Senin, 14 Desember 2015

Tentang Ksatria Arogansi

Aku ragu mengatakan ini, maka aku menulisnya. Aku merindukanmu, sangat. Aku merindukan bagaimana sorot mata tegas dan teduhmu. Aku merindu segala romantisme yang kau tunjukkan dengan sedikit dibumbui gengsi, rasanya kecut tapi memabukkan.

"Apa kabar, kapan pulang?"

Baru kusadari, ternyata di luar sana banyak juga wanita yang dengan bodoh menjadikan dirinya sebagai rumah bagi para pria hidung belang. Apa aku termasuk? Bagaimana menurutmu?

Aku menyadari jalan cerita itu telah lama ditinggalkan, dimana aku dan kau sama-sama enggan untuk menengok. Hanya saja hening selalu membuatku mengingatnya, jalan yang kita lalui bersama untuk menghabiskan sisa Februari.

Kau, masihkah menyeruput alkohol di tengah kalut? Atau bermain wanita di tengah jemu? Atau bertingkah serampangan dan arogan? Meski begitu, kau masih ksatria jahat yang kurindukan. Apa aku boleh berpaling dan melupakan semua luka ini? Kuharap kau jawab 'iya'.

Jantung kehidupanku masih berdetak setelah kau memilih berpisah di persimpangan, tapi rasa setelahnya seakan hambar, bahkan lima Februari kemudian. Tapi perpisahan bagai takdir yang harus dipatuhi, akhirnya kita benar-benar berpisah. Saat itu pagi tidak pernah terasa hangat lagi, dan hujan bahkan membekukan hingga ke hati paling dalam. Aku tersiksa dan larut dalam senyum arogansimu.

Ksatria Arogansi, nama yang cocok kusematkan kepadamu. Kau layak mendapat sedikit rutukanku, walau sebenarnya semua bermula dari kebodohanku membiarkanmu pergi.

Entahlah, aku tidak mau meneruskan.
Aku bosan dan rindu.
.
.
Senin, 14 Desember 2015 pukul 1:31 WIB
Yang tengah alergi dingin, aku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar