Senin, 28 Desember 2015

Seribu Hari Menanti Hujan #

Kak, jangan buat aku memandangmu dengan kacamata lain
Aku seorang yang tidak konsisten, alright?
Jadi jangan buat aku jahat, aku juga takkan membuatmu jahat
Cukup puncak dan Tuhan yang tau arti keheningan dan kekisruhan itu

(Seribu Hari Menanti Hujan-H)
Negla Tengah, 06.03 WIB

Seribu Hari Menanti Hujan #

Pagi lagi, harusnya dibuat jadi semangat baru yang menggemaskan. Semangat perubahan agar tidak jadi bahan 'ketidaksukaan'. Semangat menjadi lebih baik dari hari kemarin yang keteteran.

Dengar, seperti ada motor cross saja dalam pencernaanku. Menderu tak henti-henti sejak bangun tidur. Mungkin dia lelah karena kuajak bergulat dengan pedas dan asem kemarin siang. Ah, maaf ya 😘

Pagi kemarin kami menjemput sunrise di Puncak Burangrang, pagi ini (walau menjemputnya di celah cahaya yang ada di atap kosan), toh mataharinya masih sama kan? Berarti hari juga masih akan menyenangkan seperti kemarin. Tapi minus ledekan 'pehul' dari A Win yah, minus ledekan 'lemot' juga (dari Kadat dan  A Apit). 😓

Sudah ah, ini hanya kata-kata pembuka pagi saja.

Sebelumnya, terima kasih Ya Allah. Karena masih memberi esa waktu untuk hidup. Maaf ya esa banyak salah, maaf juga solat subuhnya kesiangan. Titip salam buat mamah dan keluarga disana, bantu esa agar perjuangan mereka tidak sia-sia. Titip salam juga buat imam esa, bilangin kalo esa orangnya kalem kok (gak gigit) 😏 dan gak pehul juga 😌

See you next, God :)

Seribu Hari Menanti Hujan-H
Negla, 05.53 WIB

Senin, 21 Desember 2015

Cinta lagi

Cinta akan bergejolak jika kamu menginjinkannya mengisi ruang kosong dalam kepalamu
.
.
Cinta bukan hanya menyukai orang semata, karena itu lebih seperti rasa kagum

Cinta adalah kebutuhan, dan kebutuhan itu tidak harus dipenuhi saat urusan akademik dan organisasi sedang merajai

Cinta adalah ketenangan, bukan keresahan diri yang takut didahului atau dicurangi kawan

Cinta adalah ketulusan, yang tidak memerlukan balasan yang seimbang. Layaknya kasih sayang ibu pada anak, istri pada suami

Cinta adalah api, yang akan membakar diri jika tidak mampu dikuasai oleh akal sehat dan pengendalian Islami

Cinta adalah perbaikan, bukan kebobrokan. Cinta memperbaharui diri menjadi lebih baik

Cinta adalah pembelajaran, untuk menjadi pribadi yang menyenangkan dan bertanggung jawab
.
.
Sudah, begitu saja 🙊

Tanpa Judul #2

Hujan, setengah berbisik tentang larut
mengetuk hati untuk tersadar
dari romantika senja yang terlambat

Kau, maafkan semua ini
andai angin membisikan firasat rindu
lupakan, karena aku hanya bersua

Yudan-Ja yang malang
maafkan semua situasi ini
jangan peduli dan lupakan saja

Kau selamat tinggalku yang tertunda
tertawa di sisa Desember yang kelabu
kemudian menghilang di muka Januari yanh berkilau

(Negla, 0:04 WIB)

Minggu, 20 Desember 2015

Allah, aku rindu.

Allah, aku rindu.
Menjadi gadis baik yang patuh
menjadi pemilik hati yang tidak membenci

Allah, aku rindu.
Selamatkan aku dari keserakahan
selamatkan aku dari kenistaan duniawi

Allah, aku rindu.
Ikrar itu masih sama, aku sendiri
hingga kau perkenankan untuk berdua

Allah, aku rindu.
Bercinta dengan dingin dan air fajar
bercinta denganMu

Allah, aku rindu.
Ingin kembali, memeluk cahayaMu
merasakan kedamaian di setiap nafas

Allah, aku rindu.
Tanpa alasan yang lain
tanpa bualan yang palsu lagi

(Negla, 23:51 WIB)

Tentang Antigen AB #1

Mereka menyudutkan
melabelimu dengan ketidakpastian
lantas tertawa, dan kamu kebingungan

Hanya karena antigen langka
dan beberapa mitos kecil
kau sedikit istimewa di tengah hidup

(Negla, 22:54 WIB)

Yudan-Ja di Sisa Desember

Yudan-Ja yang malang
terperangkap hatiku
di sisa Desember yang kelabu

Andai aku berkoar
maka jangan peduli
karena antigen AB di darahku

(Negla, 22:46 WIB)

AB yang Homesick

Kalau aku bilang aku suka sama Si Aa A, jangan percaya. Atau aku bilang aku kagum sama Si Aa B, anggap aku meracau. Karena kata Novri, orang bergolongan darah AB itu plin-plan dan gak pernah benar-benar suka sama satu orang. Haha, anggap saja begitu.

Tapi kalau aku bilang:
.
Aku mau pulang
.
Itu memang benar, percayai dan lihat seberapa lemahnya si gengsi ini menahan rindu 😢

Kalau mereka tanya 'kenapa esa gak pulang?', aku pasti hanya bisa tersenyun tipis tanpa bisa mengatakan alasannya dengan jelas. Di rumah, aku bukan tipikal yang hangat. Aku pasti akan diam, seingin apapun aku bilang 'sayang' sama Mamah, Bapak, Eka, Anne, atau Gara. Ya, kedua orangtuaku memang tidak mengajarkan bagaimana caranya untuk mengatakan cinta dan bermanis muka.

Hingga akhirnya, perasaan rindu di hati kami hanya akan menetap tanpa terucap.

Lantas di saat seperti itu, aku biasanya akan minta ditelpon untuk mendengar Mamah berceramah kecil tentang kesehatan dan makna kepercayaan.

Andai ceramah itu terdengar secara langsung, aku akan berbaring di sampingnya sambil menatap langit-langit kamar yang terasa sangat tinggi.

Ah, kebiasaan itu.

Seseorang pernah bilang 'kamu harus pulang untuk mengembalikan sebagian jiwamu yang menguap'. Iya, aku ingin. Tapi egoisme selalu menemukan banyak alasan untuk membuat ragaku masih tertahan Kota Kembang.

Entah, sampai sini saja.
Si plin-plan mungkin butuh istirahat 😀😁😂✌

Sabtu, 19 Desember 2015

Kepada Pemilik Hati yang Kosong

Kepada pemilik hati yang kosong
Kepada pecinta aroma petrichor yang lincah
Kepada pecinta lukisan daun di tengah senja

Kepada pemilik hati yang kosong
Kepada hati yang tidak pernah mencoba setia
Kepada hati yang tidak peduli pada pemiliknya

Kepada pemilik hati yang kosong
Kepada dia yang bahagia melihat Ksatria Teratai
Kepada dia yang melempar diri pada pria itu

Kepada pemilik hati yang kosong
Kepada jiwa yang mencoba mengartikan rindu
Kepada jiwa yang memagari diri dengan ketidakpedulian

Kepada pemilik hati yang kosong
Kepada diri yang selalu kusebut sebagai 'Aku'
Kepada diri yang selalu kusebut  sebagai 'Peracau'
.
.
Menunggu After Isya untuk bernyanyi
Di sisi kanan panggung yang terbilang remang, Esa.
.
Sabtu, 19 Desember 2015 pukul 20:36 WIB

Titik Dua Lantas Huruf D

Rasanya menyenangkan: menjalankan apa yang kamu sukai, berimajinasi di kamar yang kamu kehendaki, dan bersenang-senang bersama orang yang tepat.
.
.
Jadi ingat hari kemarin saat aku dengan sendu meminta izin untuk menetap di kamar itu namun terkesan ditidak-bolehkan. Ayolah esa, mungkin kamu sedang sensitif sehingga tidak bisa menerima penolakan, padahal sebenarnya orang itu mengatakan yang sebenarnya. Kamu harus berpikir tentang rumah, bukan tentang kamarmu saja. Tapi....

Akhirnya dengan sedikit lobbying yang tidak terlalu memabukkan (karena tidak dibumbui rayuan gombal), aku mendapat tempat kosong untuk mengisi kamar itu. Maksudku, kami saling bertukar kamar untuk berbahagia. Dan ini menyenangkan, sangat! Bahkan rasanya membuatku ingin teriak dan melompat tidak karuan.

Ok, Tuhan mungkin sengaja membuat skenario ini. Dia ingin meyakinkanku tentang pilihan ini, dia ingin aku memiliki alasan yang kuat untuk terus belajar. Ya, aku harus terus belajar.

Aku ingat catatan kecil yang kutulis di belakang name tag peserta Pusdiklat Geowisata, akhir September tahun ini. Aku ingin jadi seorang cav*r, keliling Indonesia dengan bahagia. Dan sebagai tambahan: aku juga ingin mengunjungi suatu tempat dengan padang ilalang berpermadani bunga lantas berteriak menikmati kebebasan.

Wacana tentang 'kamar' ini adalah wacana tentang aku yang harus belajar untuk mewujudkan keinginan pertama. Sebagian darimu mungkin akan bertanya apa yang kumaksud, tapi lupakan saja jika memang ini terasa tidak penting.

Aku hanya ingin berpesan:

"berusahalah untuk sesuatu yang kamu suka, agar segala tentangnya tetap menyenangkan dan bermakna"
.
.
Di tengah sorai GPS 2015 "Pankromatik"

Rabu, 16 Desember 2015

Surat Wasiat dari Si Nona

Tiba-tiba aku ingin dipanggil 'nona' pagi ini. Ingin menghirup udara lebih dalam, meminum air lebih banyak, dan sedikit berlari.

Baru saja mematikan flight mode di si putih, notifications berdatangan. Ada yang ngasih tau tugas, nyapa doang, bahkan meminang buat donor darah. Baru ditinggal 11 jam nonton Drama Korea aja aku sudah seperti zombie yang tertinggal info aktual 😂✌

Ok, ceritanya pagi ini Nona mendapat ilham: ingin membuat surat wasiat yang semoga saja terbaca dan diingat oleh para secret reader.

Aku tidak ingin meminta Tuhan untuk memperpanjang usiaku, aku hanya meminta semoga Ia mengizinkanku untuk masih bermanfaat bagi orang banyak tepat di hari kematianku.

Aku ingin menjadi pendonor organ!

Apapun itu, ambil saja dari tubuhku jika memang perlu. Ambil mataku yang masih normal ini, ambil ginjal, atau apapun yang memang masih bisa digunakan oleh tubuh lain.

Sebut aku si Nona mellow, tapi telingaku sudah kebal dengan julukan itu.

Wasiat ini sedikit romantis, maksudku aku benar-benar telah memikirkan hal ini sejak dulu. Aku ingin mati tersenyum, dan sambil menunggunya aku ingin selalu menyumbangkan si cairan merah dalam vena-ku.

Entahlah, siapapun.
Sampaikan ini saat aku mati :)
Terima kasih 😘

Selasa, 15 Desember 2015

Tentang Kisah yang Tidak Pernah Selesai

Suatu ketika ada seorang pria high class yang mencintai seorang wanita sederhana. Tapi sayangnya si wanita sedikit tidak menghiraukan, dan pria itu memilih untuk mengejar apa yang dia mau.

Setelah sekian lama, hati si wanita kemudian melunak dan luluh. Mereka menjadi sepasang kekasih yang saling jatuh cinta, lantas bersama untuk jangka waktu tertentu. Setelah itu, mereka saling mengetahui kebaikan dan keburukan masing-masing. Hingga satu ketika sang pria merasa sedikit jenuh pada si wanita, begitupun sebaliknya.

Di sisi lain, tanpa mereka sadari ternyata ada satu wanita yang juga mencintai pria itu, mencintai orang yang sama dan bahkan ingin memilikinya. Namanya wanita ketiga, karena kehadiran wanita kedua tidak seharusnya ada, apalagi yang ketiga?

Katanya, cinta harus diperjuangkan. Kemudian wanita ketiga itu mencoba masuk di tengah hubungan yang meretak. Menjadi sosok malaikat yang menyejukkan hati si pria, menjadi kekasih cadangan. Keadaan itu berlanjut semakin lama, hingga sang pria memilih pergi dan melepas tanggungjawabnya untuk mengutuhkan kembali hubungannya dengan wanita pertama. Dia memilih jadi pengecut, yang pergi untuk mendapat hubungan yang masih utuh. Setelah itu apa? Wanita pertama itu sakit hati dan tertinggal di sudut penyesalan yang menyakitkan.

Ada beberapa hal yang baru orang sadari ketika hal itu benar-benar telah pergi, termasuk cinta, rindu, dan rasa memiliki.

Kemudian pria itu merasa telah kehilangan sosok yang lebih dia butuhkan, dia kembali meracau di tengah kalutnya. Dia ingin kembali, namun saat dia menengok, wanita pertama telah lama pergi untuk menata suasana hatinya. Percayalah, wanita membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menyucikan hati dari rasa cinta, maka sebenarnya wanita pertama tidak pernah benar-benar pergi. Dia hanya mencoba untuk tidak terlihat.

Pria high class yang bodoh itu kemudian mengejar sesuatu yang telah dengan sengaja ia campakkan. Apapun ia lakukan, tapi wanita pertama terlanjur membenci sikapnya. Kini giliran Sang Takdir yang menghukumnya. Iya, merasa kehilangan adalah sebuah hukuman yang tidak bisa dibilang ringan, dan pria itu mendapat hukuman yang layak.

Siklus kehidupan akan senantiasa berputar.

Senja kemarin wanita pertama yang patah hati, sedangkan pria dan wanita ketiganya asyik tertawa renyah. Hari ini pria itu yang patah hati, sedangkan si wanita pertama telah tenang di saat wanita ketiga mulai merasa resah. Besok (kuharap), si wanita ketiga yang patah hati sedangkan si pria dan wanita pertama tertawa renyah bersama-sama.

Mengambil hak oranglain tidak terhitung sebagai sebuah kebaikan.
.
.
.
Ini klise, aku hafal bagaimana akhirnya
.
Namun apa aku menyelipkan akhir yang keliru? Lantas bisakah kau yang tuturkan sendiri bagaimana kisah kita akan berakhir?
.
.
.
Tentang Februari yang tersisa dengan percuma, tentang kisah yang tidak pernah selesai. Tentang kau, aku, dan sedikit egoisme.

Senin, 14 Desember 2015

Tropus yang Dingin

Namanya Tropus, sebangsa manusia purba yang tidak sengaja masuk mesin waktu dan tersesat di dataran tinggi Bandung pada Abad 21-an.

Aku mengenalnya setahun lalu, tidak sengaja dipertemukan di ladang yang sama, universitas berlabel pendidikan kebumian. Tidak sengaja pula disatukan di kelompok yang sama, jadi mau tidak mau saling berhadapan selama masa kaderisasi.

Kami sering berdebat, percayalah! Aku bahkan sangat membencinya kala itu, hingga kakak pembimbing kami kewalahan untuk mendamaikan. Masa kaderisasi itu usai, kami tidak lagi mendapat jam tambahan untuk bertemu, ya walaupun nyatanya masih berada di bawah satu atap dan waktu yang sama.

Kemudian secara tidak sengaja keinginan kami juga sama, mengikuti pendidikan dasar di organisasi kepecintaalaman yang mengharuskan ikatan persaudaraan yang kuat. "Ah, tidak mungkin bisa" tekanku dalam hati. Tapi ternyata keadaan mengharuskan aku untuk mengalah, kami harus belajar menekan egoisme, tidak berdebat dalam beberapa hal sepele.

Dulu, aku selalu suka membantah opininya. Aku juga suka menunjukkan rasa kesalku secara terang-terangan. Ya, orang itu selalu mengubah mood menjadi sedikit negatif. Tapi itu dulu, sebelum waktu mengajarkanku tentang arti persaudaraan. Dengan sedikit rasa gengsi aku katakan, aku menyayangimu sama seperti kesepuluh orang yang lainnya. Sikap tidak peduli yang seakan mengajak perang dingin, itu sedikit terindukan. Kau aneh, iya!

Tentang Tropus, saudaraku yang aneh.
Tulisan ini hanya bertujuan satu hal, memastikan otakku bahwa kita memang tidak sedang perang dingin. Ini hanya pengakuan bahwa aku menganggapmu saudara yang baik, sekarang. Tetaplah jadi konyol dan lindungi kami dari egoisme yang mematikan.

Itu saja. Jadi, damai kan?
.
.
Dari Kosan yang sedang kacau, siswa no. 4
Senin, 14 Desember 2015 pukul 10.31 WIB

Teruntuk Secret Reader yang Bermagis

Aku bukan tipikal orang yang menyenangi dusta, apalagi di depan orang-orang yang berharga. Aku lebih senang menyembunyikan semua itu dalam tulisan, menyelipkannya dengan bumbu kecil kesaktian sastra. Walau sebenarnya aku belum paham betul apa itu sastra.

Menulis blog merupakan kebiasaan baru yang sedang kugeluti saat ini. Percaya tidak percaya, blog menjadi diari maya yang menyenangkan untuk diajak bicara. Sama halnya dengan posisi Perempuan Batu dalam dinasti Utsmaniyah di Turki masa silam.

Hanya saja, aku mungkin terlalu banyak membicarakan banyak orang. Tentang rasa benci, rindu, bahkan sayang. Tentang cerita Bancet, Ksatria Teratai, Ksatria Arogansi, Putri Kopi, Retak, bahkan Tumitis Surya. Semuanya. Dan dengan kesadaran penuh kupersembahkan untuk khalayak ramai, membiarkan mereka mendeskripsikan setiap makna yang terkandung di dalamnya.

Untuk seorang kakak yang dengan rajin membaca tulisan tidak berguna ini, terima kasih. Hanya saja rasanya aku memang tidak bisa menyembunyikan semuanya darimu, maka terkadang aku berharap kau tidak mengerti dan melupakan semuanya. Tapi percayalah, semua terjadi begitu saja. Aku menulis apa yang sedang aku pikirkan. Kehadiran secret reader sepertimu memberi kekuatan magis tersendiri, tapi aku bersyukur karena dengan begitu setidaknya aku merasa tengah bercerita pada seseorang, salah satunya kepadamu.

Semoga kau tidak pernah bosan mendengar keluhanku tentang dunia, tentang sesuatu yang terkadang kupandang dari sudut lain, tentang segala rasa yang selalu datang saat sepi, tentang mereka. Terima kasih :)
.
.
.
Dari perempuan yang sedang bosan pada pagi, Esa.

Tentang Ksatria Arogansi

Aku ragu mengatakan ini, maka aku menulisnya. Aku merindukanmu, sangat. Aku merindukan bagaimana sorot mata tegas dan teduhmu. Aku merindu segala romantisme yang kau tunjukkan dengan sedikit dibumbui gengsi, rasanya kecut tapi memabukkan.

"Apa kabar, kapan pulang?"

Baru kusadari, ternyata di luar sana banyak juga wanita yang dengan bodoh menjadikan dirinya sebagai rumah bagi para pria hidung belang. Apa aku termasuk? Bagaimana menurutmu?

Aku menyadari jalan cerita itu telah lama ditinggalkan, dimana aku dan kau sama-sama enggan untuk menengok. Hanya saja hening selalu membuatku mengingatnya, jalan yang kita lalui bersama untuk menghabiskan sisa Februari.

Kau, masihkah menyeruput alkohol di tengah kalut? Atau bermain wanita di tengah jemu? Atau bertingkah serampangan dan arogan? Meski begitu, kau masih ksatria jahat yang kurindukan. Apa aku boleh berpaling dan melupakan semua luka ini? Kuharap kau jawab 'iya'.

Jantung kehidupanku masih berdetak setelah kau memilih berpisah di persimpangan, tapi rasa setelahnya seakan hambar, bahkan lima Februari kemudian. Tapi perpisahan bagai takdir yang harus dipatuhi, akhirnya kita benar-benar berpisah. Saat itu pagi tidak pernah terasa hangat lagi, dan hujan bahkan membekukan hingga ke hati paling dalam. Aku tersiksa dan larut dalam senyum arogansimu.

Ksatria Arogansi, nama yang cocok kusematkan kepadamu. Kau layak mendapat sedikit rutukanku, walau sebenarnya semua bermula dari kebodohanku membiarkanmu pergi.

Entahlah, aku tidak mau meneruskan.
Aku bosan dan rindu.
.
.
Senin, 14 Desember 2015 pukul 1:31 WIB
Yang tengah alergi dingin, aku.

Minggu, 13 Desember 2015

Selamat Ulang Tahun ke-21 Tumitis Surya

Namanya Rahasia, orang yang aku tempel wajahnya di dinding kamar kosan yang jalur masuknya mirip jalur chimney (kosanku). Tapi tenang, foto itu berisi 12 wajah yang berbeda, yang dipertemukan di Bareti beberapa waktu setelah PMB.

Rahasia, kujuluki siapa ya agar lebih enak didengar? Ok, Tumitis Surya. Nama yang terlintas dari percakapan sepele pagi itu. Tumitis artinya seorang titisan atau manusia hasil reinkarnasi, dan Surya adalah nama lain suatu nama. Jadi, kau adalah reinkarnasi Surya, begitu kan?

Ok, marahi aku jika tulisan ini terlalu dalam menyinggung kenyataan. Walau sebenarnya aku tengah berusaha menutupi semua hal yang bisa dijadikan bahan gosip oleh para penonton. Jujur, aku tidak terlalu suka jika mereka riweuh.

Tumitis Surya, tegur aku jika memang aku terlalu mengusik hidupmu melalui pesan-pesan berisi hal sepele. Hanya saja, kau memang menyenangkan (apalagi untuk diajak bercerita).

Awal kedekatan kita ternyata bukan karena pertemuan seminggu sekali itu, bukan karena foto studio, bukan juga karena satu warna dalam berpetualang. Tapi karena sebuah momen dimana aku tidak sengaja terpilih jadi Perempuan Batu, bukan untuk para penghuni Dinasti Utsmaniyah, tapi untukmu. Untuk mendengar cerita pendakian yang tengah kau rencanakan✌ Aku mencoba menjadi pendengar yang baik, walau sering kali tidak bisa memberi solusi yang efektif.

Ada hal yang kusesali namun tetap harus kulakukan, tentang pendakian yang tidak jadi kau lanjutkan. Tentang sebuah gunung dengan kondisi atmosfer yang tidak stabil, dan mirisnya aku yang tahu penyebab ketidakstabilan itu harus bungkam dan pura-pura bodoh. Walau terkadang secara tidak sengaja aku menyuruhmu mundur, bukan karena meragukan kemampuan mendakimu, hanya merasa takut jika badai itu terlalu besar merepotkanmu. Baiklah, salahkan ke-mellow-an ini, hanya saja aku (sedikit) tidak rela jika kau terluka. Kau terlalu baik untuk itu (mungkin).

Yang berlalu biarlah berlalu, aku mengerti bahwa kau tidak suka membicarakan pendakian yang tertunda itu. Maaf, mari kita lupakan.

Tulisan kecil ini berasal dari hati, mungkin. Untuk Tumitis Surya yang kutulis di tengah hujan. Salahkan ke-mellow-an ini lagi, hanya saja aku memang merasa perlu mengatakan 'terima kasih'.

Terima kasih karena telah menjadi salah satu bagian istimewa dalam lembar kehidupanku, sebagai orang yang dengan entengnya mengejek namun juga membantu. Terima kasih karena sudah mau direpotkan dalam beberapa hal, menolong saat aku terjepit waktu untuk mengumpulkan bundel pertanggung jawaban demi nomor baju, mendengarkan racauanku tentang beberapa hal sepele, dan hal lain yang memang berarti, bahkan aku juga berterima kasih karena beberapa diskusi kecil kita tentang epos Mahabaratha.

Entahlah, mungkin aku sedang lelah dan kembali meracau.

Kau tahu, aku mengenal beberapa orang sepertimu di masa lalu. Kita berpisah karena jarak dan waktu, penyesalanku adalah keterlambatan berterima kasih. Perpisahan adalah suatu yang buruk, memang. Dan aku sadar bahwa hal itu akan terjadi pada kita semua. Aku tahu bagaimana cerita ini akan berakhir, hanya memilih menjadi bodoh dan terlarut dalam keadaan masa kini.

Semoga ini sederhana, semoga kau selalu sukses dan berbahagia: menjadi anak kebanggaan ibu serta keluargamu. Semoga segala mimpi dan harapan akan terkabul. Selamat ulang tahun, masih lama? Menurutku tidak, karena aku ingin jadi yang pertama mengucapkannya. Setidaknya hal itu merupakan tindakan yang baik dari seorang adik, begitukah?

Entahlah, aku bingung melanjutkannya.
.
.
Minggu, 13 Desember 2015 pukul 19.34 WIB.
.
.
Semoga aku tidak lupa memberi link ini tepat di hari ulang tahunmu yang ke-21
.
Dan semoga kau tidak membaca tulisan ini sebelum waktu benar-benar berganti ke pukul 00.01 WIB tertanggal 25 Februari 2016, 🙈🙉🙊

Bancet Kecil yang Meninggalkan Kastil Teratai

Bancet Kecil, adalah sebutan humor yang dicetuskan Aiyanti beberapa waktu lalu. Sebutan itu biasanya ditujukan untuk menyatakan perasaan hati dengan sedikit bumbu komedi dan rahasia kecil.

Salah satu bancet kecil ini menyukai Ksatria Teratai, pimpinan yang merajai seluruh Kastil Teratai. Tapi dengan sedikit rasa gengsi.

Beberapa jam lalu bancet kecil memutuskan untuk meninggalkan kastil, berharap rasa sukanya tidak membuncah dan dia masih tetap bisa melompat lebih tinggi tanpa menghiraukan Ksatria Kastil. Tapi apa daya, itu hanya suatu wujud kepengecutan. Ayolah, jangan mengiyakan 'sebutan' itu.

Saat bancet kecil itu pergi, Ksatria Teratai tidak akan terpengaruh apapun. Semua akan baik-baik saja, seperti sedia kala, dan itu yang benar-benar akan terjadi.

Kebaikan tidak seharusnya ditanggapi dengan perasaan berlebih, begitukah caranya agar beberapa pihak tidak terkesan bersalah? Mungkin iya.

Begitupun dengan kebaikan Ksatria Teratai di malam yang sunyi dan siang yang terik, sama saja (tanggapi dengan biasa).

Bancet kecil harusnya tidak mengumpankan diri terlalu jauh, dia harus kembali pada tupoksinya.

Dan untuk itu semua, bancet kecil memang harus meninggalkan kastil sejenak saja. Sekadar melupakan sedikit ketidak-profesionalitasannya, lantas ia baru bisa kembali setelah semua perasaan itu kembali seperti semula.

Iya, bancet kecil harus kembali menjadi dirinya yang dulu. Tidak peduli. Maksudku, ia harus belajar tidak peduli lagi pada pemikiran orang tentang hidupnya. Belajar tidak peduli pada senandung merdu dari Ksatria Teratai.

Jika begini, kuharap bancet kecil akan mendapat hal yang lebih menantang. Seorang Pangeran Beroda 4, kau kah itu?

Selesai.
Di atas aspal basah Cicaheum, Aku.
Minggu, 13 Desember 2015 pukul 16.11 WIB

Jumat, 11 Desember 2015

Adam dan Rahasia Kecilnya

Seorang Adam mampu menyembunyikan perasaannya selama bertahun-tahun
Aku melihatnya! Dan itu benar.
Mereka benar-benar mampu melakukannya

Lantas apa yang salah dengan Sang Hawa?
Mereka malah sebaliknya

Hawa memiliki hati yang rapuh, hingga berpikir dia membutuhkan seseorang untuk berbagi
Sahabat biasanya!
Jadi lebih romantis siapa sekarang?

Tentu Sang Adam dan rahasia kecilnya
Namun sekecil apapun rahasia, dia tetap melemahkan dari dalam

Seribu Hari Menanti Hujan #134

Aku mengingat masa lalu, lagi
Setelah melihat beberapa orang dengan tidak sengaja datang ke hadapanku

Aku hanya ingin menegaskan, aku tidak pernah menjadi orang bodoh
Kau tahu, itu hanya sedikit menggelikan
Kelakuan itu, menjadi pendengar setia bagi para penggemarmu

Ayolah, apa itu terdengar bodoh?
Jika iya, tidak masalah
Aku tidak peduli, itu sudah lama berlalu

Hanya saja saat ini aku penasaran
Bagaimana mungkin kau menjadi pencinta hal yang sama dengan mereka
Pluviophile hah?

Jangan sudutkan aku, ok aku tidak menyudutkanmu
Semoga ini sederhana, tetaplah cintai matahari itu (karena ia lebih berharga)
Walau kini hujan lebih menyenangkan

Terserah.

(Seribu Hari Menanti Hujan-H134)

Selasa, 08 Desember 2015

Perempuan Batu Karya Thariq Ali

"Rahasia adalah hal yang berbahaya. Bahkan ketika rahasia-rahasia itu perlu disimpan pun mereka akan menggerogoti jiwa kita."

Sabtu, 05 Desember 2015

Catatan Remang dari Cilacap

"Andai seseorang bisa menulis jalan hidupnya sendiri, maka pengadilan hidup akan sangat rumit"
.
.
.
Aku bertemu dengannya di hari pernikahan sahabatku. Kemudian kami berkenalan, lantas aku (yang masih belum baik) ternyata secara sengaja diselipkan Tuhan untuk mengurus kehidupannya.

Dia adalah seorang prajurit Angkatan Darat (atau sebangsanya), yang ditakdirkan untuk selalu bepergian dan menyiksa diri dengan kerinduan. Dia, semoga seorang yang ikhlas dalam menjalankan setiap amanah.

Tak lama berselang, kami saling mencintai tanpa saling membual. Aku (yang masih belum baik) lantas secara sengaja Tuhan titipkan untuk diluruskan agamanya.

Kemudian hari pernikahan itu tiba, aku hanya menjadi sosok yang ingin membahagiakan sebuah keluarga sebelum nyawa terenggut. Baiklah, aku tidak sedang mendo'akan sebuah penyakit datang, tapi tidak pantas juga menolak pemberian-Nya secara mentah-mentah. Biarkan kuasa-Nya yang berbicara.

Kami mencoba untuk saling menepati janji, menikmati kerinduan dengan bertasbih kepada-Nya, serta mencoba mensyukuri percintaan halal hanya berdua.

Kemudian aku akan tetap bepergian, dari nol hingga sekian ribu 'mdpl'. Dengan restu dan do'a manis dari Sang Kekasih yang berada di medan juang. Sebagai seorang yang tengah diuji rindu, aku juga layak mempersiapkan diri jika takdir memaksaku untuk 'kehilangan'.

Di sela rutinitas tugas, kami menyempatkan diri untuk merajut jarak yang sempat merenggang, berkelana dengan tetap bergandengan tangan. Mencapai mdpl lebih tinggi, lorong yang lebih kelam, atau meter tebing yang lebih menantang. Aku berharap dia penjelajah, sepertiku dulu.

Hingga suatu hari aku mendapat titipan indah dari-Nya, seorang peri kecil yang lugu, sosok yang harus kujaga sepanjang hidupku. Aku menamainya 'kasih', pelabuhan kedua yang harus kuindahkan dengan asma-Nya.

Kami lantas berajut tali rindu, aku hanya bertugas untuk memastikan bahwa peri kecil itu tidak pernah lupa pada bakti suci ayahnya di pulau seberang. Aku hanya berusaha mendidiknya menjadi generasi Al-Kitab, semoga Tuhan mengijinkanku untuk melaksanakan yang demikian.

Kami hidup di sebuah rumah yang damai, yang senantiasa ramai oleh gaung kitab dan rasa syukur kepada-Nya. Aku sangat mencintai keduanya tanpa melupakan keluarga kecil lain yang pernah kutinggali dulu, ayah ibu dan adik-adikku.

Lantas Ia akan menguji dengan segala macam ujian, bahkan mungkin dengan kematian. Hanya saja aku berharap semoga pasanganku hingga ke surga adalah keduanya, pria hebat dan peri kecil itu.

Entahlah....
Semoga segala kebaikan mampu terjadi
.
.
.
Catatan Remang dari Cilacap
Jumat, 4 Desember 2015 pukul 23.57 WIB
Tertanda, rindu.

Jumat, 04 Desember 2015

Tanpa Judul

Ada satu kisah yang tidak ingin kubagi dengan tetangga
Hanya dengan catatan maya yang bisu
Yang tidak akan berkomentar walau aku mengucap kata tidak berguna sekalipun

Aku menyukai seseorang, mungkin (entahlah)
Namanya Dia, salah satu putra sulung dari tanah yang permai
Si angkuh yang menyenangkan

Lucunya semua itu terjadi begitu saja

Aku ingat satu hal, entah siapa yang mengatakannya
"Kita tidak pernah bisa terhindar dari cinta, dia bisa saja menyergapmu secara tiba-tiba, hingga kamu tak bisa melawan sedikitpun" begitu
Apakah demikian?

Aku tidak pernah mengharapkan ketulusan yang terkontaminasi dengan rasa yang semu
Aku tidak menginginkan dia jika memang tidak perlu
Maksudku, aku tidak mau kita berubah

Lucunya semua itu terjadi begitu saja

Aku pernah membiarkan diriku tertawa dalam candaannya
Pernah pula menurunkan harga diri dengan menangis dan membiarkannya melihat sisi terlemahku
Ah gila, ini semua jelas membuatku gila

Tapi aku berusaha untuk tidak membuat yang lain berdecih puas dengan pendapatnya mengenaiku
Aku berusaha untuk kembali mengasihi dengan tulus
Aku berusaha untuk kembali menjadi adik yang baik

Lucunya semua terjadi begitu saja

(Rabu, 4 Desember 2015 pukul 0:00 WIB)
Untuk seorang kakak yang mengajarkanku bagaimana menyenangi masa lalu

Senin, 30 November 2015

Tentang Si Peracau

Kuharap Ia menyucikan hati si peracau
Jangan sampai ia memiliki pasangan di saat yang tidak tepat
Bukan menyumpahi, hanya berusaha mendoakan sebuah 'tameng' untuk hidupnya

Oh iya, kudengar si peracau mendapat sebuah surat cinta Maret itu
Aku penasaran siapa pengirimnya
Bukan cemburu, hanya saja semoga si pengirim memang tidak pernah menunjukan gelagatnya

Biarkan si peracau tenang, dia butuh menata hati agar dikata pantas

Saat ini si peracau lebih senang pada malam
Ah aku lupa, dia memang menyenanginya sejak dulu
Hanya saja, belum pernah secinta ini sejak enam bulan terakhir

Si peracau memiliki idola baru, katanya
Tapi aku tidak percaya, dia terlalu lugu untuk mengenali 'cinta'
Kau tahu? Dia hanya pengkhayal level 3

Biarkan si peracau senang, dia butuh menyenangkan diri di tengah sepi

Kau tahu, aku tidak pernah sedekat ini dengan si peracau
Dia tidak suka udang ternyata, dia juga benci jika idola menyadari gelagat bodohnya
Iya, setidaknya itu yang kuperhatikan

Si peracau memiliki idola baru, tapi kuharap dia bercanda
Idola itu harus diproteksi, (ralat) mereka harus di proteksi!
Setidaknya agar mereka sedikit suci

Biarkan si peracau menang, sesekali dia harus melupakan masa lalu

Tentang Psikosomatis dan Penderitanya

Psikosomatis, adalah gangguan pikiran yang mengakibatkan penderitanya mengalami gangguan fisik. Gangguan pikiran itu bisa berupa rasa cemas, kecewa, sakit hati, bahkan rindu.

Gangguan tersebut terjadi saat tubuh secara berlebihan memompa adrenalin ke dalam aliran darah.

Gejalanya bisa berupa mual, demam, panas dingin, lemas, bahkan meracau (yang semua itu sebenarnya adalah manifestasi dari kecemasan dalam otak).

Penyakit ini juga sering melanda mahasiswa-mahasiswa rantau, dan homesick menjadi alasan terkuatnya.

Ketika CPU dalam tubuh manusia mengalirkan energi negatif, maka metabolisme tubuh akan menurun dan menunjukan kelainan.

Aku tidak akan secara gamblang bilang 'rindu' itu negatif, tapi nyatanya seperti itu. Rindu, ingin pulang. Rindu bertengkar dengan adik bahkan bisa jadi penyebab psikosomatis juga. Asli✌

Solusi jitunya, seorang penderita psikosomatis hanya memerlukan orang untuk diajak ngobrol mengenai semua masalah yang sedang ia pikirkan, sampai ia merasa terbebas dari segala beban dan racauan tanpa kendali itu.
.
.
Tentang racauan dan nasihat yang menguap, tentang psikosomatis dan penderitanya. Tentang anak kos Negla, Ledeng, Gerum, Cilimus, Panorama, Cipaku, dan Gerlong.
.
.
Aku yang so' bijak ✌

Berpaling dari Masalah

Kamu tidak bisa lari dari masalah, karena ia menempel kuat pada hidupmu. Hanya sejenak kau mungkin bisa berpaling, maksudku: tidak mempedulikan kicauannya.

Berpaling tidak akan membuatmu jadi pengecut, setidaknya itu menunjukkan jika kamu butuh waktu untuk berpikir bagaimana pemecahannya.

Hidup dengan terus memecahkan masalah merupakan ciri seorang pemberani, betapa tidak? Dia jelas telah berani mendekati masalah sebagai tantangan hidupnya. Namun pemberani yang baik tentu akan menyelesaikan masalah itu dengan ikhlas dan bukan keluhan.

Ah, diri. Kau pintar sekali membolak-balikan kata namun action-nya tersendat-sendat. Harusnya kau jadi pengkhayal saja, menyendiri dan tidak usah membuat orang jengkel. Kau seperti Majnun yang disakiti kisah cintanya bersama Laila. Kau kosong, hanya terisi syair rindu tentang cinta dan kehidupan.
.
.
Senin, 30 November 2015 pukul 22.02 WIB
Kosan Baru, Negla Tengah yang pernah jadi sungai periodik.

Minggu, 29 November 2015

Homesick dan Keluarga Dingin

Fenomena 'indekos' memang sudah tidak aneh lagi di kalangan mahasiswa. Hal itu biasanya dilakukan saat jarak antara rumah dan kampus tidak bisa dijalani secara pulang pergi (komuter). Atau bisa juga dipilih sebagai alternatif untuk mempermudah mobilitas perkampusan.

Bagiku, ngekos juga merupakan salah satu cara untuk melatih kemandirian. Jauh dari orangtua, keluarga, dan teman rumah membuat mahasiswa mau tidak mau harus mencari keluarga dan teman baru di sekitar kampus (asal jangan cari orangtua baru aja) 😐😓

Karena terlepas dari pengawasan orangtua, indekos juga menawarkan sebuah 'kebebasan', dan aku sadari bahwa kontrol diri sangat diperlukan agar kita masih berada di koridor yang benar tanpa mengkhianati kepercayaan orangtua. Jujur, awalnya aku sangat menikmati kebebasan itu (menikmati masa dimana jauh dari orangtua memang memperluas gerakan dalam bermain dan berorganisasi). Tapi indekos juga sebenarnya tidak terlalu menyenangkan, berpenyakit. Iya, homesick!

Homesick adalah suatu keadaan dimana kita merasa rindu pada rumah, bukan pada atap atau dindingnya, tapi pada makhluk hidup di sekitarnya (orangtua, adik-kakak, teman, bahkan pada tukang gorengannya).

Homesick bisa mempengaruhi kondisi fisik dan psikologis seseorang, beberapa penderitanya bahkan bisa sakit dan depresi. Beruntung kalau dia terlahir dari keluarga yang hangat, tinggal hubungi orang rumah langsung dan bilang rindu. Nah bagaimana dengan nasib orang yang terlahir di keluarga dingin? Mau bilang rindu, pada siapa?

Ok kita jelaskan terlebih dahulu, keluarga dingin adalah sejenis keluarga yang tercipta dari keadaan broken home atau semi broken home, sehingga kondisi rumah tercipta terlalu formal karena setiap anggota keluarganya merasa tidak wajib untuk menyatakan kasih sayangnya secara langsung. Keluarga dingin juga membentuk karakter yang dingin pada anggota keluarga, ketidak pedulian dan gengsi.

Seseorang yang dibesarkan di keluarga dingin akan cenderung memendam rasa rindu dan menumpuknya dalam hati. Merahasisakan dan mengecapnya seorang diri. Sehingga orang sejenis itu bisa jadi mati rasa akan rindu. Hidupnya kosong dan hambar. Beruntung jika dia punya pelampiasan ke arah positif, nah jika tidak? Itu mungkin salah satu alasan kenapa kita harus berusaha akrab pada siapapun, mungkin untuk mencegah seseorang merusak dirinya karena rindu (bisa jadi).

Dan.... Sudah ah, bingung.
.
.
.
Dariku, yang sedang rindu rumah.
Minggu, 29 November 2015 pukul 19:48 WIB.
Tertanda, Kosan Biru Hijau Negla Tengah.

Hasrat Mencintai ala Manusia

Mereka bilang, mencintai tidak harus memiliki. Tapi nyatanya, bukankah cinta (juga) harus diperjuangkan?

Memaksakan hati memang dilarang, apalagi untuk mencintai. Tapi kalau begitu, bagaimana mungkin manusia bisa bertahan dengan pasangannya selama berpuluh tahun? Apalagi menurut penelitian, cinta hanya bertahan selama 4 tahun pertama.

Memendam perasaan bisa dimaklumi saat Sang Waktu tidak berpihak. Lantas sampai kapan rahasia secara tidak sengaja (malah) menyakiti diri pemiliknya?

Menjadi penggemar nyata hanya akan menambah beban pada idolanya. Ah, yang benar saja. Bukankah pada hakikatnya setiap manusia ingin dicintai?

Untuk memiliki Arjuna, Srikandi bahkan merebutnya dari Subadra. Dengan sedikit arogansi dihadapan Larasati, dan harus puas dengan kekalahan.

Begitulah hasrat mencintai ala manusia, berkembang sesuai peri kemanusiaan yang sedikit cacat.

Namun apa arti semua tulisan ini, tidak ada. Aku akhirnya menulis hal yang semu kelak menguap.

Pandangan Menikah Ala Mahasiswa S3

Pagi yang kesiangan, lagi. Pandangan tentang menikah mahasiswa S3? Ayolah, sebenarnya judulnya itu Pandangan tentang menikah mahasiswa semester 3 😄😅✌

Ok, akhirnya kami sampai juga di penghujung semester 3. Masa dimana tenaga, pikiran, dan dompet terkuras untuk tugas-tugas dan praktikum, masa-masa sulit dimana hati merasa ingin menikah saja daripada nugas. Tapi benar kata Teh Meyda dalam dakwahnya kemarin siang dalam Geografi Islamic Fair 2015, menikah tidak segampang itu 😧😢

Menikah adalah satu proses penyatuan seorang perempuan dan laki-laki dimana mereka harus mengakui kekurangan masing-masing dan mencoba bertanggung jawab satu sama lain. Pandangan kita (si S3 yang sedang pusing dengan PJ, PSB, dan SMI serta acara-acara himpunan), menikah memang menyenangkan, tidak usah mengerjakan tugas kuliah (kalaupun ada, tinggal minta bantuan kepada pasangan kita). Tapi ternyata pandangan itu (katanya) terlalu sempit saudaraku 😐😓

Bagi perempuan, menikah adalah proses pengalihan bakti dari orangtua kepada suaminya. Sedangkan bagi laki-laki, menikah merupakan sebuah pengalihan tanggungjawab, dari ayah si istri kepadanya. Maka dari itu pernikahan digolongkan sebagai ujian dan keberkahan.

Di saat kita belum dipercaya Allah untuk menikah, maka kita berarti belum pantas diuji melalui pernikahan serta belum waktunya mendapat keberkahan dari sana.

Ujian dan keberkahan Allah bisa datang dalam bentuk apapun: kuliah, kerja, bahkan menganggur. Untuk mahasiswa S3 seperti kita, Allah jelas tengah menguji kita dengan perkuliahan (yang ekstrem seperti di Geografi) 😀😂. Allah hanya ingin kita meningkatkan kualitas diri terlebih dulu, sebelum bertemu jodoh yang (sepertinya) akan berkualitas juga (etdah, maunya). Satu tambah satu sama dengan dua, entah dalam bentuk:
(1+1=2)
(0,5+0,5)+1=2
atau
1+(0,3+0,7)=2

Balasan Allah akan setimpal dengan usaha kita. Maka dari itu, mahasiswa S3 yang baik hatinya (Mario Teguh mode on), mari kita berusaha kembali untuk menjadi pribadi yang berkualitas agar mendapat jodoh yang berkualitas. Menjadi pribadi yang ikhlas agar mendapat yang ikhlas. Jadi pribadi berpendidikan agar dapat yang berpendidikan.

Tenang, jodoh sudah diatur oleh-Nya dalam lauhul mahfudz bahkan sebelum kelahiran kita terjadi. Jangan takut kehabisan, kalaupun pacar kita ditikung teman (🙊) atau friendzone gak kunjung nembak (🙈), udah tinggalin aja! Masih banyak yang lebih baik 💪 Nikmati keadaan saat ini, tugas (kuliah atau organisasi) kali aja ujian itu membawa keberkahan (atau kalo Allah izinkan, bisa jadi bawa jodoh juga 👫).
.
.
Ayo semangat bertugas ria mahasiswa S3 (khususnya Geo 14) 😄😅
Cepetan kuliahnya, katanya mau cepat nikah 😏😯
.
.
Dariku, yang sedang berbicara pada diri sendiri.

Sabtu, 28 November 2015

Seribu Hari Menanti Hujan #90

Sekarang aku bisa apa? Yang selalu kutemukan dalam setiap sudut otakku adalah nama dan wajahmu. Aku takut, berubah menjadi tidak profesional dan mulai berbelok menjadi penggemar barumu. Aku tidak mau, aku takut.

Aku mengenalmu di sebuah taman berbunga kuning yang mempesona. Aku mengenalmu dari sebuah catatan biru. Aku mengenalmu dari Sang Waktu.

Menyukai bahkan mencintai, candaan apalagi yang tengah disuguhkan oleh takdir? Aku belum siap, dan entah kapan akan siap. Aku terlalu takut menjalaninya. Aku takut menyukai dan mencintaimu.

Sebenarnya aku bisa saja mengatakan bahkan meneriakannya, itu pun kalau aku tak memiliki rasa malu pada penonton. Tapi aku bukan tipikal seperti itu, mungkin akan melobi waktu mengenai rasa ini.

Kau, yang kemarin mengalirkan sebuah energi yang cukup besar untuk mendetakan jantungku lebih cepat. Menurutmu aku harus bagaimana saat sebagian diriku (seakan) mengumpan pada hidupmu? Aku tersesat, dalam pemikiran yang berpusat kepadamu. Tolong, bebaskanlah.

Dariku, yang esok pagi ingin menginfus AB pada tubuh lain(semoga).

Jumat, 27 November 2015

Tentang Hujan dan Para Pecinta

Hujan memiliki magis tersendiri untuk para pecinta, ada yang mencintai basahnya air hujan, ada yang mencintai gertakannya pada kaca bening, ada juga yang mencintai aroma tanah yang menyeruak saat terbasahi olehnya.

Hujan, kata yang selalu dijadikan alasan oleh para pecinta untuk mengenang seseorang di masa lalu. Alasan yang klise, tapi memang benar terjadi!

Hujan menjadi suatu kebahagiaan yang sederhana, dan alam dengan baik selalu menyediakannya.

Para pecinta hujan bukan orang yang aneh, hanya istimewa. Mereka bisa menemukan kebahagiaan dari hal-hal kecil. Lihat kan? Mereka (sedikit) keren, andai setiap manusia bisa seperti itu. Kuulangi, menemukan kebahagiaan dari hal-hal kecil.

Hujan juga mengingatkan kita pada kebebasan yang pernah kita genggam saat masih belia (bertubuh kecil dan berpikiran serampangan), masa kanak-kanak. Semua orang dewasa pasti pernah main hujan saat kecil, kebahagiaan sederhana yang terindukan.

Pada nyata kebahagiaan memang dibutuhkan untuk menghiasi hidup yang susah. Iya, hidup memang susah. Tapi masih lebih mending ketimbang tidak hidup sama sekali. Masalah memang banyak, tapi masih lebih mending daripada menjadi zombie (mayat hidup yang tidak pernah sibuk memikirkan masalah).

"Allah tidak akan menimpakan suatu musibah melebihi kemampuan umatnya"
.
.
.
Maafkan aku yang lancang mengatakan sesuatu yang masih kuingkari.

Selamat berbahagia, dariku yang belum selesai membaca novel "Perempuan Batu" karya Tariq Ali.

Rabu, 25 November 2015

Surat untuk Putri Sulung Kerajaan Kopi


Ini adalah surat yang kedua untuk seorang putri, bukan untuk si Sulung Kerajaan Retak lagi, ini untukmu yang kemarin dengan antusias mau diajak mengembara dalam dunia khayal.

Putri Kopi, nama yang kuangkat dari lambang rumahmu disana. Putri yang tegar, yang enggan menangis di hadapan para penonton pasif itu. Kau yang menanti mentari jingga di ujung jalan, perhentian terakhir dengan kilau bahagia yang sejati.

Putri, walau inangmu mengubah marganya dengan pasangan baru, kau masih tetap harus tersenyum. Dan aku yakin kau akan tetap begitu.

Oh iya, angin yang berhembus ke segala arah ternyata nakal juga kepadamu. Dia mengabarkan semak sesuatu yang kurang tepat, hingga para penonton menatapmu skeptis. Aku tahu itu, aku percaya kepadamu, karena aku (maksudku kami) tidak akan jadi penonton pasif itu (semoga).

Putri Kopi, seiring matahari yang senantiasa bergerak dalam peredarannya, seiring itulah (kuharap) Tuhan mempertebal kekuatanmu. Jadilah si Sulung yang selalu tersenyum dan bahagia. Jadilah sesuatu, agar para penonton itu mulai bertepuk tangan akan kesuksesanmu dalam segala hal.

(Jumat, 27 November 2015 pukul 8:07 WIB dari Kosan seharga 4 juta. Saudaramu, Esa)

Jumat, 20 November 2015

Jangan Dekat, Nanti Cinta!

Jangan terlalu dekat dengan seseorang, nanti kamu cinta!

Iya, itu memang benar ternyata. Kedekatan membuat kita butuh, dan kebutuhan membuat kita cinta. Tak ingin lepas, tak ingin jauh.

Kedekatan itu bisa secara fisik atau psikis. Bisa saja, karena 12 hari bersama-sama siang malam, kamu jadi cinta. Atau bisa juga, karena kalian punya rahasia pribadi yang disimpan sama.

Entah, tapi jangan jadi pecundang juga ya. Jangan karena dekat dengan siapa pun kamu jadi baper pada siapa pun. Kasian orang itu, nanti jadi jahat karena perasaanmu.

Udah ah, capek.
(Jumat, 20 Nopember 2015. 23:21 WIB)

Rabu, 18 November 2015

Seribu Hari Menanti Hujan #80

Andai bukan kau, apa kacau itu ada?
Apa rasa itu juga akan tetap sama?

Hawa yang merindu Adam
Sepi memberi sosok kawan

Tatapan 3 detik, yang tersirat sekilas
Tepat di hari ke-80 yang membekas

Abu ingin sekali mendekap
Sayang putih melarang ketat

Tentang 3 detik, tentangmu
(Seribu Hari Menanti Hujan-H80)

Surat untuk Putri Sulung Kerajaan Retak

Putri, maafkan hamba. Maaf atas keteledoran lidah yang ambigu dan multitafsir hingga kau menyangka sebuah penyudutan yang tidak pernah kurencanakan.

Oke sebelumnya, kujuluki begitu karena kau memang anak sulung, yang hebat. Yang tinggal di sebuah kerajaan megah dengan kaca retak disana-sini. Hingga kamu hanya bisa menatap dirimu sebagian dan kecewa.

Baik kita lupakan, itu hanya perkiraanku saja.

Putri Sulung dari Kerajaan Retak, aku tau rasa cintamu padanya memuncah dan tidak bisa lagi ditahan oleh bendungan di dalam hatimu sendiri. Namun sayang disampingmu juga ada seorang putri dari kerajaan lain yang mencintai orang yang sama denganmu, Pangeran Berkuda Biru.

Kau Putri Sulung dari Kerajaan Retak, ampuni hamba yang dengan sengaja mengatakan 'kau keduluan'. Walau aku tidak yakin pernah mengatakan demikian, sedang kau mendengar demikian, maka anggaplah demikian. Tapi demi senyum Mamahku, aku tidak pernah berniat melukai perasaanmu. Aku tidak pernah berniat menyudutkan posisimu. Aku tidak bermaksud menyinggung tentang pangeran-mu. Kalau begitu, aku mohon maaf atas ke-ambiguan itu.

Hei Putri Sulung dari Kerajaan Retak, mencintai dalam sunyi memang sulit. Kita harus menahan hati, pikiran, dan sikap agar 'mereka' tidak bisa menangkap ketertarikan diri pada 'orang itu'. Bertahanlah, kecuali kau memang berniat untuk menjadi penggemar suka rela dan terekspos. Tapi kusarankan jangan, beberapa dari mereka menyebalkan dan bermulut besar. Maafkan mereka ya Putri.

Ini adalah surat yang mungkin tidak akan kau baca, kecuali Tuhan mentakdirkanmu membeli kuota dan tersesat dalam Diary Maya-ku. Terimakasih untuk hari ini, ampuni yang telah tak sengaja terucap dan meracaukan pikiranmu. Surat ini juga sebagai pembersih, pikiranku yang juga mulai meracau.

Selamat malam.
Dariku, yang senang panen jambu air di kampus tercinta.

(Rabu, 18 Nopember 2015 tepat 2.29 AM. Kosan Ohing, yang sekat kamarnya mirip jalur chimneying)

Selasa, 17 November 2015

Surat untuk Wanita Hebat, Mamah Aiyanti

Assalamu'alaikum
Hei, ibu. Apa kabar? Semoga ibu baik lahir batin dan selalu dalam lindungan kasih sayang Allah. Aamiin :)

Bu, kemarin esa dengar cerita tentang ibu dan dari sana juga esa tau kalau ibu adalah Mamah yang luar biasa. Ibu hebat, sekarang esa gak heran dari mana putrinya mendapat kekuatan hidup yang juga kuat.

Bu, saya teman putri ibu. Saya juga tau semua perasaan itu. Marah, kesal, sedih, dan putus asa, setidaknya itu yang esa rasakan waktu dulu di posisi yang sama.

Bu, saya bukan teman yang baik tapi saya akan mencoba apa yang menurut nurani baik. Saya berdoa semoga kehadiran kami bisa lebih menguatkan hati putri ibu yang cantik dan ramah itu.

Bu, setiap detik langit berubah sesuai dengan keadaan aerosol, uap air, dan debu kosmik di udara. Semoga dinamika itu seiring dengan keberkahan dan pahala teramat besar bagi dia yang berjiwa ikhlas. Dan semoga kita adalah salah satunya.

Bu, setiap garis tangan ada bersama takdir individu yang memilikinya. Dan aku yakin, setiap harinya hati ibu tidak pernah berhenti berdoa untuk takdir kedua putri cantikmu yang tegar itu. Semoga setiap pengharapan baik darimu selalu didengar dan diwujudkan-Nya. Aamiin.

Iya bu, surat ini hanya berisi penyampaian kekaguman yang membumbung dalam dada sejak sore kemarin. Semoga ini mewakili, terima kasih karena telah menjadi Mamah yang luar biasa. Sehat selalu, bu. Jangan sakit, jangan bersedih.

Assalamu'alaikum :)
Tertanda: orang yang kemarin sore duduk dekat air terjun FPIPS, Esa.

Minggu, 15 November 2015

Bara Cinta Shanaya #4


Chapter 4
Payung dan Batu

Aku memperhatikan lukisan di depanku dengan seksama, sepertinya ada banyak hal yang belum kuketahui tentang Bara.
"Belum makan malam kan?" tanya seseorang mengagetkanku. Aku berbalik, Bara!
"Belum, kan tadi ada yang mau ngajak jalan. Kali aja dikasih makan malam juga"
"Hahaha. Berarti emang mau ya diajak jalan?" pertanyaan pria itu lebih terkesan seperti ejekan. Terserah.
"Ya udah, ayo!"
Bara tidak benar-benar mengajakku jalan-jalan dengan ontel. Benar kan? Omong kosong!
Dia melesatkan sebuah Ninja hijau yang dipinjamnya dari Ibu Jawa. Maklum, Bara sama sekali tidak membawa apapun dari Bandung. Mungkin hanya sebuah tas kecil dan baju wartawan yang dipakainya saja.
Pria itu melesatkan motornya membelah Kota Malang yang dingin, entah kemana. Beberapa saat kemudian kami sampai di tempat tujuannya. Sebuah rumah makan panggung dengan gaya bangunan khas Jawa.
Bara melempar senyum kepada wanita yang selanjutnya kuterka adalah pemilik rumah makan itu, aku mengikuti, dan wanita itu membalas senyuman kami.
Kami diantar menuju lantai dua, ke sebuah ruangan khusus yang sepertinya memang dirancang untuk makan malam berdua. Tapi yang aku herankan sejak kapan pria ini menghangat? Apa dia merasa bersalah karena kejadian semalam? Atau angin timur yang kering mencairkan bongkahan-bongkahan es dalam hatinya? Entah.
"Waw, keren!" seruku girang melihat pemandangan yang disajikan restoran panggung ini.
Bara tersenyum menang, "Itu Kota Batu, Nay. Indah kan? Kayak kamu" aku tercengang mendengarnya.
"Ish, kenapa sih kamu?" menjitaknya.
"Aww"
Aku berjinjit memegang dagunya lantas memasang mata jahat."Kesambet apa?".
"Ruh Shanaya", aliran panas mengalir dengan cepat di tubuhku. Tatapan Bara lebih dalam, seperti tatapan yang dia berikan empat tahun lalu saat kami pertama kali bertemu di rumah sakit. Tatapan yang pernah membuatku sangat jatuh cinta.
"Gila!" dengan canggung aku mengalihkan perhatian pada pemandangan tadi.
Aku tidak lagi mendengarkannya, sibuk menumpang dagu dan menggumam salut. Yang aku ingat dari Google, Kota Batu dan Malang memang berdekatan, dan saling melengkapi.
"Kamu tahu gak, Nay?" tanya Bara tiba-tiba.
"Malang sama Bandung punya banyak persamaan".
"Oya?" aku balik bertanya, heran.
"Malang mendapat julukan Kota Bunga dan Bandung Kota Kembang. Malang dan Bandung juga sama-sama terletak di sebuah cekungan purba yang terbentuk di masa lampau". Aku melirik pria itu, tapi dia malah sibuk dengan Kota Batu-nya.
"Terus?"
"Terus mereka juga punya julukan asing yang hampir mirip. Bandung adalah Parijs van Java, sedangkan Malang adalah Parijs van East Java". Kami terdiam sesaat, hening.
"Bara!" dia menoleh. "Maksud aku, terus emang siapa yang nanya? Lagian orang kita lagi di Batu kok, bukan di Malang"
"Ish, ini anak!" celanya kesal.
Makanan yang kami pesan datang, seorang pelayan muda berwajah ayu-lah yang mengantarnya. Dalam hati aku bersyukur karena Bara bukan seorang mata keranjang, mungkin?
Kami melahap makanan itu tanpa suara, beberapa kali aku melirik keluar pintu yang memang dibiarkan terbuka, mencegah pandangan negatif oranglain. Melirik orang-orang di luar yang sedang lesehan dan sesekali terbahak ria.
Oh iya, nama kawasan ini Payung, tempat barisan rapi rumah makan menyuguhkan pemandangan kota saat didekap kelam. Di Bandung juga ada tempat seperti ini, namanya Punclut. Tempat yang cocok untuk memandang Kota Kembang dari ketinggian.
Suasana kota di malam hari ternyata memang sangat menawan. Titik lampu warna-warni terlihat seperti aksesoris mungil yang menghias wajah kota dengan manis.
Sungguh malam di Payung yang indah. Sesekali aku juga melirik Bara, heran. ‘Tidak biasanya orang itu begini’ dan hanya bergumam dalam hati.
Kami mulai membicarakan kenangan-kenangan kami saat mendaki bersama teman-teman pecinta alam lainnya. Pendakian ke Semeru dua tahun lalu, Rinjani setahun lalu, dan pendakian-pendakian sederhana lainnya.
Malam semakin larut, Bara mengajakku pulang. Tanpa sadar aku malah tertidur sepanjang jalan dan melupakan semua pertanyaan tadi siang.
Samar-samar aku membayangkan Payung dan Batu hidup. Dua tempat yang berbeda, si tinggi dan si rendah yang saling mencintai. Batu sejuk karena paru-paru hijau dan air kasih dari Payung, dan Payung ada karena Batu akan indah dipandang dari ketingian. Walau keduanya berkisah tentang Batu, Payung tidak mengeluh kepada Tuhan ataupun berniat ingin pergi. Dia diam, setia, entah bodoh sepertiku.

Bara Cinta Shanaya #3


Chapter 3
Bertemu Ibu Jawa

Bis yang membawa kami melabuhkan dirinya di terminal Kota Malang. Aku menarik nafas panjang, memang sedari tadi ini yang ingin aku lakukan. Keluar dari keheningan!
Jadi selama beberapa jam tadi aku diam seribu bahasa, tidak ingin berbincang sedikit pun dengan Bara. Entah kenapa, rasanya muak sekali dengan sikapnya yang tiba-tiba menciumku tadi sewaktu bis kami masih melanglang di Kota Kembang.
Aku berusaha menggeser pria itu untuk keluar dari tempat duduknya, hingga aku juga bisa keluar dengan mudah. Aku berdiri dan mengambil carrier-ku, kemudian memasangnya kembali dengan kuat.
"Nay, kamu mau kemana?" tanyanya dengan wajah tidak berdosa. Aku memicingkan mataku, menggerutu dalam hati.
"Bukan urusan kamu!" jawabku ketus hendak berlalu, namun Bara menarik bagian belakang carrier dengan seringai khasnya, membuatku hilang keseimbangan dan hampir terjatuh kalau tidak ia tahan.
Aku menatapnya tajam, kesal dan marah.
"Ish, aku gak suka sama tatapan kamu yang ini, Nay" dia menaruh dua jempolnya di atas kelopak mataku. Perlahan, suasana menjadi hening. Ada aliran aneh dalam dadaku, debaran yang tidak menentu. Tiba-tiba jempol Bara bergetar, dia melepaskan kunciannya, lalu suasana menjadi kikuk dan kami salah tingkah.
"Aku udah pesan penginapan yang cocok buat kita. Ayo!" dia merangkul bahuku dengan lengan kanannya. Kuncian lengan kekar itu jelas tidak memberi celah untuk kabur.
Kami turun dari bis dan Bara memanggil seorang supir taksi, pria berkumis tebal itu lantas mengantarkan kami ke tempat yang disebutkan oleh Bara. Sebuah tempat yang dengan fasih dia katakan, lengkap dengan nomor rumah dan warna catnya.
-oo0oo-
Tiga puluh menit berlalu. Pak Agus, nama supir taksi yang aku tahu dari pembicaraannya dengan Bara, memarkirkan taksinya di halaman sebuah rumah tradisional yang nampak anggun dengan cat cokelat dan pekarangannya yang luas.
Setelah membayar, Bara membawa carrier-ku dari bagasi. Kemudian berjalan santai menuju beranda rumah yang terbuat dari kayu itu.
Aku masih terdiam di pekarangannya, memperhatikan tingkah Bara yang slenge’an. Pria berambut ikal itu menaruh carrier di kursi santai milik si pemilik rumah. Sedangkan aku hanya melongo heran saat dia mulai mengetuk pintu dan memanggil seseorang dengan panggilan 'ibu'.
"Iya sebentar" teriak si pemilik rumah dari dalam.
"Nay, sini!" teriak Bara sambil melambaikan tangannya ke arahku. Aku menggelengkan kepala, kemudian pria itu menghampiri dan menarikku ke beranda tadi.
Pintu dibuka, sosok itu lantas terlihat jelas. Seorang wanita Jawa yang anggun berdiri tepat di depan kami, kira-kira usianya sama dengan Mamaku di Bandung.
"Aduh, Nak. Kok kesini gak bilang-bilang ibu dulu" gerutu lembut Ibu Jawa itu dengan logat khasnya.
"Iya bu, sengaja biar kejutan" pria disampingku menyeringai. Aku menatapnya kesal, karena setahuku dia hanya penguntit yang tidak pernah berniat sama sekali untuk pergi ke Malang!
"Ya udah, ayo masuk dulu". Bara lagi-lagi menarik tanganku, mungkin dia pikir aku tidak berhati sampai tega membiarkan Ibu Jawa itu mengoceh sendiri tanpa digubris.
Kami duduk di ruang tamunya, Ibu Jawa lalu pamit ke belakang untuk mengambil minum dan beberapa cemilan. Aku hanya melirik keadaan sekitar. Sampai tiba-tiba mataku terbelalak melihat lukisan seorang bayi laki-laki lucu tengah digendong oleh Ibu Jawa itu. Anehnya, Ibu Jawa itu tidak sendiri tapi berpose dengan seorang pria muda yang nampak familiar, mirip ayahnya Bara.
"Kemarin ibu ke Bandung" Ibu Jawa memulai pembicaraan. Aku melempar senyum kepadanya dengan sedikit merengkuh, khas Indonesia, mungkin.
"Terus ibu ke rumah, niatnya mau nengok kamu. Tapi kata Ratih, kamunya lagi sibuk kerja di Sukabumi. Ya jadinya ibu pulang aja soalnya masih ada urusan di Malang yang belum selesai". Aku seperti mendengar sebuah percakapan berbahasa Prancis, tidak mengerti maksud pembicaraannya. Tapi aku kenal Ibu Ratih, dia ibunya Bara.
"Iya gak apa-apa bu, Bara ngerti kok. Oh iya, gimana sakit ibu? Udah baikan?" tanya Bara cemas.
"Udah baikan kok, Nak. Cuma kata dokter ibu masih harus check-up rutin ke rumah sakit. Nak, cah ayu ini siapa toh?". Kembali, aku tersenyum kepada wanita pemilik mata teduh itu.
"Ini Shanaya, bu. Calon istri Bara" jawabnya santai. Aku menatapnya jahat, bukan so' berakting seperti cerita dalam novel dan drama, tapi aku memang menginjak kakinya, kesal. Dia hanya meringis, tidak berteriak.
"Eng.... Enggak kok bu, Bara bercanda. Saya teman kuliahnya" ucapku membela dengan nada seramah mungkin.
"Iya, temen kuliah sekaligus pacar dan calon suami"
"Iiiiih kamu!" aku menjewer telinga kanannya. Kemudian dia memegang tanganku, menatap lekat.
Beberapa detik kemudian Ibu Jawa itu berdehem, lalu aku memergokinya tengah menertawakan kami. Spontan saja aku garuk-garuk kepala tidak gatal.
"Aku serius" kata-kata itu membuatku bingung. Tiba-tiba saja telingaku berdenging, tak mau dengar.
"Iya, aku serius mau nikahin Shanaya, bu". Ibu Jawa itu menatapku, beberapa saat kemudian sebuah busur senyuman terbingkai manis di wajahnya.
"Ya udah, sekarang kalian istirahat dulu ya". Wanita setengah baya yang kujuluki Ibu Jawa itu mengantarku ke sebuah kamar, yang katanya boleh kutempati selama tinggal di Malang.
"Ini kamar adiknya Bara, namanya Nadia" tiba-tiba saja ibu itu menatapku nanar. Mengelus kepalaku, lantas butiran bening keluar dari mata teduhnya.
"Kata Bara, kamu mirip sama adiknya". Aku hanya menatapnya heran.
'Sejak kapan Bara punya adik?'
'Terus Ibu Jawa ini sebenarnya siapa?'
'Jadi, Ibu Ratih dan Nadia juga siapa?'
Sebenarnya banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan, tapi tidak berani sekarang. Beliau terkesan sangat sedih, aku jadi takut akan memperkeruhnya suasana.
"Yo wes lah, kamu istirahat aja ya, Nak. Pasti capek" dia tersenyum hangat dan aku membalasnya.
Setelah ibu itu pergi, aku mulai merebahkan tubuhku dan mengingat semua kejadian hari ini. Mulai dari kedatangan Bara yang tiba-tiba di ruang tunggu terminal, ciuman itu, Ibu Jawa, lantas sekarang Nadia. Kepalaku semakin pening saja, apalagi mata sembabku yang semalam belum sepenuhnya hilang.
'Jadi, sebenarnya siapa Bara itu?'
Tiba-tiba ponselku bergetar, ada pesan BBM yang masuk.
"Lagi mikirin aku?" , dari layar itu tertulis nama Bara Pratama.
"IYA!!"
"Pasti kangen?"
"Ge-er! Ketemu yuk, ada yang mau aku omongin"
"Tuh kan kangen"
"Nggak ih!"
"Itu pengen ketemu"
"Ya udah gak jadi :P"
"Istirahat aja dulu, nanti malam aku ajak keliling Malang pake ontel"
"Gak niat!"
Percakapan itu berakhir. Senja perlahan memainkan opera manisnya. Semburat oranye merangsek masuk melalui jendela tua di kamar baruku. Hening, hingga akhirnya aku terlelap di pangkuan Sang Kelam.

Bara Cinta Shanaya #2


Chapter 2
 The First Kissing

"Jogja, Jogja"
"Solo-Bandung, Solo-Bandung"
"Kebumen, Kebumen"
"Mojokerto...." beberapa kenek seakan bersahutan menjajakan nama-nama kota yang menjadi trayeknya.
Siang yang terik di Kota Bandung. Matahari seakan membakar kulit manusia tanpa pandang bulu. Tak peduli pria, wanita, atau anak-anak. Mengenakan atasan berlengan pendek atau panjang. Akhir-akhir ini Parisj Van Java memang panas, mungkin pengaruh kemarau yang dibawa angin timur dari Benua Australia yang kering.
Sesekali aku mengipaskan koran yang kubeli beberapa menit lalu. Ya, sebenarnya tujuanku membeli lembaran kertas ini bukan untuk bahan bacaan, tapi untuk mengipasi tubuh yang kegerahan dan dibanjiri keringat. Kebetulan hari ini aku lebih memilih pergi ke Terminal Caheum dan menunggu bis, ketimbang memanaskan mobil pribadi lantas pergi menambah kemacetan beberapa kota besar yang akan kulewati menuju Malang.
Entah apa yang sedang kupikirkan, namun kejadian semalam membuatku muak dengan kota ini. Rasanya ingin beranjak sebentar dan melupakan semuanya.
Tadi malam aku sukses dipermainkan oleh nasib dan perasaan. Opera Tuhan terjadi kepadaku, aku menunggu seseorang dengan bodohnya selama 4,5 jam. Dan saat pria itu datang, aku hanya mampu berkata 'tidak apa' lantas pergi menahan tangis.
Namanya Bara, pria itu. Memang tidak selalu menghadiahkan tawa, malah terlalu banyak memberi kecewa. Namun sayangnya aku sama sekali tidak membenci atau berniat pergi dari hidupnya. Bodoh!
Aku membuka air mineral yang sedari tadi hanya sebagai hiasan carrier. Membiarkannya mengalir secara lembut di kerongkongan yang kering. Aku memejamkan mataku yang sembab karena menangis semalaman, menikmati keriuhan yang terjadi di sekelilingku. Hampa.
-oo0oo-
"Mau kemana?" tanya seorang pria mengagetkan, suara yang kukenal!
"Gak kemana-mana" jawabku ketus tanpa melirik orang itu.
"Kok bawa carrier segala?"
"Mau aja". Kemudian sejenak hening.
"Kok bisa disini?" tanyaku heran.
"Mau aja" jawab pria itu menirukan gaya bicaraku
"Ish, ngapain sih kesini?" aku memukulnya dengan gulungan koran.
Dia meringis, "Ini kan tempat umum, Nay". Sekali lagi aku hendak memukulnya, tapi kemudian dia memegang tanganku, erat.
Dia melirik koran yang kupegang, mengambilnya dengan paksa. Lantas membuka beberapa halaman sampai menemukan yang dia cari.
"Ini yang ngebuat aku telat tadi malam". Dia menunjukkan sebuah artikel yang menjadi headline news. Ada gambar sebuah stalaktit di dalamnya, benda alami yang bergantung di atap gua itu nampak berkilau terkena flash kamera, mungkin. Kemudian judul berita itu ditulis dengan font yang cukup besar, terbaca ‘Menelusuri Pesona Bawah Tanah Kampung Guha Cidolog’.
"Terus?" tanyaku menantang.
"Maaf, Nay". Aku menarik nafas panjang, memejamkan mata dan berusaha tidak peduli.
Hening kembali, lima menit kemudian aku baru sadar apa yang sedang aku tunggu.
"Oh iya, aku pergi ya"
"Kemana?"
"Nonton opera awan" ucapku sembarang. Aku berdiri dan memakai carrier-ku, mengencangkan setiap ikatannya tanpa memperdulikan Bara.
"Malang?" tanya pria itu ragu. Aku hanya menatapnya dingin, tak menjawab kemudian bergegas menuju bis yang kupesan via online. Melewatinya begitu saja.
"Aku ikut" kata-kata itu tidak cukup untuk menghentikan langkahku, toh dia juga tidak punya tiket. Itu pasti hanya omong kosong.
-oo0oo-
Aroma khas air conditioner menyengat ke dalam hidung. Aku memilih duduk di bangku kedua dari belakang, duduk dekat jendela sebelah kanan bis. Memakai headset, memejamkan mata, dan bersenandung pelan mengikuti irama yang menggema di telinga.
"Taylor Swift lagi?" seseorang bertanya dengan mencabut headset dari telinga kiriku. Mataku terbelalak heran, ‘darimana dia mendapatkan tiket dengan mudahnya?’ membatin.
"That was a Fairytale" terkanya setelah merebut headset-ku dan memasang benda itu di telinga kanannya. Walau kesal, aku mencoba masuk dalam permainannya. Terserah.
"Iya, That was a Fairytale. Kayak kita" kataku acuh sambil memejamkan mata lagi.
"Fairytale ya?" tanyanya pada diri sendiri, seakan tak memerlukan jawaban dari siapapun.
Sekitar pukul 13.30 WIB, bis mulai melaju dengan kencang. Membelah jalanan Bandung yang tidak terlalu padat di tengah terik. Kami masih terdiam, berkutat dengan pikiran masing-masing.
Satu jam kemudian aku melepas headset itu. Bara melirik, sebenarnya dari tadi aku sama sekali tidak berniat mendengarkan musik. Hanya mengisi waktu luang di tengah canggung dan lamunan. Lama-kelamaan aku kesal sendiri, apalagi musik yang terakhir adalah lagu yang pernah Bara nyanyian di hari ulang tahunku empat bulan lalu.
"Kenapa ke Semeru?" tanya pria itu memecah keheningan. Pertanyaan yang tepat, aku memang berniat mendaki gunung yang terkenal setelah launching-nya film 5 cm. itu.
"Lagi jenuh sama Bandung" jawabku hambar.
"Sama Bandung?" tanyanya lagi. Aku diam.
"Kenapa gak jenuh sama aku?"
"Aku jenuh, hanya tidak bisa pergi " jawabku datar.
“Kenapa?”
“Tidak tahu, cinta mungkin” jawabku sekenanya.
Bara melepas headset-nya, menatapku yang sibuk memperhatikan wajah jalanan. Bias bayangannya bisa tergambar cukup jelas di kaca di hadapanku, mungkin terpantul oleh cahaya matahari siang yang cukup terang.
"Aku cinta sama kamu, Nay. Tapi cinta itu apa?" aku terbelalak dengan pertanyaannya, sudah satu tahun sejak dia terakhir kali mengucapkan kata itu di depanku. Selama ini dia hanya bilang 'sayang', tidak pernah lagi yang lain, dan itu juga yang membuatku akhir-akhir ini menarik kesimpulan kalau hubungan kami hanyalah cinta sepihak.
Aku menyandarkan kepalaku di punggung kursi, memejamkan mata lelah.
"Cinta itu mengasihi tanpa alasan, mungkin" jawabku datar. Aku tidak mau melihat ekspresi Bara saat mendengarnya, jadi memutuskan untuk tetap menutup mata.
"Lantas kesetiaan itu apa?", pertanyaan selanjutnya. Aku menarik nafas panjang, berusaha tidak menangis.
"Tetap menunggu walau tahu orang yang ditunggu akan telat atau tidak pernah datang sama sekali". Bara diam, tidak ada kata apapun sekitar lima menit.
"Kenapa kamu masih bertahan, Nay?". Aku memegang kepalaku yang tiba-tiba sakit saat menerawang sosok Bara. Membayangkan tawa renyahnya saat kami mendaki Semeru dua tahun lalu. Saat itu kami masih bahagia, dan dia tidak pernah sedingin satu tahun terakhir ini.
"Entahlah, mungkin aku terlalu cinta hingga tidak tahu cara untuk marah karena curiga. Mungkin juga aku terlalu setia hingga tidak tahu cara untuk meninggalkan. Kamu aneh, seperti sebuah puzzle yang tidak pernah bisa kusatukan, karakter yang tidak bisa kutebak. Tapi aku cinta, itu sa__” ucapanku terpotong saat sesuatu mengunci bibirku.
Mataku terbuka, kaget. Pria itu menciumku tiba-tiba, dan ini adalah ciuman kami yang pertama. Selama dua tahun ini aku memang selalu berperan sebagai anak baik, seperti bocah SMA yang lugu dan hanya berpegangan tangan saat pacaran. Tapi ini pencurian! Aku tidak pernah menginginkannya.