Jumat, 28 Agustus 2015

Tertanda: Kosong

Aku mencintai seseorang, yang tidak seharusnya kucintai.

Aku adalah seorang gadis yang hidup dalam dunia khayalnya sendiri. Merangkai kisah hidupnya sebebas hati. Menciptakan takdir bahagia dan sedih seenak nalar.

Aku mencintai seseorang, yang tidak seharusnya kucintai.

Mungkin, bertahun-tahun emudian aku masih akan bungkam di hadapannya. Berlagak tidak pernah terjadi apapun, pura-pura menjadi seorang saudara yang baik.

Aku mencintai seseorang, yang tidak seharusnya kucintai.

Dia adalah sosok pangeran berkuda putih dalam khayalku. Yang membawa busur panah tertajam di dunia. Memiliki senyum yang hangat, ramah, dan terindukan.

Aku mencintai seseorang, yang tidak seharusnya kucintai.

Kemarin, aku memilih pria dengan vespa merah untuk merajai setiap hariku. Menciptakan ilusi bahagia dan kesedihan beraroma kuat, yang merangsek dan menguasai penciumanku hingga ke sukma.

Aku mencintai seseorang, yang tidak seharusnya kucintai.

Hari ini aku menyadari, cinta adalah sebuah komitmen. Iya, kekal sepanjang langkah hidupmu. Di dalam sebongkah darah yang mengental, di hatimu. Hanya ada satu nama, tidak boleh berganti atau luntur. Hingga takdir Tuhan memang terjadi.

Aku mencintai seseorang, yang tidak seharusnya kucintai.

Sebenarnya aku terlalu takut mengakuinya, aku takut akan menyakiti seseorang. Aku takut pada keadaan, pada mereka. Aku takut terluka.

Aku mencintai seseorang, yang tidak seharusnya kucintai.

Tuan Kelam membisikkanku satu nama, kau. Yang kemarin tersenyum di balik benda hitam itu. Yang kemarin tertawa dengan riang.

Aku mencintai seseorang, yang tidak seharusnya kucintai.

Aku tidak menjanjikan setia, aku takut akan ingkar. Aku bahkan menyadari, detak itu tidak ada. Kau hanya menawan pikiranku saja.

Aku mencintai seseorang, yang tidak seharusnya kucintai.

Kau tahu? Aku berpikir, mungkin aku hanya akan menjadi seorang pecundang yang penasaran dengan manisnya permen Milkita.

Aku mencintai seseorang, yang tidak seharusnya kucintai.

Aku berharap tidak akan beranjak. Aku lebih senang begini, mencintai dalam diam. Aku tidak berkata cinta ini tulus, karena buktinya: sudah kuceritakan.

Aku mencintai seseorang, yang tidak seharusnya kucintai.

Aku sadar aku bukanlah seorang wanita baik (percayalah). Aku bahkan masih kotor, tangan, kaki, dan mataku pun begitu. Hanya saja, aku berharap akan tetap begini. Hanya mencintai, sampai Tuhan mengirimkan seseorang untuk menggantikan posisimu. Atau malah Dia berkenan menjadikanmu nyata? Entahlah, kuserahkan pada permainan-Nya.

Aku mencintai seseorang, yang tidak seharusnya kucintai.

Aku rela Dia mempermainkanku, aku rela disakiti. Aku rela menunggu, aku rela selama apapun itu. Hanya saja, semoga Dia juga berkenan memberi cinta ini sebuah kekuatan. Sebanding dengan ujiannya.

Aku mencintai seseorang, yang tidak seharusnya kucintai.

Percayalah, aku bukan seorang korban dalam kisah ini. Jangan kasihani aku! Aku tidak lebih dari papparazi, menguntit dari jauh. Aku akan bertingkah baik, berlagak tidak pernah menulis cerita solo ini. Aku berjanji (semoga dijaga-Nya), kutempatkan kau di sudut terindah dalam hatiku. Kutengok sepanjang waktu.

Aku mencintai seseorang, yang tidak seharusnya kucintai.

Tertanda: kosong.

Senin, 24 Agustus 2015

Kencan Pertama

Rabu, 10 Desember 2014

Detik-detik berlari pergi, dengan gugup sesering mungkin aku melihat jam beker di depanku. Masih pukul 09.45 WIB, 15 menit lagi !!

“Rambutku udah rapi belum ya ?” tanyaku sendiri.

“Ya Tuhan, aku gugup sekali. Tolong tenangkan aku….” Gerutuku keras di dalam mobil.

Oh iya, ini adalah pertemuan pertama kami setelah empat tahun berpisah kota. Aku di Semarang dan berkutat dengan rupiah akuntansi, sedangkan dia di Lombok dan asyik dengan dunia Manajemen Bisnis-nya.

Tapi awal pertemuan ini memalukan. Ya, akulah yang mengundangnya ke kota tempat domisilinya Lawang Sewu ini ! Lewat sebuah akun media social aku mengajaknya untuk bertemu dan reuni-an ( Reuni, terlihat sekali alibinya bukan ?)

“Berdua ? Ok, tapi kamu harus janji mau jadi tour guide-nya ya. Aku juga belum hafal Semarang kok ;)“ Jawabnya waktu itu.

Aku mengambil binder kesayanganku, menyapa sebuah foto di halaman pertamanya. Dia memiliki senyum yang hangat dan sorot mata yang tajam. Sorot mata yang selalu bisa menyusupkan aura semangat dan ketenangan di dalam hati. Ya, setidaknya itu bukan hanya opiniku saja :)

“Foto ini tidak akan berguna untuk hari ini” gumamku tersenyum puas.

Memoriku melesat ke masa putih abu, masa di saat kami menjalani tiga tahun bersama. Di kelas dan organisasi yang sama juga.

‘Ah, masa indahku’. Ya ! Kami hanya berteman biasa, dia terlalu berkilau untuk dimiliki. Dulu aku hanya bagai robot organisasi dan abdi akademik. Tidak lebih, bahkan aku seakan terlalu sibuk untuk sekedar membicarakan hati dengan lelaki.

Namanya Ikbal. Pemain basket andalan sekolah, wakil ketua OSIS dan Ketua Murid yang baik. Digandrungi banyak orang karena paras dan kepopulerannya. And finally, aku nyerah untuk sekedar menunjukkan perasaanku.

Namun pertemuan ini sudah kurencanakan empat tahun lalu. Aku hanya ingin mengatakan rasa suka ini, membebaskan diri dari janji mengucapkannya. Entah apa reaksi Ikbal mendengarnya, namun sungguh aku tidak berniat untuk memilikinya. Aku hanya ingin dia tahu perasaan yang kupendam selama tujuh tahun ini, tidak lebih ! Semoga.

Cuplikan memoriku beralih ke drama Tuhan di malam Prom. Saat itu kami dinobatkan sebagai raja dan ratu dansa, walau sebenarnya dia datang dengan cewek lain ke pesta itu.

*****

‘Kau sangat tampan’ kalimat yang kuteriakkan dalam hati saat Kepala Sekolah memberikan mahkota indah kepadanya.

MC menyuruh kami menyalakan kembang api pertama dan dia menggenggam tanganku untuk pertama kalinya. Aliran panas dan dingin bertarung menguasai tubuhku saat itu.

“Kok tangan kamu dingin ya, Nad ? Kalau gitu jangan marah ya kalau aku megangnya agak lamaan. Hahaha” ucapnya slenge’an. Aku hanya tersenyum datar, padahal sisi lain dariku malah melompat-lompat kegirangan.

Dia mempererat genggaman tangannya tepat saat kembang api pertama memekik membelah langit malam.

“Aku suka sama kamu, Ikbal” ucapku pelan sambil tetap melihat gemerlap langit malam.

Dengan wajah (yang mungkin) merah padam aku meliriknya, berharap dia merespon walau hanya dengan wajah heran. Tapi aku salah ! Dia malah tetap bersorak dan asyik sendiri melihat pertunjukkan kembang api itu.

Saat itu aku yakin bahwa itu bukan saatnya, mungkin aku harus menunggu lebih lama lagi. Dan merasa ingin direspon merupakan pertanda ketidaktulusan. Tapi tetap saja, rasanya diacuhkan itu sakit !

Spontan aku menangis karena kecewa, lalu mengusap air mata itu dengan telapak tangan kirinya.

‘Ya ampun aku lupa kalau tangan kami masih berpegangan !’

“Kamu sakit, Nad ?”

“Hah ? Nggak kok, aku cuma sedih aja bakal pisah sama ka…. kalian” jawabku sekenanya.

“Oh tenang aja, Nad. Kita pasti ketemu lagi kok. Aku janji suatu saat nanti semuanya bakal berubah, akan tiba waktunya kita bisa berteriak tanpa sungkan di dengar orang. Semua akan berakhir indah, yang terjadi di sekolah ini biarlah terjadi di sini. Senang, susah, dan hal lainnya tinggalkanlah di sini. Biarkan mereka pergi tinggi bersama kembang api itu. Sekarang kita hanya perlu menata hidup dan mempersiapkan diri menghadapi dunia”. Aku menatapnya kosong, sibuk berkutat dengan pikiranku sendiri.

“Ekh gak ngerti ya ?” dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Aku juga gak ngerti aku lagi ngomong apa. Hahaha” tawanya konyol menghangatkan suasana.

*****

“Tok, tok, tok. Mbak, bisa mundurkan mobilnya sedikit ? Pelanggan kami yang lain mau memarkirkan mobilnya juga”. Kemudian lamunanku semua buyar dan terfokus ke omongan Pak Satpam di restoran itu.

“Iya sebentar ya pak” jawabku sambil mulai mengikuti arahan bapak itu.

Tiba-tiba jantungku berdegup kencang melihat pria berjaket hitam masuk ke dalam restoran. Dari perawakannya, aku merasa mengenalnya. Mengenalnya dengan sangat dekat !

"Alan?"

Alan menarik tangan kananku yang hendak menampar Rere.
"Kamu kayak anak kecil tahu gak sih ?", aku menatapnya tajam. Bahkan kilatan muak dalam batin mampu kurasakan dengan jelas.

Aku melepaskan cengkeraman pria itu, "hhhh" mendengus.
"Kamu bilang aku kekanak-kanakan. Terus kamu apa Lan ?". Aku melihat pertahanan terakhirnya goyah karena pertanyaanku.

"Oh.... Aku lupa, kan cuma orang dewasa ya yang berani selingkuh sama temen pacarnya sendiri".

"Plakkkk" dia menerima hadiah yang kusiapkan untuk Rere sebelumnya.

Pemuda itu menatapku kesal sambil mengelus-elus pipinya yang sakit.
"Heh, siapa suruh kamu nyuekin aku terus. Kamu sibuk ngajar lah, sibuk organisasi, sibuk juga ngerjain tugas. Terus waktu buat aku kapan Ra ?"

"Oh jadi ini semua soal itu Lan ? Oke, pergi aja senang-senang sama cewek itu. Aku sekarang sadar, ini semua salah aku. Salah aku karena terlahir dari keluarga tidak utuh. Salah aku juga kalau ditakdirkan sibuk nyari duit sendiri untuk bayar kuliah karena gak mau nerima duit dari Ayah sialan yang selalu mukulin aku sama Ibu. Silahkan, pergi aja sama cewek itu. Asal kamu tahu ya Lan, di luar sana dia punya puluhan cowok buat dikencani serta diperas kantong dan bensinnya"

"Shit, tahu apa kamu tentang Rere. Kenal aja baru sekarang kan, hah ?"

'Alan, Alan, asal kamu tahu kalau dia itu mantan sahabat yang pernah tega juga berkencan dengan Ayah aku' lirihku dalam batin.

Aku hanya menatapnya, menahan cacian selanjutnya.
"Ok, terserah. Kita putus" Rere menyunggingkan senyum puas hingga Alan menariknya pergi dari hadapanku.

Aku rubuh dan mulai menangis sejadi-jadinya. Apa yang bisa aku perbaiki sekarang, semuanya bahkan sudah terlambat.

Alan, dia adalah orang yang selama dua tahun ini bersamaku. Setia dan menjadi salah satu penyemangat hidupku yang kacau balau setelah perceraian Ayah dan Ibu.

Mungkin itu dulu, bagaimana mungkin dia berubah secepat itu. Apa ini hukuman karena kesibukanku? Tapi apa Tuhan bisa memberikanku waktu lebih untuk memperbaikinya? Sialnya aku sangat mencintai pria itu.

"Ya, aku sayang sama kamu bodoh. Aku rela diduain, tapi jangan sama cewek itu! Aku takut kamu bakalan sakit hati...." aku melanjutkan tangisanku sampai tiba-tiba seseorang menyodorkan sapu tangan yang kukenal.

"Alan?" aku melonjak kaget karenanya, sedangkan pria itu hanya menyeringai puas.

22 Agustus 2015, 21:55 WIB

Mari berbicara kembali mengenai: Aku

Aku, seorang penggila sajak yang tak mampu menciptanya dengan bahasa majas yang artistik atau akademis.

Aku, seorang gadis bodoh yang memiliki perasaan seperti 'tahu', lembek. Dan belum bisa menjadi sosok imajinatif sesuai arti namaku: lemah lembut.

Aku, seorang yang katanya 'aneh'. Karena selalu menganggap indah benda atau fenomena unik di kehidupan (yang menurut oranglain itu: tidak penting).

Aku, yang menyukai dandelion, hujan, awan, langit, bintang, matahari, dan reng-rengannya.

Aku, yang mudah menyukai namun terlalu pengecut untuk mencintai. Bahkan aku takut untuk memiliki rasa itu. Kupendam ia hingga akhirnya akan ada seseorang yang menggali.

Rabu, 19 Agustus 2015

Sudut Tanpa Nama

Aku menengok sudut kecil dalam hatiku. Sebuah sudut yang tak lagi tersinari, gelap dan lembap. Sudut yang tak lama kutinggalkan, namun ternyata begitu cepat berdebu dan menjadi lahan hunian yang cocok untuk laba-laba.
Sepertinya baru kemarin aku memutuskan untuk mencintaimu, menyayangimu di posisi ketiga setelah ayah dan ibuku.
Dan sepertinya baru kemarin juga aku memutuskan untuk meninggalkan rasa itu. Rasa yang tidak terlalu penting ada di dalam hidupku. Aku tlah lelah untuk mengejar dan memilih untuk diam dan menunggu.
Waktu tujuh tahun mungkin bukanlah waktu yang singkat, apalagi saat dipakai untuk menunggu. Ayolah, tapi itu perkiraan manusia normal. Tidak akan berlaku untuk pecinta seperti kami, yang selalu bodoh untuk menunggu.
Kemarin juga, kukemas semua kenangan kita ke dalam sebuah kardus besar bertuliskan 'benda pecah' di atasnya. Kuberi ia pelindung yang banyak agar tak bisa lagi terbuka.
(-oo0oo-)
Aku berjalan melintasi setiap lorong dalam otakku. Menatap kosong jalanan dan menggusur kardus itu dengan sebuah penggusur roda yang kupinjam dari tetangga sebelah.
Aku berpikir tentang bagaimana kemungkinannya hidupku kelak. Akankah kutemui sebuah 'bahagia' walau tanpamu. Ayolah, kau tahu? Saat tulus mencintai seseorang, seorang manusia bahkan bisa tertawa lepas sambil menangis. Apalagi saat melihat orang yang dicintainya bersama oranglain, dia tertawa melihat orang itu bahagia, juga menangis menahan sakit.
Langkahku kemudian terhenti saat melihatnya. Sudut kecil paling jauh dari sentral otakku. Sudut yang tidak pernah kutengok karena tidak kuanggap penting.
Aku berjongkok, menatap sudut itu berjam-jam. Kunikmati terlebih dulu semua kenangan itu sebelum benar-benar kutinggalkan.
Kardus 'barang pecah' itu sangat menggoda untuk kubuka lagi. Tidak boleh, tekadku. Aku ingat waktu itu kau pernah memberiku sticker 'tengkorak' berwarna hitam, aku melepaskan perekatnya dan menempelkan benda itu di muka kardus kenangan. Kardus yang jelek sekali.
Dewi Angin seketika bertiup kencang, membelai dan membisikkanku tentang dunia nyata. Aku menyernyitkan dahi, Sang Dewi memaksaku untuk pergi. Beranjak, pergi, melupakan, dan tak pernah kembali.
Aku menarik nafas panjang, berdiri. "Selamat tinggal barang pecah" ucapku puas. Namun titik-titik bening tiba-tiba saja menetes dari sudut mataku.
Menahan tangis, kuletakkan kardus 'barang pecah' di sudut itu. Kuhalangi dengan sebuah white board yang kemudian kucoreti dengan tulisan 'Sudut Tanpa Nama, jangan mendekat! Bahaya'
Kupandangi sekali lagi sudut itu. Ah, aku tidak pernah berpikir akan sesulit ini melepaskan sesuatu. Seperti sebagian nyawaku hilang saja.
Aku mematikan lampu untuk sudut itu. Membiarkannya didekap Tuan Kelam dengan erat. Agar ia tak bisa beranjak menuju retinaku lagi.
Aku berlari ke sudut yang lain, melihat Sudut Tanpa Nama itu dari seberang.
Hujan kemudian turun tiba-tiba, mengelus kepalaku dengan lembut. Aroma tanah menyeruak ke dalam hidungku yang tidak mancung. Hidung ala tropis ini selalu saja termanjakan aroma tanah saat hujan, ini aroma kehidupan dan kematian. Iya, aroma kematian.
Hujan semakin deras dan tangisku pun menjadi. Aku menyukai hujan, dia tidak akan membiarkanku tampak lemah. Hujan dan airmata sama beningnya. Menangislah saat hujan, dan kau tidak akan terlihat tengah menangis. Kau akan tampak kuat.
Kuperhatikan kembali sudut itu. Hujan membuat tatapanku kabur, sudut itu hanya tampak seperti ruang gelap yang menakutkan. Kardus 'benda pecah' pun tak terlihat. Dan dalam kisah ini, aku hanya berperan sebagai pecundang yang rindu membuka kardus itu kembali. Iya, aku pecundang yang memutuskan untuk pergi dari kebahagiaan semu kisah sendiri.
Hari itu biar hujan yang membawa semua sedihku dengan rintiknya. Membersihkan tubuhku dari semua kenangan, membawanya menjadi air tanah yang terjebak di lapisan akuitard. Mengosongkan diri.
(-oo0oo-)
Kunyalakan kembali lampu yang selama ini tertidur pulas. Menggeser white board yang waktu itu kupakai untuk menghalau pandangan.
Deg! Jantungku berdegup kencang, nafasku seakan terhenti. Kardus 'benda pecah' itu terlihat, memantulkan sesuatu yang aneh ke dalam sel otakku, kerinduan.
Aku mendekatinya, melanggar aturan yang tertulis dalam kardus itu. Kemudian membukanya.
Lihat, airmataku menetes lagi. Tapi bukan rasa sakit, aku meyakininya sebagai bahagia. Iya, selama ini ternyata aku salah. Hidup bersama kenangan memang lebih bahagia ketimbang tanpanya. Walau harus menangis setiap kali, aku bersyukur karena masih punya alasan untuk menangis dan tertawa.
Aku meraih kardus itu. Seperti seorang pencuri, dengan setengah berlari aku meninggalkan Sudut Tanpa Nama. Mendekap erat Kardus Barang Pecah, meninggalkan Sudut Tanpa Nama.
"Sudut Tanpa Nama"
(Koba, 19 Agustus 2015 8:19 WIB)
Teruntuk Jihan Marselina Buana yang merasakan :')

Minggu, 16 Agustus 2015

Surat Untuk Kola

Aku melirik lagi setiap sudut kosanku, enggan beranjak. Malas lebih tepatnya! Ini momen berharga, bagi tetangga sebelah. Untung sunyi tengah mendekap Kosan Lama ini.

Aku sudah mengepak beberapa barangku yang tidak banyak itu. Aku kuat kok! Aku bisa mengangkut semua sendiri bolak-balik. Anggap saja sesi pengurusan badan. Tapi bukan itu masalahnya, aku masih bingung harus kemana. Haha :D Tapi tolong jangan anggap aku lemah.

Aku percaya Allah selalu memberikanku yang terbaik di setiap peristiwa yang terjadi dalam hidupku. Aku yakin keajaiban dan cobaan. Aku meyakini-Nya.

Tapi Kosan Lama ini telah memberikanku banyak kenangan. Pertemuan dan perpisahan. Dengan Asri, Gina, Erni, Rani, Uung, Nia, Syifa, Risna, Teh Faizah, Teh Rifa, Adel, Teh Orin, Teh Yanti, Teh Wilia, Teh Nunik, Icha, Ziyah, Rohma, Teteh S2, dan Teh Nunuy. Aku menyayangi kalian sebagai keluarga baru.

Banyak sekali yang kuselesaikan di kamar ini. Mulai dari tugas Kartografi, laporan Metklim, Laporan KKL, dan selesainya perjanjianku dengan orang itu (etdah). Ok, untuk alasan terakhir aku memang tidak sedang ingin bermain cinta pada siapapun. Ingin jadi cewek murni aja haha, yang hatinya sesak karena cinta kepada orangtua, keluarga, dan kawannya saja.

Lupakan, itu bukanlah hal penting sama sekali.

Kosan Lama, aku panggil kamu Kola ya :D
Baik-baik ya kamu, semoga gak se-menyeramkan semalam. Cukup esa aja yang gemeteran ketakutan tadi malam, yang lain jangan. Semoga kamu tetap sehat ya, rajin dibersihkan sama penghuni yang baru. Maaf ya aku jarang pulang, habis selalu dapat BT (boring time) kalau diam terus.

Kola, kamu boleh intip tetangga sebelah. Bilang aku pergi gitu ya, kemana? Kemana aja aku juga gak tau. Oh iya, Kola. Doakan aku gak apa-apa, seperti ada yang aneh sama tubuh ini. Rapuh dan kehilangan, eeeeaaa haha. Maksud aku doakan semoga 'kacang tanah'nya gak bahaya hihi

Eh Kola, aku percaya kalau setiap benda punya semacam nyawa. Buktinya mereka akan bersaksi di depan Tuhan suatu saat nanti. Kamu jangan dakwa kejelekanku ya, kalau berdakwa aku juga mohon maaf. Aku emang udah banyak salah sama orang :D Kadang aku kasian sama mereka, kasian karena telah mengenal cewek plin- plan melankolis galau badai cicak rawa kayak aku. Maafkan hamba :')

Ok, ini surat cinta. Untuk siapa? Untuk Kola dan orang-orang yang mungkin suatu saat nanti akan baca. See you 0,0

Social Community of Man Cibadak (SCMC)

Malam-malam begini biasanya angin lebih lincah membelai tubuh manusia hingga menggigil lebih lama, keanginan dan kedinginan.

Aku teringat akan rumahku dulu, tempat yang sebenarnya masih reyot namun sudah berani kutinggalkan. Rumah lama yang sayangnya tidak terlalu kucintai padahal sudah kami bangun susah payah dari peletakan batu pertama.

Rumah itu SCMC, Social Community of Man Cibadak. Sebuah klub IPS yang kami bentuk atas dasar semangat, rasa cinta, dan strategi guna meningkatkan solidaritas anak IPS di sekolah kami.

Kala itu, ketika pra-muda aku dan teman-teman mencoba mencari keyakinan untuk mendirikan sebuah organisasi baru di sekolah. Dengan nasihat Pak Dahlan Hidayat, Pak Gungun Misbahudin, Pak Nurul Fajri, dll, aku dan teman-teman akhirnya berkumpul untuk membicarakan rencana tersebut.

Yang hadir adalah para wakil kelas, 15 orang. Kalau tidak salah, aku, Fajar, Siti Ropi'ah, Fydha, Andri, Andi, Hera, Adi, Lygar, Nuro, Ajeng, dll (lupa), dan satu orang dari tetangga sebelah (Ahmad Zaky Haidir). Lokasi pembentukan di kelas XI IPS 1, sehabis sekolah. Entah harinya aku lupa.

Mereka sepakat menjadikanku sebagai ketua, pionir dan kambing hitam (untung bukan kambing congek).

Pada hari itu kami membentuk kepengurusan yang baru. Wakil ketua, sekretaris, bendahara, sie bidang Geografi, sie bidang Sejarah, sie bidang Ekonomi, sie bidang Sosiologi, dll. Sayangnya pengurus inti saat itu adalah ORANG-ORANG YANG JUGA MERANGKAP ATASAN DI INTRA DAN EKSTRA LAIN DI SEKOLAH. And you know what I mean? Mereka sibuk! Asli....

Sebelum Rapat Program Kerja alhasil kami harus ngebut mikir proker apa aja yang bakal dijalani selama setahun. Aku ingat betul, ada 16 proker yang kebanyakan didapat dari hasil tapa sendiri. Lalu aku perlihatkan kepada Pak Dahlan untuk dikoreksi, entah aku lupa bagaimana reaksinya kala itu. Boleh kuprediksi kalau beliau geleng-geleng kepala melihat tingkah anak didiknya yang nakal ini.

Asli, saat itu aku udah kayak diktator. Nunggu rapat, lama karena pada sibuk dan jarang kumpul. Tapi kalau tidak secepatnya disusun, bisa dipastikan kami tidak bisa mengikuti Rapat Proker dan harus rela menyandang gelar 'ekstrakulikuler ilegal' yang tidak bisa di-subsidi oleh pemerintah yang berkuasa (hihi).

Proker dibacakan dan semua orang nampak heran karena kegilaan itu. Iya, sepertinya kami adalah ekskul ter-pede. Masih baru udah berani punya proker yang bejibun. Terserah, lihat betapa aku masa bodonya dengan hal itu. Walaupun sebenarnya saat itu aku juga mengemban amanat sebagai Sekretaris Umum PK dan Ketua Umum Sementara Klub Jepang (Nihon-go Kurobu). Tiga jabatan, tiga kali ke depan, tiga kali membacakan proker, tiga kali dapat tepuk tangan, dua kali ditatap dengan wajah heran. Terimakasih.

Aku belajar. Dalam sebuah perjalanan, kesulitan terbesar berada pada pertengahan. Kita mungkin bisa dengan gampangnya memulai sesuatu, serta dengan santainya mengakhiri sesuatu. Tapi mempertahankan ia agar sampai ke tujuan memang sulit. Bayangkan, kami bahkan pernah berkumpul DUA ORANG SAJA. Terimakasih Syifa, aku hargai pengorbananmu.

Proker-proker kami telat sekali terealisir. Banyak halangan, terutama kekurangan SDM (Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Modal). Entah, sepertinya saat itu aku jadi salah satu siswi ter-setress di sekolah dan layak dapat nominasi tersebut di Man Cibadak Awarding Night.

MCPE (Man Cibadak Potensial Expo) digelar pada bulan Februari 2013 itu. Akhirnya kami memiliki alasan untuk berkumpul. Menyiapkan konsep guna meningkatkan kualitas pameran pendidikan IPS yang edukatif, rekreatif, dan bonafit finansial (maklum anak akuntansi).

Aku bersyukur, sangat. Waktu itu Pak Dahlan berbaik hati memberikan tugas kepada anak-anak kelas X yang berjumlah sekitar 400-an orang untuk mengerjakan tugas dengan mendatangi stand kami. Ok, itu cukup ampuh membuat kantong kami penuh. Balik modal, bahkan lebih (menambah jumlah pengunjung hingga 700-an jiwa).

Konsep pameran pendidikan kami sederhana, aku dan Fydha berlagak sebagai instruktur geografi yang pintar (padahal aslinya aku masih bodoh haha), Rafi dan Syifa menjaga stand Sejarah dengan puzzle-puzzle-nya. Fajar dan Sitrop dengan stand sosiologi-nya, Adi dengan stand uangnya, dan anak IPS lain biasanya bantu menjaga stand permainan dadu di tengah museum kecil kami.

Aku senang, pengunjung puas dan beberapa diantaranya bahkanl kembali lagi untuk belajar dan bermain di stand kami (dilihat dari buku tamu).

Ok ternyata pepatah 'semakin tinggi pohon, semakin besar anginnya' itu ada benarnya juga. Rasanya telingaku panas karena ada tetangga menggunjing macam-macam di depan mataku sendiri (padahal dia mungkin tidak sadar, saat dia memukul kaki, kepala lah yang merasakannya terlebih dahulu. Terserah, alhamdulillah berarti mereka adalah penggemar yang senang memperhatikan kami.

Proker lainnya adalah penerbitan buletin, yang merupakan pionir di sekolah kami (dan tentunya dikelola dan diisi sendiri oleh siswa). Aku baru belajar buletin waktu itu, Pak Dahlan juga yang mengajarkannya. Dia menyuruhku untuk menulis, ya aku kerjakan. Layout dan desain aku kerjakan sebisanya, finishing tetap Pak Dahlan dan Pak Gungun yang mengerjakan. Ok, itu adalah buletin pertama yang kami buat. Bertemakan Green School.

Proker selanjutnya adalah penghijauan, nonton film, diskusi, studi banding, dll.

Perjalanan SCMC di awal kelahirannya memang sulit, proker kami banyak yang tersendat dan hanya dilaksanakan dengan formal saja. Aku menyesal karena belum bisa membuat SCMC menjadi sebuah rumah, Rumah Hijau yang menyenangkan.

Sebenarnya tulisan ini aku persembahkan untuk kalian, penerus kami. Eratkanlah pegangan tangan kalian, tunjukan pada wajah-wajah itu kalau 'IPS tidak seburuk yang mereka bayangkan'. Kita bisa kalau mau. Just do it! Aku titip Rumah Hijau ya, aku rindu pulang.

Jumat, 14 Agustus 2015

Menulis itu apa?

'Jadi, menulis itu apa?'
Seketika pertanyaan itu muncul, di sela-sela permainanku bersama angin tadi malam. Iya, memang asyik rasanya dibonceng dengan motor. Walau dingin, tapi riuh angin yang bertabrakan dengan tubuh pengemudi terasa seperti senandung alam yang sangat merdu.

Sesekali aku merentangkan kedua tanganku, merasakan dan terbuai oleh kencangnya angin.

Ah, iya! Pembicaraan hari ini memang mengasyikan. Aku bercengkrama dengan banyak orang yang 'gemar' menulis pula.

Dengan Adam Ramadhan, teman se-angkatan yang terkenal kalem dan hobi nyastra dengan majas-majasnya.

Dengan Kak Ani yang hobi juga nulis, tapi mengelak saat kutanya dan katanya sedang tidak produktif menghasilkan tulisan.

Dengan Kadat Sule, sosok penulis (lagi) yang isi tulisannya selalu terkesan ringan dan menyenangkan. Namun tetap ilmiah tanpa harus memusingkan para pembacanya.

Ok, sepertinya aku harus mengubah pola pikirku tentang menulis. Aku tidak bisa.

Aku merasa iri pada mereka, Bang Roges, Kak Nofi, A Imam, Teh Jubed, Teh Uchin, Om Gelar, Mang Oka, dan penulis-penulis jingga lain yang tidak bisa kusebutkan satu per satu.

Selama ini aku berpikir kalau menulis itu adalah sesuatu yang menyenangkan. Sudah, sebatas itu yang kutau.

Tapi setelah kupikir-pikir. Sekeras apapun, akhirnya aku menyerah. Menulis itu tidak bisa didefinisikan dengan pasti. Menulis itu kosong, hampa.

Aku menyerah. Aku tidak bisa.

Selasa, 11 Agustus 2015

Hujan dan Dandelion

Namaku Aku, penyuka hujan dan dandelion

- Hujan -
Namanya Hujan, dia gagah dan senang petualangan
Dia senantiasa berkelana ke segala tempat
Menumbuhkan kehidupan baru di tempat yang pernah dikunjunginya

Aku menyukainya, eh malah mencintainya
Hujan mengajarkanku untuk jangan pernah mencoba melupakan masa lalu
Hujan mengajarkanku kekuatan, kepercayaan bahwa pelangi selalu ada di akhir badai

Hujan, aku menyenangi senandungnya saat membelai bumi
Manis sekali.... Indah, meresap ke setiap sel dalam otakku
Iya, rintiknya amat romantis

Hujan, dia mengenalkanku pada aroma kehidupan
Aroma tanah yang ia colek dengan manja
Aroma yang lebih sedap ketimbang kopi hitam di Rumah Jingga

Hujan juga memberitahuku suatu cara untuk tetap bahagia
Saat bermain dengan hujan, kepalaku basah dibelainya
Hingga belaian itu berbuah pelukan di seluruh tubuh

Aku aneh ya? Maaf ya jagoan :')
Sebelum mengenalmu, aku telah mengenal Hujan
Dia adalah sahabat yang selalu menghiburku saat badai

Iya, aku tidak suka petir. Dia cerewet
Aku juga tidak senang pada angin, dia nakal dan mendinginkan hatiku
Bahkan aku juga terkadang sebal pada matahari, dia tidak mau bermain denganku saat Hujan datang. Padahal seru kan kalau kami bisa main bertiga.

- Dandelion -

Jagoan, tahukah kau apa itu dandelion?
Itu lho, sebuah bunga mungil penyimpan asa yang hidup di tepi jalan
Jangan mengasihaninya! Dia hebat tau

Dandelion, dia mengajariku sebuah kesederhanaan dan ketulusan
Dandelion juga mengajariku tentang kesucian hati dan kerendahan diri di hadapan-Nya
Dandelion mengajariku bersajak, tertawa, dan bahagia

Saat menemukannya di tepi jalan, aku memetiknya
Dia tersenyum, berterimakasih karena telah membebaskannya untuk tumbuh kembali
Aku membalas senyumnya, lantas membisikan beberapa permohonan yang tidak kubagi dengan siapapun kecuali ia

'Wuuuuush' dia terbang dengan riang
Melompat-lompat di atas angin
Percaya tidak? Dia bisa mengendalikan angin lho! Menjinakkannya untuk mengantar sejauh apapun ia bisa

Iya, jagoan
Dandelion adalah peri kecilku disaat terik
Aku menyayanginya, sangat.

Tau gak? Aku malah berharap suatu saat nanti akan pergi ke ladang dandelion bersamamu
Duduk di tepi danaunya sambil menatap opera senja yang menyemburkan jingga dan semburat merah

- Hujan dan Dandelion -

Tapi sayang, hujan tidak pernah bisa bertemu dandelion
Hujan akan menyakiti dandelionku, membuatnya layu dengan paksa
Hingga tak mampu terbang sama sekali karena angin tiba-tiba nakal dan tidak bisa dikendalikan

Jagoan, aku tau hujan mencintai dandelion
Aku melihat sorot mata mereka yang saling merindukan
Namun sayang tempat dan situasi-lah yang salah

Hujan, aku ikut menyesal karena kau tidak mampu memeluk dandelionku
Dan kau dandelion, sepandai apapun kau mengabulkan permohonan mereka. Aku yakin kau bersedih karena tidak bisa mengabulkan permohonanmu sendiri
Untuk 'bertemu dengan hujan'

Kalian, bertahanlah
Aku yakin cinta tidak selalu harus memiliki
Walaupun itu naif, aku harus mengatakannya untuk meyakinkan kalian

Hujan, dandelion sangat mencintaimu dan ia tidak ingin membuatmu bersalah karena telah mematahkan keajaibannya
Dan dandelion, hujan juga sangat mencintaimu hingga tak ingin membuatmu terluka

Maaf, takdir kalian tidak bisa bersatu
Begitukah kita?

Senin, 03 Agustus 2015

Kenyataan (5A) #14

"Namanya Nadia" seseorang mengagetkanku saat tengah sibuk memperhatikan foto Alfis dengan gadis cantik berbaju SMA.

"Oh ibu" aku berusaha tersenyum menyembunyikan kebingunganku.

Wanita setengah baya yang terlihat masih cantik itu kunamai Ibu Jawa. Kami baru berkenalan kemarin sore. Sebenarnya niatku pergi ke Malang adalah untuk mendaki bersama teman besok pagi. Tapi tidak jadi, seseorang mengacaukan rencana dan malah mengajakku menginap di rumah Ibu Jawa ini.

Intinya, sampai saat ini aku belum sempat menanyakan nama asli Ibu Jawa. Kujuluki begitu karena memang wanita ini memiliki sikap dan wajah ayu khas Jawa.

"Kamu kenal sama Nadia, nak?" Ibu Jawa mengelap bingkai foto itu dengan ujung bajunya. Sebenarnya benda yang dia lap tidak kotor, hanya perasaan khawatir ibu itu saja mungkin.

"Sebenarnya enggak sih bu" aku menggaruk kepala tidak gatal.

"Sini ibu ceritakan" aku mengikuti langkahnya menuju satu kamar di sudut paling kiri rumah.

"Wah...." aku tersentak melihatnya. Nadia ternyata tipikal orang sepertiku. Pemimpi! Semua target hidup, lukisan, ilustrasi, karikatur, naskah fiktif, dan perasaannya dia tuliskan untuk menghiasi dinding-dinding kamarnya.

"Ini kamar Nadia, nak. Dia adalah gadis baik yang periang, tidak pernah mengeluh sedikitpun kalau sakit. Bahkan kami tahu penyakitnya juga setelah dia kritis di rumah sakit" perlahan Ibu Jawa menitikkan airmata.

"Sabar ya bu" aku mengelus pundaknya dan mencoba menguatkan walau belum mengerti titik fokus pembicaraan itu.

"Oh iya, ibu lupa. Nadia pasti akan marah kalau ibu nangis, apalagi di kamarnya" Ibu Jawa itu mengusap ujung matanya yang berair, lantas berusaha tersenyum hambar.

"Nadia itu sakit apa, bu?" sebenarnya aku ragu untuk bertanya.

"Lupus, nak" tercecang, lima tahun yang lalu aku juga dikagetkan dengan kepergian sepupuku yang terkena lupus. 'Kenapa bisa?' tanyaku dalam batin.

"Bu, aku boleh tanya sesuatu?" tanyaku hati-hati.

"Mau bertanya apa, nak?" wanita itu balik bertanya dengan lembut.

"Sebenarnya ibu siapanya Alfis?" alisnya terangkat, dan aku mulai gelagapan. "Maksud aku, kenapa Alfis bisa punya dua ibu? Ibu Ratih dan Ibu...." aku berhenti, bertanya.

"Mala. Nama saya Mala, nak"
"Iya, Ibu Mala" aku tertunduk, kemudian Bu Mala meraih tanganku. Pergi.
"Mari ikut ibu, nak".

Bu Mala mengajakku ke luar rumah. Di pekarangan belakang yang belum sempat kutengok, ternyata ada sebuah kamar khusus. Kamar yang juga ber-khas Jawa itu nampak anggun sendiri. Berdiri di tengah kebun bunga yang senantiasa dirawat setiap harinya.

Wanita itu merogoh sakunya, mengeluarkan sebuah kunci berwarna keemasan.

Beberapa detik kemudian pandanganku teralih. Sebuah kamar yang nampak usang terpampang di depanku. Aroma debu merangsek masuk ke dalam hidung. Spontan aku hendak bersin tapi tidak jadi, wanita disampingku menyernyitkan dahi lantas kami tertawa.

Bu Mala membuka kain pelindung yang menutupi sebuah kursi tunggal di ruangan itu. Menepuknya agar tidak berdebu. Perlahan, aku terpukau melihat tarian debu di bawah cahaya mentari. Lembut dan indah.

Dia menyuruhku duduk disana, memperhatikannya dengan seksama.

Ibu