Senin, 30 November 2015

Tentang Si Peracau

Kuharap Ia menyucikan hati si peracau
Jangan sampai ia memiliki pasangan di saat yang tidak tepat
Bukan menyumpahi, hanya berusaha mendoakan sebuah 'tameng' untuk hidupnya

Oh iya, kudengar si peracau mendapat sebuah surat cinta Maret itu
Aku penasaran siapa pengirimnya
Bukan cemburu, hanya saja semoga si pengirim memang tidak pernah menunjukan gelagatnya

Biarkan si peracau tenang, dia butuh menata hati agar dikata pantas

Saat ini si peracau lebih senang pada malam
Ah aku lupa, dia memang menyenanginya sejak dulu
Hanya saja, belum pernah secinta ini sejak enam bulan terakhir

Si peracau memiliki idola baru, katanya
Tapi aku tidak percaya, dia terlalu lugu untuk mengenali 'cinta'
Kau tahu? Dia hanya pengkhayal level 3

Biarkan si peracau senang, dia butuh menyenangkan diri di tengah sepi

Kau tahu, aku tidak pernah sedekat ini dengan si peracau
Dia tidak suka udang ternyata, dia juga benci jika idola menyadari gelagat bodohnya
Iya, setidaknya itu yang kuperhatikan

Si peracau memiliki idola baru, tapi kuharap dia bercanda
Idola itu harus diproteksi, (ralat) mereka harus di proteksi!
Setidaknya agar mereka sedikit suci

Biarkan si peracau menang, sesekali dia harus melupakan masa lalu

Tentang Psikosomatis dan Penderitanya

Psikosomatis, adalah gangguan pikiran yang mengakibatkan penderitanya mengalami gangguan fisik. Gangguan pikiran itu bisa berupa rasa cemas, kecewa, sakit hati, bahkan rindu.

Gangguan tersebut terjadi saat tubuh secara berlebihan memompa adrenalin ke dalam aliran darah.

Gejalanya bisa berupa mual, demam, panas dingin, lemas, bahkan meracau (yang semua itu sebenarnya adalah manifestasi dari kecemasan dalam otak).

Penyakit ini juga sering melanda mahasiswa-mahasiswa rantau, dan homesick menjadi alasan terkuatnya.

Ketika CPU dalam tubuh manusia mengalirkan energi negatif, maka metabolisme tubuh akan menurun dan menunjukan kelainan.

Aku tidak akan secara gamblang bilang 'rindu' itu negatif, tapi nyatanya seperti itu. Rindu, ingin pulang. Rindu bertengkar dengan adik bahkan bisa jadi penyebab psikosomatis juga. Asli✌

Solusi jitunya, seorang penderita psikosomatis hanya memerlukan orang untuk diajak ngobrol mengenai semua masalah yang sedang ia pikirkan, sampai ia merasa terbebas dari segala beban dan racauan tanpa kendali itu.
.
.
Tentang racauan dan nasihat yang menguap, tentang psikosomatis dan penderitanya. Tentang anak kos Negla, Ledeng, Gerum, Cilimus, Panorama, Cipaku, dan Gerlong.
.
.
Aku yang so' bijak ✌

Berpaling dari Masalah

Kamu tidak bisa lari dari masalah, karena ia menempel kuat pada hidupmu. Hanya sejenak kau mungkin bisa berpaling, maksudku: tidak mempedulikan kicauannya.

Berpaling tidak akan membuatmu jadi pengecut, setidaknya itu menunjukkan jika kamu butuh waktu untuk berpikir bagaimana pemecahannya.

Hidup dengan terus memecahkan masalah merupakan ciri seorang pemberani, betapa tidak? Dia jelas telah berani mendekati masalah sebagai tantangan hidupnya. Namun pemberani yang baik tentu akan menyelesaikan masalah itu dengan ikhlas dan bukan keluhan.

Ah, diri. Kau pintar sekali membolak-balikan kata namun action-nya tersendat-sendat. Harusnya kau jadi pengkhayal saja, menyendiri dan tidak usah membuat orang jengkel. Kau seperti Majnun yang disakiti kisah cintanya bersama Laila. Kau kosong, hanya terisi syair rindu tentang cinta dan kehidupan.
.
.
Senin, 30 November 2015 pukul 22.02 WIB
Kosan Baru, Negla Tengah yang pernah jadi sungai periodik.

Minggu, 29 November 2015

Homesick dan Keluarga Dingin

Fenomena 'indekos' memang sudah tidak aneh lagi di kalangan mahasiswa. Hal itu biasanya dilakukan saat jarak antara rumah dan kampus tidak bisa dijalani secara pulang pergi (komuter). Atau bisa juga dipilih sebagai alternatif untuk mempermudah mobilitas perkampusan.

Bagiku, ngekos juga merupakan salah satu cara untuk melatih kemandirian. Jauh dari orangtua, keluarga, dan teman rumah membuat mahasiswa mau tidak mau harus mencari keluarga dan teman baru di sekitar kampus (asal jangan cari orangtua baru aja) 😐😓

Karena terlepas dari pengawasan orangtua, indekos juga menawarkan sebuah 'kebebasan', dan aku sadari bahwa kontrol diri sangat diperlukan agar kita masih berada di koridor yang benar tanpa mengkhianati kepercayaan orangtua. Jujur, awalnya aku sangat menikmati kebebasan itu (menikmati masa dimana jauh dari orangtua memang memperluas gerakan dalam bermain dan berorganisasi). Tapi indekos juga sebenarnya tidak terlalu menyenangkan, berpenyakit. Iya, homesick!

Homesick adalah suatu keadaan dimana kita merasa rindu pada rumah, bukan pada atap atau dindingnya, tapi pada makhluk hidup di sekitarnya (orangtua, adik-kakak, teman, bahkan pada tukang gorengannya).

Homesick bisa mempengaruhi kondisi fisik dan psikologis seseorang, beberapa penderitanya bahkan bisa sakit dan depresi. Beruntung kalau dia terlahir dari keluarga yang hangat, tinggal hubungi orang rumah langsung dan bilang rindu. Nah bagaimana dengan nasib orang yang terlahir di keluarga dingin? Mau bilang rindu, pada siapa?

Ok kita jelaskan terlebih dahulu, keluarga dingin adalah sejenis keluarga yang tercipta dari keadaan broken home atau semi broken home, sehingga kondisi rumah tercipta terlalu formal karena setiap anggota keluarganya merasa tidak wajib untuk menyatakan kasih sayangnya secara langsung. Keluarga dingin juga membentuk karakter yang dingin pada anggota keluarga, ketidak pedulian dan gengsi.

Seseorang yang dibesarkan di keluarga dingin akan cenderung memendam rasa rindu dan menumpuknya dalam hati. Merahasisakan dan mengecapnya seorang diri. Sehingga orang sejenis itu bisa jadi mati rasa akan rindu. Hidupnya kosong dan hambar. Beruntung jika dia punya pelampiasan ke arah positif, nah jika tidak? Itu mungkin salah satu alasan kenapa kita harus berusaha akrab pada siapapun, mungkin untuk mencegah seseorang merusak dirinya karena rindu (bisa jadi).

Dan.... Sudah ah, bingung.
.
.
.
Dariku, yang sedang rindu rumah.
Minggu, 29 November 2015 pukul 19:48 WIB.
Tertanda, Kosan Biru Hijau Negla Tengah.

Hasrat Mencintai ala Manusia

Mereka bilang, mencintai tidak harus memiliki. Tapi nyatanya, bukankah cinta (juga) harus diperjuangkan?

Memaksakan hati memang dilarang, apalagi untuk mencintai. Tapi kalau begitu, bagaimana mungkin manusia bisa bertahan dengan pasangannya selama berpuluh tahun? Apalagi menurut penelitian, cinta hanya bertahan selama 4 tahun pertama.

Memendam perasaan bisa dimaklumi saat Sang Waktu tidak berpihak. Lantas sampai kapan rahasia secara tidak sengaja (malah) menyakiti diri pemiliknya?

Menjadi penggemar nyata hanya akan menambah beban pada idolanya. Ah, yang benar saja. Bukankah pada hakikatnya setiap manusia ingin dicintai?

Untuk memiliki Arjuna, Srikandi bahkan merebutnya dari Subadra. Dengan sedikit arogansi dihadapan Larasati, dan harus puas dengan kekalahan.

Begitulah hasrat mencintai ala manusia, berkembang sesuai peri kemanusiaan yang sedikit cacat.

Namun apa arti semua tulisan ini, tidak ada. Aku akhirnya menulis hal yang semu kelak menguap.

Pandangan Menikah Ala Mahasiswa S3

Pagi yang kesiangan, lagi. Pandangan tentang menikah mahasiswa S3? Ayolah, sebenarnya judulnya itu Pandangan tentang menikah mahasiswa semester 3 😄😅✌

Ok, akhirnya kami sampai juga di penghujung semester 3. Masa dimana tenaga, pikiran, dan dompet terkuras untuk tugas-tugas dan praktikum, masa-masa sulit dimana hati merasa ingin menikah saja daripada nugas. Tapi benar kata Teh Meyda dalam dakwahnya kemarin siang dalam Geografi Islamic Fair 2015, menikah tidak segampang itu 😧😢

Menikah adalah satu proses penyatuan seorang perempuan dan laki-laki dimana mereka harus mengakui kekurangan masing-masing dan mencoba bertanggung jawab satu sama lain. Pandangan kita (si S3 yang sedang pusing dengan PJ, PSB, dan SMI serta acara-acara himpunan), menikah memang menyenangkan, tidak usah mengerjakan tugas kuliah (kalaupun ada, tinggal minta bantuan kepada pasangan kita). Tapi ternyata pandangan itu (katanya) terlalu sempit saudaraku 😐😓

Bagi perempuan, menikah adalah proses pengalihan bakti dari orangtua kepada suaminya. Sedangkan bagi laki-laki, menikah merupakan sebuah pengalihan tanggungjawab, dari ayah si istri kepadanya. Maka dari itu pernikahan digolongkan sebagai ujian dan keberkahan.

Di saat kita belum dipercaya Allah untuk menikah, maka kita berarti belum pantas diuji melalui pernikahan serta belum waktunya mendapat keberkahan dari sana.

Ujian dan keberkahan Allah bisa datang dalam bentuk apapun: kuliah, kerja, bahkan menganggur. Untuk mahasiswa S3 seperti kita, Allah jelas tengah menguji kita dengan perkuliahan (yang ekstrem seperti di Geografi) 😀😂. Allah hanya ingin kita meningkatkan kualitas diri terlebih dulu, sebelum bertemu jodoh yang (sepertinya) akan berkualitas juga (etdah, maunya). Satu tambah satu sama dengan dua, entah dalam bentuk:
(1+1=2)
(0,5+0,5)+1=2
atau
1+(0,3+0,7)=2

Balasan Allah akan setimpal dengan usaha kita. Maka dari itu, mahasiswa S3 yang baik hatinya (Mario Teguh mode on), mari kita berusaha kembali untuk menjadi pribadi yang berkualitas agar mendapat jodoh yang berkualitas. Menjadi pribadi yang ikhlas agar mendapat yang ikhlas. Jadi pribadi berpendidikan agar dapat yang berpendidikan.

Tenang, jodoh sudah diatur oleh-Nya dalam lauhul mahfudz bahkan sebelum kelahiran kita terjadi. Jangan takut kehabisan, kalaupun pacar kita ditikung teman (🙊) atau friendzone gak kunjung nembak (🙈), udah tinggalin aja! Masih banyak yang lebih baik 💪 Nikmati keadaan saat ini, tugas (kuliah atau organisasi) kali aja ujian itu membawa keberkahan (atau kalo Allah izinkan, bisa jadi bawa jodoh juga 👫).
.
.
Ayo semangat bertugas ria mahasiswa S3 (khususnya Geo 14) 😄😅
Cepetan kuliahnya, katanya mau cepat nikah 😏😯
.
.
Dariku, yang sedang berbicara pada diri sendiri.

Sabtu, 28 November 2015

Seribu Hari Menanti Hujan #90

Sekarang aku bisa apa? Yang selalu kutemukan dalam setiap sudut otakku adalah nama dan wajahmu. Aku takut, berubah menjadi tidak profesional dan mulai berbelok menjadi penggemar barumu. Aku tidak mau, aku takut.

Aku mengenalmu di sebuah taman berbunga kuning yang mempesona. Aku mengenalmu dari sebuah catatan biru. Aku mengenalmu dari Sang Waktu.

Menyukai bahkan mencintai, candaan apalagi yang tengah disuguhkan oleh takdir? Aku belum siap, dan entah kapan akan siap. Aku terlalu takut menjalaninya. Aku takut menyukai dan mencintaimu.

Sebenarnya aku bisa saja mengatakan bahkan meneriakannya, itu pun kalau aku tak memiliki rasa malu pada penonton. Tapi aku bukan tipikal seperti itu, mungkin akan melobi waktu mengenai rasa ini.

Kau, yang kemarin mengalirkan sebuah energi yang cukup besar untuk mendetakan jantungku lebih cepat. Menurutmu aku harus bagaimana saat sebagian diriku (seakan) mengumpan pada hidupmu? Aku tersesat, dalam pemikiran yang berpusat kepadamu. Tolong, bebaskanlah.

Dariku, yang esok pagi ingin menginfus AB pada tubuh lain(semoga).

Jumat, 27 November 2015

Tentang Hujan dan Para Pecinta

Hujan memiliki magis tersendiri untuk para pecinta, ada yang mencintai basahnya air hujan, ada yang mencintai gertakannya pada kaca bening, ada juga yang mencintai aroma tanah yang menyeruak saat terbasahi olehnya.

Hujan, kata yang selalu dijadikan alasan oleh para pecinta untuk mengenang seseorang di masa lalu. Alasan yang klise, tapi memang benar terjadi!

Hujan menjadi suatu kebahagiaan yang sederhana, dan alam dengan baik selalu menyediakannya.

Para pecinta hujan bukan orang yang aneh, hanya istimewa. Mereka bisa menemukan kebahagiaan dari hal-hal kecil. Lihat kan? Mereka (sedikit) keren, andai setiap manusia bisa seperti itu. Kuulangi, menemukan kebahagiaan dari hal-hal kecil.

Hujan juga mengingatkan kita pada kebebasan yang pernah kita genggam saat masih belia (bertubuh kecil dan berpikiran serampangan), masa kanak-kanak. Semua orang dewasa pasti pernah main hujan saat kecil, kebahagiaan sederhana yang terindukan.

Pada nyata kebahagiaan memang dibutuhkan untuk menghiasi hidup yang susah. Iya, hidup memang susah. Tapi masih lebih mending ketimbang tidak hidup sama sekali. Masalah memang banyak, tapi masih lebih mending daripada menjadi zombie (mayat hidup yang tidak pernah sibuk memikirkan masalah).

"Allah tidak akan menimpakan suatu musibah melebihi kemampuan umatnya"
.
.
.
Maafkan aku yang lancang mengatakan sesuatu yang masih kuingkari.

Selamat berbahagia, dariku yang belum selesai membaca novel "Perempuan Batu" karya Tariq Ali.

Rabu, 25 November 2015

Surat untuk Putri Sulung Kerajaan Kopi


Ini adalah surat yang kedua untuk seorang putri, bukan untuk si Sulung Kerajaan Retak lagi, ini untukmu yang kemarin dengan antusias mau diajak mengembara dalam dunia khayal.

Putri Kopi, nama yang kuangkat dari lambang rumahmu disana. Putri yang tegar, yang enggan menangis di hadapan para penonton pasif itu. Kau yang menanti mentari jingga di ujung jalan, perhentian terakhir dengan kilau bahagia yang sejati.

Putri, walau inangmu mengubah marganya dengan pasangan baru, kau masih tetap harus tersenyum. Dan aku yakin kau akan tetap begitu.

Oh iya, angin yang berhembus ke segala arah ternyata nakal juga kepadamu. Dia mengabarkan semak sesuatu yang kurang tepat, hingga para penonton menatapmu skeptis. Aku tahu itu, aku percaya kepadamu, karena aku (maksudku kami) tidak akan jadi penonton pasif itu (semoga).

Putri Kopi, seiring matahari yang senantiasa bergerak dalam peredarannya, seiring itulah (kuharap) Tuhan mempertebal kekuatanmu. Jadilah si Sulung yang selalu tersenyum dan bahagia. Jadilah sesuatu, agar para penonton itu mulai bertepuk tangan akan kesuksesanmu dalam segala hal.

(Jumat, 27 November 2015 pukul 8:07 WIB dari Kosan seharga 4 juta. Saudaramu, Esa)

Jumat, 20 November 2015

Jangan Dekat, Nanti Cinta!

Jangan terlalu dekat dengan seseorang, nanti kamu cinta!

Iya, itu memang benar ternyata. Kedekatan membuat kita butuh, dan kebutuhan membuat kita cinta. Tak ingin lepas, tak ingin jauh.

Kedekatan itu bisa secara fisik atau psikis. Bisa saja, karena 12 hari bersama-sama siang malam, kamu jadi cinta. Atau bisa juga, karena kalian punya rahasia pribadi yang disimpan sama.

Entah, tapi jangan jadi pecundang juga ya. Jangan karena dekat dengan siapa pun kamu jadi baper pada siapa pun. Kasian orang itu, nanti jadi jahat karena perasaanmu.

Udah ah, capek.
(Jumat, 20 Nopember 2015. 23:21 WIB)

Rabu, 18 November 2015

Seribu Hari Menanti Hujan #80

Andai bukan kau, apa kacau itu ada?
Apa rasa itu juga akan tetap sama?

Hawa yang merindu Adam
Sepi memberi sosok kawan

Tatapan 3 detik, yang tersirat sekilas
Tepat di hari ke-80 yang membekas

Abu ingin sekali mendekap
Sayang putih melarang ketat

Tentang 3 detik, tentangmu
(Seribu Hari Menanti Hujan-H80)

Surat untuk Putri Sulung Kerajaan Retak

Putri, maafkan hamba. Maaf atas keteledoran lidah yang ambigu dan multitafsir hingga kau menyangka sebuah penyudutan yang tidak pernah kurencanakan.

Oke sebelumnya, kujuluki begitu karena kau memang anak sulung, yang hebat. Yang tinggal di sebuah kerajaan megah dengan kaca retak disana-sini. Hingga kamu hanya bisa menatap dirimu sebagian dan kecewa.

Baik kita lupakan, itu hanya perkiraanku saja.

Putri Sulung dari Kerajaan Retak, aku tau rasa cintamu padanya memuncah dan tidak bisa lagi ditahan oleh bendungan di dalam hatimu sendiri. Namun sayang disampingmu juga ada seorang putri dari kerajaan lain yang mencintai orang yang sama denganmu, Pangeran Berkuda Biru.

Kau Putri Sulung dari Kerajaan Retak, ampuni hamba yang dengan sengaja mengatakan 'kau keduluan'. Walau aku tidak yakin pernah mengatakan demikian, sedang kau mendengar demikian, maka anggaplah demikian. Tapi demi senyum Mamahku, aku tidak pernah berniat melukai perasaanmu. Aku tidak pernah berniat menyudutkan posisimu. Aku tidak bermaksud menyinggung tentang pangeran-mu. Kalau begitu, aku mohon maaf atas ke-ambiguan itu.

Hei Putri Sulung dari Kerajaan Retak, mencintai dalam sunyi memang sulit. Kita harus menahan hati, pikiran, dan sikap agar 'mereka' tidak bisa menangkap ketertarikan diri pada 'orang itu'. Bertahanlah, kecuali kau memang berniat untuk menjadi penggemar suka rela dan terekspos. Tapi kusarankan jangan, beberapa dari mereka menyebalkan dan bermulut besar. Maafkan mereka ya Putri.

Ini adalah surat yang mungkin tidak akan kau baca, kecuali Tuhan mentakdirkanmu membeli kuota dan tersesat dalam Diary Maya-ku. Terimakasih untuk hari ini, ampuni yang telah tak sengaja terucap dan meracaukan pikiranmu. Surat ini juga sebagai pembersih, pikiranku yang juga mulai meracau.

Selamat malam.
Dariku, yang senang panen jambu air di kampus tercinta.

(Rabu, 18 Nopember 2015 tepat 2.29 AM. Kosan Ohing, yang sekat kamarnya mirip jalur chimneying)

Selasa, 17 November 2015

Surat untuk Wanita Hebat, Mamah Aiyanti

Assalamu'alaikum
Hei, ibu. Apa kabar? Semoga ibu baik lahir batin dan selalu dalam lindungan kasih sayang Allah. Aamiin :)

Bu, kemarin esa dengar cerita tentang ibu dan dari sana juga esa tau kalau ibu adalah Mamah yang luar biasa. Ibu hebat, sekarang esa gak heran dari mana putrinya mendapat kekuatan hidup yang juga kuat.

Bu, saya teman putri ibu. Saya juga tau semua perasaan itu. Marah, kesal, sedih, dan putus asa, setidaknya itu yang esa rasakan waktu dulu di posisi yang sama.

Bu, saya bukan teman yang baik tapi saya akan mencoba apa yang menurut nurani baik. Saya berdoa semoga kehadiran kami bisa lebih menguatkan hati putri ibu yang cantik dan ramah itu.

Bu, setiap detik langit berubah sesuai dengan keadaan aerosol, uap air, dan debu kosmik di udara. Semoga dinamika itu seiring dengan keberkahan dan pahala teramat besar bagi dia yang berjiwa ikhlas. Dan semoga kita adalah salah satunya.

Bu, setiap garis tangan ada bersama takdir individu yang memilikinya. Dan aku yakin, setiap harinya hati ibu tidak pernah berhenti berdoa untuk takdir kedua putri cantikmu yang tegar itu. Semoga setiap pengharapan baik darimu selalu didengar dan diwujudkan-Nya. Aamiin.

Iya bu, surat ini hanya berisi penyampaian kekaguman yang membumbung dalam dada sejak sore kemarin. Semoga ini mewakili, terima kasih karena telah menjadi Mamah yang luar biasa. Sehat selalu, bu. Jangan sakit, jangan bersedih.

Assalamu'alaikum :)
Tertanda: orang yang kemarin sore duduk dekat air terjun FPIPS, Esa.

Minggu, 15 November 2015

Bara Cinta Shanaya #4


Chapter 4
Payung dan Batu

Aku memperhatikan lukisan di depanku dengan seksama, sepertinya ada banyak hal yang belum kuketahui tentang Bara.
"Belum makan malam kan?" tanya seseorang mengagetkanku. Aku berbalik, Bara!
"Belum, kan tadi ada yang mau ngajak jalan. Kali aja dikasih makan malam juga"
"Hahaha. Berarti emang mau ya diajak jalan?" pertanyaan pria itu lebih terkesan seperti ejekan. Terserah.
"Ya udah, ayo!"
Bara tidak benar-benar mengajakku jalan-jalan dengan ontel. Benar kan? Omong kosong!
Dia melesatkan sebuah Ninja hijau yang dipinjamnya dari Ibu Jawa. Maklum, Bara sama sekali tidak membawa apapun dari Bandung. Mungkin hanya sebuah tas kecil dan baju wartawan yang dipakainya saja.
Pria itu melesatkan motornya membelah Kota Malang yang dingin, entah kemana. Beberapa saat kemudian kami sampai di tempat tujuannya. Sebuah rumah makan panggung dengan gaya bangunan khas Jawa.
Bara melempar senyum kepada wanita yang selanjutnya kuterka adalah pemilik rumah makan itu, aku mengikuti, dan wanita itu membalas senyuman kami.
Kami diantar menuju lantai dua, ke sebuah ruangan khusus yang sepertinya memang dirancang untuk makan malam berdua. Tapi yang aku herankan sejak kapan pria ini menghangat? Apa dia merasa bersalah karena kejadian semalam? Atau angin timur yang kering mencairkan bongkahan-bongkahan es dalam hatinya? Entah.
"Waw, keren!" seruku girang melihat pemandangan yang disajikan restoran panggung ini.
Bara tersenyum menang, "Itu Kota Batu, Nay. Indah kan? Kayak kamu" aku tercengang mendengarnya.
"Ish, kenapa sih kamu?" menjitaknya.
"Aww"
Aku berjinjit memegang dagunya lantas memasang mata jahat."Kesambet apa?".
"Ruh Shanaya", aliran panas mengalir dengan cepat di tubuhku. Tatapan Bara lebih dalam, seperti tatapan yang dia berikan empat tahun lalu saat kami pertama kali bertemu di rumah sakit. Tatapan yang pernah membuatku sangat jatuh cinta.
"Gila!" dengan canggung aku mengalihkan perhatian pada pemandangan tadi.
Aku tidak lagi mendengarkannya, sibuk menumpang dagu dan menggumam salut. Yang aku ingat dari Google, Kota Batu dan Malang memang berdekatan, dan saling melengkapi.
"Kamu tahu gak, Nay?" tanya Bara tiba-tiba.
"Malang sama Bandung punya banyak persamaan".
"Oya?" aku balik bertanya, heran.
"Malang mendapat julukan Kota Bunga dan Bandung Kota Kembang. Malang dan Bandung juga sama-sama terletak di sebuah cekungan purba yang terbentuk di masa lampau". Aku melirik pria itu, tapi dia malah sibuk dengan Kota Batu-nya.
"Terus?"
"Terus mereka juga punya julukan asing yang hampir mirip. Bandung adalah Parijs van Java, sedangkan Malang adalah Parijs van East Java". Kami terdiam sesaat, hening.
"Bara!" dia menoleh. "Maksud aku, terus emang siapa yang nanya? Lagian orang kita lagi di Batu kok, bukan di Malang"
"Ish, ini anak!" celanya kesal.
Makanan yang kami pesan datang, seorang pelayan muda berwajah ayu-lah yang mengantarnya. Dalam hati aku bersyukur karena Bara bukan seorang mata keranjang, mungkin?
Kami melahap makanan itu tanpa suara, beberapa kali aku melirik keluar pintu yang memang dibiarkan terbuka, mencegah pandangan negatif oranglain. Melirik orang-orang di luar yang sedang lesehan dan sesekali terbahak ria.
Oh iya, nama kawasan ini Payung, tempat barisan rapi rumah makan menyuguhkan pemandangan kota saat didekap kelam. Di Bandung juga ada tempat seperti ini, namanya Punclut. Tempat yang cocok untuk memandang Kota Kembang dari ketinggian.
Suasana kota di malam hari ternyata memang sangat menawan. Titik lampu warna-warni terlihat seperti aksesoris mungil yang menghias wajah kota dengan manis.
Sungguh malam di Payung yang indah. Sesekali aku juga melirik Bara, heran. ‘Tidak biasanya orang itu begini’ dan hanya bergumam dalam hati.
Kami mulai membicarakan kenangan-kenangan kami saat mendaki bersama teman-teman pecinta alam lainnya. Pendakian ke Semeru dua tahun lalu, Rinjani setahun lalu, dan pendakian-pendakian sederhana lainnya.
Malam semakin larut, Bara mengajakku pulang. Tanpa sadar aku malah tertidur sepanjang jalan dan melupakan semua pertanyaan tadi siang.
Samar-samar aku membayangkan Payung dan Batu hidup. Dua tempat yang berbeda, si tinggi dan si rendah yang saling mencintai. Batu sejuk karena paru-paru hijau dan air kasih dari Payung, dan Payung ada karena Batu akan indah dipandang dari ketingian. Walau keduanya berkisah tentang Batu, Payung tidak mengeluh kepada Tuhan ataupun berniat ingin pergi. Dia diam, setia, entah bodoh sepertiku.

Bara Cinta Shanaya #3


Chapter 3
Bertemu Ibu Jawa

Bis yang membawa kami melabuhkan dirinya di terminal Kota Malang. Aku menarik nafas panjang, memang sedari tadi ini yang ingin aku lakukan. Keluar dari keheningan!
Jadi selama beberapa jam tadi aku diam seribu bahasa, tidak ingin berbincang sedikit pun dengan Bara. Entah kenapa, rasanya muak sekali dengan sikapnya yang tiba-tiba menciumku tadi sewaktu bis kami masih melanglang di Kota Kembang.
Aku berusaha menggeser pria itu untuk keluar dari tempat duduknya, hingga aku juga bisa keluar dengan mudah. Aku berdiri dan mengambil carrier-ku, kemudian memasangnya kembali dengan kuat.
"Nay, kamu mau kemana?" tanyanya dengan wajah tidak berdosa. Aku memicingkan mataku, menggerutu dalam hati.
"Bukan urusan kamu!" jawabku ketus hendak berlalu, namun Bara menarik bagian belakang carrier dengan seringai khasnya, membuatku hilang keseimbangan dan hampir terjatuh kalau tidak ia tahan.
Aku menatapnya tajam, kesal dan marah.
"Ish, aku gak suka sama tatapan kamu yang ini, Nay" dia menaruh dua jempolnya di atas kelopak mataku. Perlahan, suasana menjadi hening. Ada aliran aneh dalam dadaku, debaran yang tidak menentu. Tiba-tiba jempol Bara bergetar, dia melepaskan kunciannya, lalu suasana menjadi kikuk dan kami salah tingkah.
"Aku udah pesan penginapan yang cocok buat kita. Ayo!" dia merangkul bahuku dengan lengan kanannya. Kuncian lengan kekar itu jelas tidak memberi celah untuk kabur.
Kami turun dari bis dan Bara memanggil seorang supir taksi, pria berkumis tebal itu lantas mengantarkan kami ke tempat yang disebutkan oleh Bara. Sebuah tempat yang dengan fasih dia katakan, lengkap dengan nomor rumah dan warna catnya.
-oo0oo-
Tiga puluh menit berlalu. Pak Agus, nama supir taksi yang aku tahu dari pembicaraannya dengan Bara, memarkirkan taksinya di halaman sebuah rumah tradisional yang nampak anggun dengan cat cokelat dan pekarangannya yang luas.
Setelah membayar, Bara membawa carrier-ku dari bagasi. Kemudian berjalan santai menuju beranda rumah yang terbuat dari kayu itu.
Aku masih terdiam di pekarangannya, memperhatikan tingkah Bara yang slenge’an. Pria berambut ikal itu menaruh carrier di kursi santai milik si pemilik rumah. Sedangkan aku hanya melongo heran saat dia mulai mengetuk pintu dan memanggil seseorang dengan panggilan 'ibu'.
"Iya sebentar" teriak si pemilik rumah dari dalam.
"Nay, sini!" teriak Bara sambil melambaikan tangannya ke arahku. Aku menggelengkan kepala, kemudian pria itu menghampiri dan menarikku ke beranda tadi.
Pintu dibuka, sosok itu lantas terlihat jelas. Seorang wanita Jawa yang anggun berdiri tepat di depan kami, kira-kira usianya sama dengan Mamaku di Bandung.
"Aduh, Nak. Kok kesini gak bilang-bilang ibu dulu" gerutu lembut Ibu Jawa itu dengan logat khasnya.
"Iya bu, sengaja biar kejutan" pria disampingku menyeringai. Aku menatapnya kesal, karena setahuku dia hanya penguntit yang tidak pernah berniat sama sekali untuk pergi ke Malang!
"Ya udah, ayo masuk dulu". Bara lagi-lagi menarik tanganku, mungkin dia pikir aku tidak berhati sampai tega membiarkan Ibu Jawa itu mengoceh sendiri tanpa digubris.
Kami duduk di ruang tamunya, Ibu Jawa lalu pamit ke belakang untuk mengambil minum dan beberapa cemilan. Aku hanya melirik keadaan sekitar. Sampai tiba-tiba mataku terbelalak melihat lukisan seorang bayi laki-laki lucu tengah digendong oleh Ibu Jawa itu. Anehnya, Ibu Jawa itu tidak sendiri tapi berpose dengan seorang pria muda yang nampak familiar, mirip ayahnya Bara.
"Kemarin ibu ke Bandung" Ibu Jawa memulai pembicaraan. Aku melempar senyum kepadanya dengan sedikit merengkuh, khas Indonesia, mungkin.
"Terus ibu ke rumah, niatnya mau nengok kamu. Tapi kata Ratih, kamunya lagi sibuk kerja di Sukabumi. Ya jadinya ibu pulang aja soalnya masih ada urusan di Malang yang belum selesai". Aku seperti mendengar sebuah percakapan berbahasa Prancis, tidak mengerti maksud pembicaraannya. Tapi aku kenal Ibu Ratih, dia ibunya Bara.
"Iya gak apa-apa bu, Bara ngerti kok. Oh iya, gimana sakit ibu? Udah baikan?" tanya Bara cemas.
"Udah baikan kok, Nak. Cuma kata dokter ibu masih harus check-up rutin ke rumah sakit. Nak, cah ayu ini siapa toh?". Kembali, aku tersenyum kepada wanita pemilik mata teduh itu.
"Ini Shanaya, bu. Calon istri Bara" jawabnya santai. Aku menatapnya jahat, bukan so' berakting seperti cerita dalam novel dan drama, tapi aku memang menginjak kakinya, kesal. Dia hanya meringis, tidak berteriak.
"Eng.... Enggak kok bu, Bara bercanda. Saya teman kuliahnya" ucapku membela dengan nada seramah mungkin.
"Iya, temen kuliah sekaligus pacar dan calon suami"
"Iiiiih kamu!" aku menjewer telinga kanannya. Kemudian dia memegang tanganku, menatap lekat.
Beberapa detik kemudian Ibu Jawa itu berdehem, lalu aku memergokinya tengah menertawakan kami. Spontan saja aku garuk-garuk kepala tidak gatal.
"Aku serius" kata-kata itu membuatku bingung. Tiba-tiba saja telingaku berdenging, tak mau dengar.
"Iya, aku serius mau nikahin Shanaya, bu". Ibu Jawa itu menatapku, beberapa saat kemudian sebuah busur senyuman terbingkai manis di wajahnya.
"Ya udah, sekarang kalian istirahat dulu ya". Wanita setengah baya yang kujuluki Ibu Jawa itu mengantarku ke sebuah kamar, yang katanya boleh kutempati selama tinggal di Malang.
"Ini kamar adiknya Bara, namanya Nadia" tiba-tiba saja ibu itu menatapku nanar. Mengelus kepalaku, lantas butiran bening keluar dari mata teduhnya.
"Kata Bara, kamu mirip sama adiknya". Aku hanya menatapnya heran.
'Sejak kapan Bara punya adik?'
'Terus Ibu Jawa ini sebenarnya siapa?'
'Jadi, Ibu Ratih dan Nadia juga siapa?'
Sebenarnya banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan, tapi tidak berani sekarang. Beliau terkesan sangat sedih, aku jadi takut akan memperkeruhnya suasana.
"Yo wes lah, kamu istirahat aja ya, Nak. Pasti capek" dia tersenyum hangat dan aku membalasnya.
Setelah ibu itu pergi, aku mulai merebahkan tubuhku dan mengingat semua kejadian hari ini. Mulai dari kedatangan Bara yang tiba-tiba di ruang tunggu terminal, ciuman itu, Ibu Jawa, lantas sekarang Nadia. Kepalaku semakin pening saja, apalagi mata sembabku yang semalam belum sepenuhnya hilang.
'Jadi, sebenarnya siapa Bara itu?'
Tiba-tiba ponselku bergetar, ada pesan BBM yang masuk.
"Lagi mikirin aku?" , dari layar itu tertulis nama Bara Pratama.
"IYA!!"
"Pasti kangen?"
"Ge-er! Ketemu yuk, ada yang mau aku omongin"
"Tuh kan kangen"
"Nggak ih!"
"Itu pengen ketemu"
"Ya udah gak jadi :P"
"Istirahat aja dulu, nanti malam aku ajak keliling Malang pake ontel"
"Gak niat!"
Percakapan itu berakhir. Senja perlahan memainkan opera manisnya. Semburat oranye merangsek masuk melalui jendela tua di kamar baruku. Hening, hingga akhirnya aku terlelap di pangkuan Sang Kelam.

Bara Cinta Shanaya #2


Chapter 2
 The First Kissing

"Jogja, Jogja"
"Solo-Bandung, Solo-Bandung"
"Kebumen, Kebumen"
"Mojokerto...." beberapa kenek seakan bersahutan menjajakan nama-nama kota yang menjadi trayeknya.
Siang yang terik di Kota Bandung. Matahari seakan membakar kulit manusia tanpa pandang bulu. Tak peduli pria, wanita, atau anak-anak. Mengenakan atasan berlengan pendek atau panjang. Akhir-akhir ini Parisj Van Java memang panas, mungkin pengaruh kemarau yang dibawa angin timur dari Benua Australia yang kering.
Sesekali aku mengipaskan koran yang kubeli beberapa menit lalu. Ya, sebenarnya tujuanku membeli lembaran kertas ini bukan untuk bahan bacaan, tapi untuk mengipasi tubuh yang kegerahan dan dibanjiri keringat. Kebetulan hari ini aku lebih memilih pergi ke Terminal Caheum dan menunggu bis, ketimbang memanaskan mobil pribadi lantas pergi menambah kemacetan beberapa kota besar yang akan kulewati menuju Malang.
Entah apa yang sedang kupikirkan, namun kejadian semalam membuatku muak dengan kota ini. Rasanya ingin beranjak sebentar dan melupakan semuanya.
Tadi malam aku sukses dipermainkan oleh nasib dan perasaan. Opera Tuhan terjadi kepadaku, aku menunggu seseorang dengan bodohnya selama 4,5 jam. Dan saat pria itu datang, aku hanya mampu berkata 'tidak apa' lantas pergi menahan tangis.
Namanya Bara, pria itu. Memang tidak selalu menghadiahkan tawa, malah terlalu banyak memberi kecewa. Namun sayangnya aku sama sekali tidak membenci atau berniat pergi dari hidupnya. Bodoh!
Aku membuka air mineral yang sedari tadi hanya sebagai hiasan carrier. Membiarkannya mengalir secara lembut di kerongkongan yang kering. Aku memejamkan mataku yang sembab karena menangis semalaman, menikmati keriuhan yang terjadi di sekelilingku. Hampa.
-oo0oo-
"Mau kemana?" tanya seorang pria mengagetkan, suara yang kukenal!
"Gak kemana-mana" jawabku ketus tanpa melirik orang itu.
"Kok bawa carrier segala?"
"Mau aja". Kemudian sejenak hening.
"Kok bisa disini?" tanyaku heran.
"Mau aja" jawab pria itu menirukan gaya bicaraku
"Ish, ngapain sih kesini?" aku memukulnya dengan gulungan koran.
Dia meringis, "Ini kan tempat umum, Nay". Sekali lagi aku hendak memukulnya, tapi kemudian dia memegang tanganku, erat.
Dia melirik koran yang kupegang, mengambilnya dengan paksa. Lantas membuka beberapa halaman sampai menemukan yang dia cari.
"Ini yang ngebuat aku telat tadi malam". Dia menunjukkan sebuah artikel yang menjadi headline news. Ada gambar sebuah stalaktit di dalamnya, benda alami yang bergantung di atap gua itu nampak berkilau terkena flash kamera, mungkin. Kemudian judul berita itu ditulis dengan font yang cukup besar, terbaca ‘Menelusuri Pesona Bawah Tanah Kampung Guha Cidolog’.
"Terus?" tanyaku menantang.
"Maaf, Nay". Aku menarik nafas panjang, memejamkan mata dan berusaha tidak peduli.
Hening kembali, lima menit kemudian aku baru sadar apa yang sedang aku tunggu.
"Oh iya, aku pergi ya"
"Kemana?"
"Nonton opera awan" ucapku sembarang. Aku berdiri dan memakai carrier-ku, mengencangkan setiap ikatannya tanpa memperdulikan Bara.
"Malang?" tanya pria itu ragu. Aku hanya menatapnya dingin, tak menjawab kemudian bergegas menuju bis yang kupesan via online. Melewatinya begitu saja.
"Aku ikut" kata-kata itu tidak cukup untuk menghentikan langkahku, toh dia juga tidak punya tiket. Itu pasti hanya omong kosong.
-oo0oo-
Aroma khas air conditioner menyengat ke dalam hidung. Aku memilih duduk di bangku kedua dari belakang, duduk dekat jendela sebelah kanan bis. Memakai headset, memejamkan mata, dan bersenandung pelan mengikuti irama yang menggema di telinga.
"Taylor Swift lagi?" seseorang bertanya dengan mencabut headset dari telinga kiriku. Mataku terbelalak heran, ‘darimana dia mendapatkan tiket dengan mudahnya?’ membatin.
"That was a Fairytale" terkanya setelah merebut headset-ku dan memasang benda itu di telinga kanannya. Walau kesal, aku mencoba masuk dalam permainannya. Terserah.
"Iya, That was a Fairytale. Kayak kita" kataku acuh sambil memejamkan mata lagi.
"Fairytale ya?" tanyanya pada diri sendiri, seakan tak memerlukan jawaban dari siapapun.
Sekitar pukul 13.30 WIB, bis mulai melaju dengan kencang. Membelah jalanan Bandung yang tidak terlalu padat di tengah terik. Kami masih terdiam, berkutat dengan pikiran masing-masing.
Satu jam kemudian aku melepas headset itu. Bara melirik, sebenarnya dari tadi aku sama sekali tidak berniat mendengarkan musik. Hanya mengisi waktu luang di tengah canggung dan lamunan. Lama-kelamaan aku kesal sendiri, apalagi musik yang terakhir adalah lagu yang pernah Bara nyanyian di hari ulang tahunku empat bulan lalu.
"Kenapa ke Semeru?" tanya pria itu memecah keheningan. Pertanyaan yang tepat, aku memang berniat mendaki gunung yang terkenal setelah launching-nya film 5 cm. itu.
"Lagi jenuh sama Bandung" jawabku hambar.
"Sama Bandung?" tanyanya lagi. Aku diam.
"Kenapa gak jenuh sama aku?"
"Aku jenuh, hanya tidak bisa pergi " jawabku datar.
“Kenapa?”
“Tidak tahu, cinta mungkin” jawabku sekenanya.
Bara melepas headset-nya, menatapku yang sibuk memperhatikan wajah jalanan. Bias bayangannya bisa tergambar cukup jelas di kaca di hadapanku, mungkin terpantul oleh cahaya matahari siang yang cukup terang.
"Aku cinta sama kamu, Nay. Tapi cinta itu apa?" aku terbelalak dengan pertanyaannya, sudah satu tahun sejak dia terakhir kali mengucapkan kata itu di depanku. Selama ini dia hanya bilang 'sayang', tidak pernah lagi yang lain, dan itu juga yang membuatku akhir-akhir ini menarik kesimpulan kalau hubungan kami hanyalah cinta sepihak.
Aku menyandarkan kepalaku di punggung kursi, memejamkan mata lelah.
"Cinta itu mengasihi tanpa alasan, mungkin" jawabku datar. Aku tidak mau melihat ekspresi Bara saat mendengarnya, jadi memutuskan untuk tetap menutup mata.
"Lantas kesetiaan itu apa?", pertanyaan selanjutnya. Aku menarik nafas panjang, berusaha tidak menangis.
"Tetap menunggu walau tahu orang yang ditunggu akan telat atau tidak pernah datang sama sekali". Bara diam, tidak ada kata apapun sekitar lima menit.
"Kenapa kamu masih bertahan, Nay?". Aku memegang kepalaku yang tiba-tiba sakit saat menerawang sosok Bara. Membayangkan tawa renyahnya saat kami mendaki Semeru dua tahun lalu. Saat itu kami masih bahagia, dan dia tidak pernah sedingin satu tahun terakhir ini.
"Entahlah, mungkin aku terlalu cinta hingga tidak tahu cara untuk marah karena curiga. Mungkin juga aku terlalu setia hingga tidak tahu cara untuk meninggalkan. Kamu aneh, seperti sebuah puzzle yang tidak pernah bisa kusatukan, karakter yang tidak bisa kutebak. Tapi aku cinta, itu sa__” ucapanku terpotong saat sesuatu mengunci bibirku.
Mataku terbuka, kaget. Pria itu menciumku tiba-tiba, dan ini adalah ciuman kami yang pertama. Selama dua tahun ini aku memang selalu berperan sebagai anak baik, seperti bocah SMA yang lugu dan hanya berpegangan tangan saat pacaran. Tapi ini pencurian! Aku tidak pernah menginginkannya.

Bara Cinta Shanaya #1


Chapter 1
Menangis Saat Hujan

Aku melihat seekor kucing berbulu legam tengah menatap jendela dengan sendu. Mungkin dia juga tengah meresapi senandung dan gertakan hujan dari kaca di hadapannya. Aku tidak melihatnya menangis, hanya diam seribu bahasa. Seperti tengah menunggu sesuatu yang telah lama ia rindukan, sepertiku?
Aku melihat ke dinding atas kafe, jam kodok berwarna hijau muda tengah menjulurkan lidahnya tanda berganti jam. Aku menarik nafas panjang, sudah dua jam menunggu tanpa kepastian. Ingin sekali pergi dan marah karenanya. Tapi entah mengapa, nama dan kenangan bersamanya selalu membuatku terpaku di tempat saat harus menunggunya datang terlambat.
Tapi ini keterlaluan, dia mengacuhkanku selama dua jam tanpa kabar. Bahkan aku tidak yakin akan ada yang sesabar ini menunggu. Eh aku ralat, aku tidak yakin akan ada yang sebodoh ini untuk terus menunggu.
Namanya Bara, dia seorang pria tinggi dengan rambut ikal sebahu dan mata coklat karamel yang indah, kekasihku selama dua tahun ini. Selain kuliah, setahun belakangan dia disibukkan dengan pekerjaannya sebagai penulis dan wartawan lepas di salah satu media cetak terkemuka di Indonesia. Hobi dan tugasnya adalah mengisi rubrik khusus mengenai kegiatan alam bebas. Hidup berpetualang dan selalu lupa pulang. Begitupun arti penantian ini. Aku menunggunya, selalu. Dengan embel-embel makan malam setelah sibuk keluar kota mencari berita.
Bara adalah demisioner ketua adat Pecinta Alam di Universitasku. Berbeda dengan namanya, sosok pria ini sangat dingin dan jarang merajuk manis. Bahkan saat aku marah, dia hanya akan menatapku dengan tajam beserta senyum licik. Lantas mencium keningku dengan segera, semena-mena. Dan aku hanya akan diam serta memaafkannya, seakan mengerti kalau pria itu sedang capek dan tidak ingin berdebat. Bodoh, kan?
Ya, dia selalu memainkan matanya tanpa harus berbasa-basi. Pernah satu ketika aku memergokinya tengah digelayuti manja oleh Siska, rekan wartawannya. Aku sangat marah, membanting pintu kerjanya dan pergi. Kemudian Bara mengerjarku, dan dia hanya berteriak dari kejauhan. Saat itu hujan juga turun dengan deras, jadi teriakannya harus berlomba dengan teriakan hujan yang memekik.
"Shanaya, pergilah jika kamu tidak percaya padaku. Aku tidak akan memaksa", tantangnya datar lalu berbalik. Aku berhenti, entah kenapa kakiku waktu itu malah mengejarnya. Saat itu aku hanya mampu memeluknya lalu menangis. Mencoba mempercayai kesetiaannya. Bara memang pria yang aneh, dan aku lebih aneh lagi karena selalu memaafkannya.
Detik berganti menit, dan menit berlari mengejar jam. Sudah empat jam, pukul 23.00 WIB. Kucing hitam yang kulihat dua jam lalu sudah pergi, mungkin dia tidak sabar menunggu lantas minggat dan mencari pasangan baru. Entahlah.
Aku berkemas, memasukan handphone dan buku catatanku ke dalam tas. Sudah berdiri, namun duduk lagi karena masih ingin menunggunya. Seorang pelayan melihatku dengan tatapan iba, mungkin ia sadar dengan kebodohan yang kulakukan.
Dua puluh menit lagi, 23.20 WIB. Jalanan Bandung nampak sepi. Beberapa pelanggan juga sudah pulang, mungkin merindu selimut dan bantal guling yang terkesan sangat hangat di tengah hujan. Aku menghela nafas panjang, berat menahan marah dan rasa kantuk.
"Neng, sebentar lagi kami akan tutup" pelayan tadi mengagetkanku.
"Oh iya pak, setengah jam lagi ya" pintaku lemas.
"Iya, silahkan".
Aku memandang lagi kaca kafe yang nampak blur tersiram air hujan sepanjang malam. Tak kuasa menahan malu, pada diri sendiri, aku menutup wajah dengan kedua telapak tanganku. Bulir-bulir kecewa menetes pelan, pilu.
"Maaf", aku kenal suara itu. Sebelum dia lebih sadar, aku menghapus air mataku. Memasang wajah tegar, berusaha untuk menenangkan pita suaraku yang biasanya kalau sedang sedih akan bergetar saat dibunyikan. Dan aku tidak mau terlihat cengeng.
Aku melihatnya berdiri tegap di depanku, dengan kamera dan pakaian khas seorang wartawan. Ada tatapan menyesal dari iris cokelat terang itu, tapi aku sangat lelah untuk mengerti.
"Tidak apa" ucapku datar, lantas berusaha tersenyum sekuat hati. Aku mengambil tas tangan di sampingku, lantas pergi melewatinya.
Aku tebak, dia tidak akan pernah mengejarku. Seperti biasa, menunggu hari besok untuk meminta maaf dan menyelesaikan permasalahan. Tapi itu keterlaluan? Memang! Sayangnya aku selalu memaafkannya.
"Shanaya" aku terdiam di mulut pintu saat Bara memanggilku dengan suara tegasnya.
"Pergilah jika kau jenuh dan kecewa, tapi aku benar-benar minta maaf" lanjutnya. Aku berbalik tidak percaya. Kenapa dia selalu menyuruhku pergi? Tidak bisakah berterimakasih karena sudah kutunggu selama beberapa jam!
Aku keluar menantang hujan, tak kuasa berjalan lalu terduduk dan menangis. Sebenarnya aku sangat menyukai hujan, menangis saat hujan tidak akan membuat kita lemah. Karena air hujan akan terlihat sama beningnya dengan air mata.
Aku sangat kecewa kepada Tuhan karena telah membuatku sangat mencintainya. Kepalaku pening dan aku hanya bisa menangis sejadi-jadinya, namun tiba-tiba sebuah payung menaungi dan membuatku kehilangan hujan untuk berteman.
"Jangan berlomba dengan langit, menangislah sendiri" ucap Bara meledek.
Entah apa yang kupikirkan, aku meruntuhkan hati kokoh tadi. Menangis lagi, lebih keras. Tidak peduli pria ini akan mentertawakanku atau tidak.