Minggu, 16 Agustus 2015

Social Community of Man Cibadak (SCMC)

Malam-malam begini biasanya angin lebih lincah membelai tubuh manusia hingga menggigil lebih lama, keanginan dan kedinginan.

Aku teringat akan rumahku dulu, tempat yang sebenarnya masih reyot namun sudah berani kutinggalkan. Rumah lama yang sayangnya tidak terlalu kucintai padahal sudah kami bangun susah payah dari peletakan batu pertama.

Rumah itu SCMC, Social Community of Man Cibadak. Sebuah klub IPS yang kami bentuk atas dasar semangat, rasa cinta, dan strategi guna meningkatkan solidaritas anak IPS di sekolah kami.

Kala itu, ketika pra-muda aku dan teman-teman mencoba mencari keyakinan untuk mendirikan sebuah organisasi baru di sekolah. Dengan nasihat Pak Dahlan Hidayat, Pak Gungun Misbahudin, Pak Nurul Fajri, dll, aku dan teman-teman akhirnya berkumpul untuk membicarakan rencana tersebut.

Yang hadir adalah para wakil kelas, 15 orang. Kalau tidak salah, aku, Fajar, Siti Ropi'ah, Fydha, Andri, Andi, Hera, Adi, Lygar, Nuro, Ajeng, dll (lupa), dan satu orang dari tetangga sebelah (Ahmad Zaky Haidir). Lokasi pembentukan di kelas XI IPS 1, sehabis sekolah. Entah harinya aku lupa.

Mereka sepakat menjadikanku sebagai ketua, pionir dan kambing hitam (untung bukan kambing congek).

Pada hari itu kami membentuk kepengurusan yang baru. Wakil ketua, sekretaris, bendahara, sie bidang Geografi, sie bidang Sejarah, sie bidang Ekonomi, sie bidang Sosiologi, dll. Sayangnya pengurus inti saat itu adalah ORANG-ORANG YANG JUGA MERANGKAP ATASAN DI INTRA DAN EKSTRA LAIN DI SEKOLAH. And you know what I mean? Mereka sibuk! Asli....

Sebelum Rapat Program Kerja alhasil kami harus ngebut mikir proker apa aja yang bakal dijalani selama setahun. Aku ingat betul, ada 16 proker yang kebanyakan didapat dari hasil tapa sendiri. Lalu aku perlihatkan kepada Pak Dahlan untuk dikoreksi, entah aku lupa bagaimana reaksinya kala itu. Boleh kuprediksi kalau beliau geleng-geleng kepala melihat tingkah anak didiknya yang nakal ini.

Asli, saat itu aku udah kayak diktator. Nunggu rapat, lama karena pada sibuk dan jarang kumpul. Tapi kalau tidak secepatnya disusun, bisa dipastikan kami tidak bisa mengikuti Rapat Proker dan harus rela menyandang gelar 'ekstrakulikuler ilegal' yang tidak bisa di-subsidi oleh pemerintah yang berkuasa (hihi).

Proker dibacakan dan semua orang nampak heran karena kegilaan itu. Iya, sepertinya kami adalah ekskul ter-pede. Masih baru udah berani punya proker yang bejibun. Terserah, lihat betapa aku masa bodonya dengan hal itu. Walaupun sebenarnya saat itu aku juga mengemban amanat sebagai Sekretaris Umum PK dan Ketua Umum Sementara Klub Jepang (Nihon-go Kurobu). Tiga jabatan, tiga kali ke depan, tiga kali membacakan proker, tiga kali dapat tepuk tangan, dua kali ditatap dengan wajah heran. Terimakasih.

Aku belajar. Dalam sebuah perjalanan, kesulitan terbesar berada pada pertengahan. Kita mungkin bisa dengan gampangnya memulai sesuatu, serta dengan santainya mengakhiri sesuatu. Tapi mempertahankan ia agar sampai ke tujuan memang sulit. Bayangkan, kami bahkan pernah berkumpul DUA ORANG SAJA. Terimakasih Syifa, aku hargai pengorbananmu.

Proker-proker kami telat sekali terealisir. Banyak halangan, terutama kekurangan SDM (Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Modal). Entah, sepertinya saat itu aku jadi salah satu siswi ter-setress di sekolah dan layak dapat nominasi tersebut di Man Cibadak Awarding Night.

MCPE (Man Cibadak Potensial Expo) digelar pada bulan Februari 2013 itu. Akhirnya kami memiliki alasan untuk berkumpul. Menyiapkan konsep guna meningkatkan kualitas pameran pendidikan IPS yang edukatif, rekreatif, dan bonafit finansial (maklum anak akuntansi).

Aku bersyukur, sangat. Waktu itu Pak Dahlan berbaik hati memberikan tugas kepada anak-anak kelas X yang berjumlah sekitar 400-an orang untuk mengerjakan tugas dengan mendatangi stand kami. Ok, itu cukup ampuh membuat kantong kami penuh. Balik modal, bahkan lebih (menambah jumlah pengunjung hingga 700-an jiwa).

Konsep pameran pendidikan kami sederhana, aku dan Fydha berlagak sebagai instruktur geografi yang pintar (padahal aslinya aku masih bodoh haha), Rafi dan Syifa menjaga stand Sejarah dengan puzzle-puzzle-nya. Fajar dan Sitrop dengan stand sosiologi-nya, Adi dengan stand uangnya, dan anak IPS lain biasanya bantu menjaga stand permainan dadu di tengah museum kecil kami.

Aku senang, pengunjung puas dan beberapa diantaranya bahkanl kembali lagi untuk belajar dan bermain di stand kami (dilihat dari buku tamu).

Ok ternyata pepatah 'semakin tinggi pohon, semakin besar anginnya' itu ada benarnya juga. Rasanya telingaku panas karena ada tetangga menggunjing macam-macam di depan mataku sendiri (padahal dia mungkin tidak sadar, saat dia memukul kaki, kepala lah yang merasakannya terlebih dahulu. Terserah, alhamdulillah berarti mereka adalah penggemar yang senang memperhatikan kami.

Proker lainnya adalah penerbitan buletin, yang merupakan pionir di sekolah kami (dan tentunya dikelola dan diisi sendiri oleh siswa). Aku baru belajar buletin waktu itu, Pak Dahlan juga yang mengajarkannya. Dia menyuruhku untuk menulis, ya aku kerjakan. Layout dan desain aku kerjakan sebisanya, finishing tetap Pak Dahlan dan Pak Gungun yang mengerjakan. Ok, itu adalah buletin pertama yang kami buat. Bertemakan Green School.

Proker selanjutnya adalah penghijauan, nonton film, diskusi, studi banding, dll.

Perjalanan SCMC di awal kelahirannya memang sulit, proker kami banyak yang tersendat dan hanya dilaksanakan dengan formal saja. Aku menyesal karena belum bisa membuat SCMC menjadi sebuah rumah, Rumah Hijau yang menyenangkan.

Sebenarnya tulisan ini aku persembahkan untuk kalian, penerus kami. Eratkanlah pegangan tangan kalian, tunjukan pada wajah-wajah itu kalau 'IPS tidak seburuk yang mereka bayangkan'. Kita bisa kalau mau. Just do it! Aku titip Rumah Hijau ya, aku rindu pulang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar