Chapter 3
Bertemu Ibu Jawa
Bis
yang membawa kami melabuhkan dirinya di terminal Kota Malang. Aku menarik nafas
panjang, memang sedari tadi ini yang ingin aku lakukan. Keluar dari keheningan!
Jadi
selama beberapa jam tadi aku diam seribu bahasa, tidak ingin berbincang sedikit
pun dengan Bara. Entah kenapa, rasanya muak sekali dengan sikapnya yang
tiba-tiba menciumku tadi sewaktu bis kami masih melanglang di Kota Kembang.
Aku
berusaha menggeser pria itu untuk keluar dari tempat duduknya, hingga aku juga
bisa keluar dengan mudah. Aku berdiri dan mengambil carrier-ku, kemudian
memasangnya kembali dengan kuat.
"Nay,
kamu mau kemana?" tanyanya dengan wajah tidak berdosa. Aku memicingkan
mataku, menggerutu dalam hati.
"Bukan
urusan kamu!" jawabku ketus hendak berlalu, namun Bara menarik bagian
belakang carrier dengan seringai khasnya, membuatku hilang keseimbangan
dan hampir terjatuh kalau tidak ia tahan.
Aku
menatapnya tajam, kesal dan marah.
"Ish,
aku gak suka sama tatapan kamu yang ini, Nay" dia menaruh dua jempolnya di
atas kelopak mataku. Perlahan, suasana menjadi hening. Ada aliran aneh dalam
dadaku, debaran yang tidak menentu. Tiba-tiba jempol Bara bergetar, dia
melepaskan kunciannya, lalu suasana menjadi kikuk dan kami salah tingkah.
"Aku
udah pesan penginapan yang cocok buat kita. Ayo!" dia merangkul bahuku
dengan lengan kanannya. Kuncian lengan kekar itu jelas tidak memberi celah
untuk kabur.
Kami
turun dari bis dan Bara memanggil seorang supir taksi, pria berkumis tebal itu
lantas mengantarkan kami ke tempat yang disebutkan oleh Bara. Sebuah tempat
yang dengan fasih dia katakan, lengkap dengan nomor rumah dan warna catnya.
-oo0oo-
Tiga
puluh menit berlalu. Pak Agus, nama supir taksi yang aku tahu dari
pembicaraannya dengan Bara, memarkirkan taksinya di halaman sebuah rumah
tradisional yang nampak anggun dengan cat cokelat dan pekarangannya yang luas.
Setelah
membayar, Bara membawa carrier-ku dari bagasi. Kemudian berjalan santai
menuju beranda rumah yang terbuat dari kayu itu.
Aku
masih terdiam di pekarangannya, memperhatikan tingkah Bara yang slenge’an.
Pria berambut ikal itu menaruh carrier di kursi santai milik si pemilik
rumah. Sedangkan aku hanya melongo heran saat dia mulai mengetuk pintu dan memanggil
seseorang dengan panggilan 'ibu'.
"Iya
sebentar" teriak si pemilik rumah dari dalam.
"Nay,
sini!" teriak Bara sambil melambaikan tangannya ke arahku. Aku
menggelengkan kepala, kemudian pria itu menghampiri dan menarikku ke beranda
tadi.
Pintu
dibuka, sosok itu lantas terlihat jelas. Seorang wanita Jawa yang anggun
berdiri tepat di depan kami, kira-kira usianya sama dengan Mamaku di Bandung.
"Aduh,
Nak. Kok kesini gak bilang-bilang ibu dulu" gerutu lembut Ibu Jawa itu
dengan logat khasnya.
"Iya
bu, sengaja biar kejutan" pria disampingku menyeringai. Aku menatapnya
kesal, karena setahuku dia hanya penguntit yang tidak pernah berniat sama
sekali untuk pergi ke Malang!
"Ya
udah, ayo masuk dulu". Bara lagi-lagi menarik tanganku, mungkin dia pikir
aku tidak berhati sampai tega membiarkan Ibu Jawa itu mengoceh sendiri tanpa
digubris.
Kami
duduk di ruang tamunya, Ibu Jawa lalu pamit ke belakang untuk mengambil minum
dan beberapa cemilan. Aku hanya melirik keadaan sekitar. Sampai tiba-tiba
mataku terbelalak melihat lukisan seorang bayi laki-laki lucu tengah digendong oleh
Ibu Jawa itu. Anehnya, Ibu Jawa itu tidak sendiri tapi berpose dengan seorang
pria muda yang nampak familiar, mirip ayahnya Bara.
"Kemarin
ibu ke Bandung" Ibu Jawa memulai pembicaraan. Aku melempar senyum
kepadanya dengan sedikit merengkuh, khas Indonesia, mungkin.
"Terus
ibu ke rumah, niatnya mau nengok kamu. Tapi kata Ratih, kamunya lagi sibuk
kerja di Sukabumi. Ya jadinya ibu pulang aja soalnya masih ada urusan di Malang
yang belum selesai". Aku seperti mendengar sebuah percakapan berbahasa
Prancis, tidak mengerti maksud pembicaraannya. Tapi aku kenal Ibu Ratih, dia ibunya
Bara.
"Iya
gak apa-apa bu, Bara ngerti kok. Oh iya, gimana sakit ibu? Udah baikan?"
tanya Bara cemas.
"Udah baikan kok, Nak. Cuma kata dokter ibu masih harus check-up rutin
ke rumah sakit. Nak, cah ayu ini siapa toh?". Kembali, aku
tersenyum kepada wanita pemilik mata teduh itu.
"Ini
Shanaya, bu. Calon istri Bara" jawabnya santai. Aku menatapnya jahat,
bukan so' berakting seperti cerita dalam novel dan drama, tapi aku memang
menginjak kakinya, kesal. Dia hanya meringis, tidak berteriak.
"Eng....
Enggak kok bu, Bara bercanda. Saya teman kuliahnya" ucapku membela dengan
nada seramah mungkin.
"Iya,
temen kuliah sekaligus pacar dan calon suami"
"Iiiiih
kamu!" aku menjewer telinga kanannya. Kemudian dia memegang tanganku,
menatap lekat.
Beberapa
detik kemudian Ibu Jawa itu berdehem, lalu aku memergokinya tengah menertawakan
kami. Spontan saja aku garuk-garuk kepala tidak gatal.
"Aku
serius" kata-kata itu membuatku bingung. Tiba-tiba saja telingaku
berdenging, tak mau dengar.
"Iya,
aku serius mau nikahin Shanaya, bu". Ibu Jawa itu menatapku, beberapa saat
kemudian sebuah busur senyuman terbingkai manis di wajahnya.
"Ya
udah, sekarang kalian istirahat dulu ya". Wanita setengah baya yang kujuluki
Ibu Jawa itu mengantarku ke sebuah kamar, yang katanya boleh kutempati selama
tinggal di Malang.
"Ini
kamar adiknya Bara, namanya Nadia" tiba-tiba saja ibu itu menatapku
nanar. Mengelus kepalaku, lantas butiran bening keluar dari mata teduhnya.
"Kata
Bara, kamu mirip sama adiknya". Aku hanya menatapnya heran.
'Sejak
kapan Bara punya adik?'
'Terus
Ibu Jawa ini sebenarnya siapa?'
'Jadi,
Ibu Ratih dan Nadia juga siapa?'
Sebenarnya
banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan, tapi tidak berani sekarang. Beliau
terkesan sangat sedih, aku jadi takut akan memperkeruhnya suasana.
"Yo
wes lah, kamu istirahat aja ya, Nak. Pasti capek" dia tersenyum hangat
dan aku membalasnya.
Setelah
ibu itu pergi, aku mulai merebahkan tubuhku dan mengingat semua kejadian hari
ini. Mulai dari kedatangan Bara yang tiba-tiba di ruang tunggu terminal, ciuman
itu, Ibu Jawa, lantas sekarang Nadia. Kepalaku semakin pening saja, apalagi
mata sembabku yang semalam belum sepenuhnya hilang.
'Jadi,
sebenarnya siapa Bara itu?'
Tiba-tiba
ponselku bergetar, ada pesan BBM yang masuk.
"Lagi
mikirin aku?" , dari layar itu
tertulis nama Bara Pratama.
"IYA!!"
"Pasti
kangen?"
"Ge-er!
Ketemu yuk, ada yang mau aku omongin"
"Tuh
kan kangen"
"Nggak
ih!"
"Itu
pengen ketemu"
"Ya
udah gak jadi :P"
"Istirahat
aja dulu, nanti malam aku ajak keliling Malang pake ontel"
"Gak
niat!"
Percakapan
itu berakhir. Senja perlahan memainkan opera manisnya. Semburat oranye
merangsek masuk melalui jendela tua di kamar baruku. Hening, hingga akhirnya
aku terlelap di pangkuan Sang Kelam.