Malam ini, berusaha menabung puing kertas berwarna ke dalam sebuah botol kaca sisa madu yang dibeli di Darut Tauhid
Berusaha mengumpulkan tenaga untuk beranjak kepada tugas sebenarnya
Ingin pergi ke ujung jalan sana, membersihkan mata yang mulai phobia dengan 'bulat dan warna'
Ingin istirahat karena sedari siang mencintai souvenir sederhana inovasi 'terjepit'

Akh iya, malam ini....
Aku sendu!

Sesekali aku keluar, memandang jalanan dan meresapi irama malam
Suara kendaraan roda dua itu perlahan berkurang, hanya satu dua saja jika dibandingkan beberapa jam yang lalu
Disaat begini biasanya aku ingat rumahku yang dingin disana
Ingat mama, bapak, serta adik-adik yang senantiasa kuajak debat dan berkelahi

Akh iya, malam ini....
Aku rindu!

(Seribu Hari Menanti Hujan - H9)

Namanya, aku....
Yang menyenangi pohon-pohon tak berdaun depan BAAK dan sekitar Amphi
Yang menyenangi aroma tanah saat tersiram hujan
Yang menyenangi semua pohon jambu air di area kampus
Yang menyenangi tulisan rancu tak bermakna
Yang menyenangi bau khas buku-buku lama
Yang menyenangi senja dan dandelion
Yang menyenangi tirai akar di parkiran bawah
Yang menyenangi puluhan layang-layang yang tersangkut di pagar alam Cikapundung
Yang menyenangi lumut-lumut di pepohonan Bukitunggul
Yang menyenangi geotrek amatir Gua Lalay-Tanjung Layar
Yang menyenangi dedaunan kering Gunung Puntang
Yang menyenangi langit biru dan awannya Kareumbi
Yang menyenangi gesekan hujan dan tebing lava bantal di Karang Sambung
Yang menyenangi senandung angin di kaki Manglayang
Yang menyenangimu, sungguh

(Seribu Hari Menanti Hujan - H9)

Waktu itu aku pergi, lagi
Ke Bukit yang katanya Tunggul
Ke puncak yang rimbun
Yang tidak menyuguhkan 'opera awan'

(Seribu Hari Menanti Hujan - H9)

Hei kau yang katanya kecoklatan
Apa kabar? Masih suka baca ya?
Jangan jauh ya, kami (eh, dia) rindu.... :)

(Seribu Hari Menanti Hujan - H9)

Tadi pagi kau menjengukku
Seperti berkata 'Hallo' pada pundak yang berkarat
Ah, maaf!
Aku sudah lupa bagaimana trik membawa dan terbawa perasaan
Ayolah, sekarang aku bercanda

(Seribu Hari Menanti Hujan - H9)

Cengeng.... Masih 'cinta' kah kau padanya?
Masih 'berpuisi' kah tentangnya?
Masih 'bermimpi' kah bersamanya?
Aku tidak terlalu, sepertinya :)

(Seribu Hari Menanti Hujan - H9)

Kau yang kemarin menghadiahiku sebuah liontin
Ingatkah kisah ronab picisan itu?
Apa kau sehat?
Bagaimana hatimu?
Belajarlah untuk setia
Salam rindu, yang pernah membaca suratmu

(Seribu Hari Menanti Hujan - H9)
Bandung, 8 September 2015

Seribu Hari Menanti Hujan #8

Dan aku bukan mengacuhkanmu
Hanya terlalu taku akan semakin 'cinta'
Itu bukan ladangku
Itu milik tetangga

(Seribu Hari Menanti Hujan - H8)

Malam itu kau tertawa, sendiri
Lantas aku mengikuti
Sekedar info, aku tlah lama pergi
Mencari yang lebih hakiki
Selamat, bray!

(Seribu Hari Menanti Hujan - H8)

Hei, iya!
Aku rindu 'Si Madu'
Rindu merahnya yang menyala
Rindu suaranya
Rindu yang punya?
Tidak.... :)

(Seribu Hari Menanti Hujan - H8)

Hari ini lagi, jenuh
Jenuh berurusan dengan yang lebih tua
Jenuh untuk berdebat
Bebaskanlah kami, Tuan

(Seribu Hari Menanti Hujan - H8)
Bandung, 7 September 2015

Seribu Hari Menanti Hujan #7

Siapa bilang aku menyukainya?
Maaf, aku tidak sengaja terlalu bahagia
Itu bukan 'suka' yang itu kok
Aku hanya senang mendapatkan kakak :D

(Seribu Hari Menanti Hujan - H7)

Karena aku tahu apa yang tidak kumiliki
Karena aku tahu cara baru mensyukuri sesuatu adalah dengan 'tersenyum dan tertawa'
Maka aku harus meyakininya

Karena aku tahu apa yang pernah kutinggalkan
Karena aku tahu cara baru memudarkan penyesalan
Maka aku akan mencoba untuk terus melakukannya

Karena aku tahu apa yang tidak kumiliki dan malah kutinggalkan

(Seribu Hari Menanti Hujan - H7)
Bandung, 6 September 2015

Seribu Hari Menanti Hujan #5

Kemarin Tuan Kelam datang berkunjung, lagi
Membisikkan senandung rindu tak bertepi
Aku terdiam dalam peluknya, sejenak menutup mata dari kepenatan
Kemudian cuplikan film hitam putih itu berputar di kepalaku
Aku seakan berlari, tertawa, dan merasa bahagia
Hingga tiba-tiba bertemu seseorang yang tidak terkira
Orang itu lagi, orang yang sama dengan yang kutemui di tempat tertinggi kemarin

(Seribu Hari Menanti Hujan - H5)

Hujan, terkadang aku heran kenapa harus menunggumu
Bahkan kau tidak semenarik tujuh tahun lalu, iya!

(Seribu Hari Menanti Hujan - H5)
Bandung, 4 September 2015

Seribu Hari Menanti Hujan #4

Mereka bilang hutan mati itu menyeramkan
Bagiku tidak
Tidak bisakah kau belajar perjuangan darinya?
Lihat, dia berusaha untuk tetap berdiri walau tak berdaun
Berusaha mati di tanah perjuangan
Tidak minggat atau diminggatkan untuk membusuk atau menjadi meja
Terkadang kita harus terdiam dulu untuk berpikir
Hal kecil bahkan memberi 'makna'

(Seribu Hari Menanti Hujan - H4)

Bukankah aku pernah bercerita tentang dongeng Hujan dan Dandelion?
Seribu hari bukan waktu yang sebentar
Memang! Tapi apa salahnya untuk mencoba?
Tuhan menciptakan hati bukan untuk diabaikan
Tapi untuk digunakan
Mungkin ini salah satu caraku menggunakannya
Mengkhayal. Aneh? Terserah :D

(Seribu Hari Menanti Hujan - H4)

Aku berjalan mundur
Mencintai sosok kabur dalam khayal
Kadang kau, dia, bahkan mereka
Tapi beruntungnya aku punya Ia
Ia yang mengontrol dan menjeruji hati ini
Yang selalu mengingatkan bahwa hidup itu bukan hanya hari ini
Terimakasih Kau :')

(Seribu Hari Menanti Hujan - H4)

Abaikan
Dewi Angin saja tahu
Tanya juga Tuan Kelam
Sambil bisikkan pada Putri Beku
Kisah tak berjudul

(Seribu Hari Menanti Hujan - H4)
Bandung, 3 September 2015

Seribu Hari Menanti Hujan #3

Namanya Ucrit
Bertemu di persimpangan saat tengah melamun
Kutanya, 'Sedang apa?'
'Menatap langit, kak' jawabnya tidak menoleh
'Memang disana ada apa?' tanyaku heran.
'Tidak ada'
'Lantas apa yang sedang kau perhatikan, adik kecil?'. Semakin heran.
'Tidak ada'
Aku menghela nafas, gemas. 'Bagaimana rasanya?'
'Hampa' ujarnya membungkamku.
'Aku ikut', seketika dia yang balik menatapku heran.
Perlahan bias senyum terukir di wajah lugunya
'Ok' serunya kegirangan.
Senja itu kuputuskan untuk berteman dengannya, menatap langit senja setiap hening.

(Seribu Hari Menanti Hujan - H3)

Aku terdampar di sebuah ruang kelam yang membeku
Tersadar, ternyata beberapa pasang mata menyergapku dengan kilat bengisnya
Aku bertanya, sebenarnya berteriak
'Apa yang kalian mau?'
Mereka menjawab dengan bahasa yang tidak bisa kumengerti
Bisikan yang lebih seperti jeritan memekik
Tiga puluh menit berlalu, mereka hanya mengumpat ke-tidak-mengerti-anku
Hingga seseorang diantara mereka mendekat, dia sosok paling kerdil disana
Pria itu memegang daguku kencang, kemudian berbicara jelas tepat di telingaku
Bahasaku, akhirnya!
Seketika airmukaku mendidih, ternyata mereka menuntut 'makna' dalam sajakku
Aku menciut, malu dan ketakutan
'Tidak bisa, aku bukanlah penyair ulung. Aku hanya bergumam, ampuni aku'
Mereka menatapku dengan tatapan yang lebih bengis
'Ampuni aku, Tuan. Aku bersalah'
Sosok kerdil itu mengambil gadanya, mengacungkan ke udara. Lantas . . . .

(Seribu Hari Menanti Hujan - H3)

Dandelion
Tirai akar
Pohon layang-layang
Senja
Dan kau

(Seribu Hari Menanti Hujan - H3)

Senangnya mencinta, hati terbuai oleh imajinasi tak terbatas

(Seribu Hari Menanti Hujan - H3)
Bandung, 2 September 2015

Seribu Hari Menanti Hujan #2

Hari ini sudut manis itu menggangguku dengan senandungnya
Menarik diri dalam lubang hitam tak berujung, lagi
Sebenarnya aku bosan melihat dalam kelam, tapi kaki malah mendekat
Ah, bertingkah bodoh lagi!

(Seribu Hari Menanti Hujan - H2)
Bandung, 1 September 2015

Seribu Hari Menanti Hujan #1

Mengeluhlah sampai bosan, diri
Mengeluhlah sampai mati
Kau tidak akan pernah berubah
Membatu hingga ajal

(Seribu Hari Menanti Hujan - H1)
Bandung, 31 Agustus 2015