Chapter 2
The First Kissing
"Jogja,
Jogja"
"Solo-Bandung,
Solo-Bandung"
"Kebumen,
Kebumen"
"Mojokerto...."
beberapa kenek seakan bersahutan menjajakan nama-nama kota yang menjadi
trayeknya.
Siang
yang terik di Kota Bandung. Matahari seakan membakar kulit manusia tanpa
pandang bulu. Tak peduli pria, wanita, atau anak-anak. Mengenakan atasan
berlengan pendek atau panjang. Akhir-akhir ini Parisj Van Java memang panas,
mungkin pengaruh kemarau yang dibawa angin timur dari Benua Australia yang
kering.
Sesekali
aku mengipaskan koran yang kubeli beberapa menit lalu. Ya, sebenarnya tujuanku
membeli lembaran kertas ini bukan untuk bahan bacaan, tapi untuk mengipasi
tubuh yang kegerahan dan dibanjiri keringat. Kebetulan hari ini aku lebih
memilih pergi ke Terminal Caheum dan menunggu bis, ketimbang memanaskan mobil
pribadi lantas pergi menambah kemacetan beberapa kota besar yang akan kulewati
menuju Malang.
Entah
apa yang sedang kupikirkan, namun kejadian semalam membuatku muak dengan kota
ini. Rasanya ingin beranjak sebentar dan melupakan semuanya.
Tadi
malam aku sukses dipermainkan oleh nasib dan perasaan. Opera Tuhan terjadi
kepadaku, aku menunggu seseorang dengan bodohnya selama 4,5 jam. Dan saat pria
itu datang, aku hanya mampu berkata 'tidak apa' lantas pergi menahan tangis.
Namanya
Bara, pria itu. Memang tidak selalu menghadiahkan tawa, malah terlalu banyak memberi
kecewa. Namun sayangnya aku sama sekali tidak membenci atau berniat pergi dari
hidupnya. Bodoh!
Aku
membuka air mineral yang sedari tadi hanya sebagai hiasan carrier.
Membiarkannya mengalir secara lembut di kerongkongan yang kering. Aku memejamkan
mataku yang sembab karena menangis semalaman, menikmati keriuhan yang terjadi
di sekelilingku. Hampa.
-oo0oo-
"Mau
kemana?" tanya seorang pria mengagetkan, suara yang kukenal!
"Gak
kemana-mana" jawabku ketus tanpa melirik orang itu.
"Kok
bawa carrier segala?"
"Mau
aja". Kemudian sejenak hening.
"Kok
bisa disini?" tanyaku heran.
"Mau
aja" jawab pria itu menirukan gaya bicaraku
"Ish,
ngapain sih kesini?" aku memukulnya dengan gulungan koran.
Dia
meringis, "Ini kan tempat umum, Nay". Sekali lagi aku hendak
memukulnya, tapi kemudian dia memegang tanganku, erat.
Dia
melirik koran yang kupegang, mengambilnya dengan paksa. Lantas membuka beberapa
halaman sampai menemukan yang dia cari.
"Ini
yang ngebuat aku telat tadi malam". Dia menunjukkan sebuah artikel yang
menjadi headline news. Ada gambar sebuah stalaktit di dalamnya, benda
alami yang bergantung di atap gua itu nampak berkilau terkena flash kamera,
mungkin. Kemudian judul berita itu ditulis dengan font yang cukup besar,
terbaca ‘Menelusuri Pesona Bawah Tanah Kampung Guha Cidolog’.
"Terus?"
tanyaku menantang.
"Maaf,
Nay". Aku menarik nafas panjang, memejamkan mata dan berusaha tidak
peduli.
Hening
kembali, lima menit kemudian aku baru sadar apa yang sedang aku tunggu.
"Oh
iya, aku pergi ya"
"Kemana?"
"Nonton
opera awan" ucapku sembarang. Aku berdiri dan memakai carrier-ku,
mengencangkan setiap ikatannya tanpa memperdulikan Bara.
"Malang?"
tanya pria itu ragu. Aku hanya menatapnya dingin, tak menjawab kemudian bergegas
menuju bis yang kupesan via online. Melewatinya begitu saja.
"Aku
ikut" kata-kata itu tidak cukup untuk menghentikan langkahku, toh
dia juga tidak punya tiket. Itu pasti hanya omong kosong.
-oo0oo-
Aroma
khas air conditioner menyengat ke dalam hidung. Aku memilih duduk di
bangku kedua dari belakang, duduk dekat jendela sebelah kanan bis. Memakai headset,
memejamkan mata, dan bersenandung pelan mengikuti irama yang menggema di
telinga.
"Taylor
Swift lagi?" seseorang bertanya dengan mencabut headset dari
telinga kiriku. Mataku terbelalak heran, ‘darimana dia mendapatkan tiket dengan
mudahnya?’ membatin.
"That
was a Fairytale" terkanya setelah merebut headset-ku dan
memasang benda itu di telinga kanannya. Walau kesal, aku mencoba masuk dalam
permainannya. Terserah.
"Iya,
That was a Fairytale. Kayak kita" kataku acuh sambil memejamkan
mata lagi.
"Fairytale
ya?" tanyanya pada diri sendiri, seakan tak memerlukan jawaban dari
siapapun.
Sekitar
pukul 13.30 WIB, bis mulai melaju dengan kencang. Membelah jalanan Bandung yang
tidak terlalu padat di tengah terik. Kami masih terdiam, berkutat dengan
pikiran masing-masing.
Satu
jam kemudian aku melepas headset itu. Bara melirik, sebenarnya dari tadi
aku sama sekali tidak berniat mendengarkan musik. Hanya mengisi waktu luang di
tengah canggung dan lamunan. Lama-kelamaan aku kesal sendiri, apalagi musik
yang terakhir adalah lagu yang pernah Bara nyanyian di hari ulang tahunku empat
bulan lalu.
"Kenapa
ke Semeru?" tanya pria itu memecah keheningan. Pertanyaan yang tepat, aku
memang berniat mendaki gunung yang terkenal setelah launching-nya film 5
cm. itu.
"Lagi
jenuh sama Bandung" jawabku hambar.
"Sama
Bandung?" tanyanya lagi. Aku diam.
"Kenapa
gak jenuh sama aku?"
"Aku
jenuh, hanya tidak bisa pergi " jawabku datar.
“Kenapa?”
“Tidak
tahu, cinta mungkin” jawabku sekenanya.
Bara
melepas headset-nya, menatapku yang sibuk memperhatikan wajah jalanan.
Bias bayangannya bisa tergambar cukup jelas di kaca di hadapanku, mungkin
terpantul oleh cahaya matahari siang yang cukup terang.
"Aku
cinta sama kamu, Nay. Tapi cinta itu apa?" aku terbelalak dengan
pertanyaannya, sudah satu tahun sejak dia terakhir kali mengucapkan kata itu di
depanku. Selama ini dia hanya bilang 'sayang', tidak pernah lagi yang lain, dan
itu juga yang membuatku akhir-akhir ini menarik kesimpulan kalau hubungan kami
hanyalah cinta sepihak.
Aku
menyandarkan kepalaku di punggung kursi, memejamkan mata lelah.
"Cinta
itu mengasihi tanpa alasan, mungkin" jawabku datar. Aku tidak mau melihat
ekspresi Bara saat mendengarnya, jadi memutuskan untuk tetap menutup mata.
"Lantas
kesetiaan itu apa?", pertanyaan selanjutnya. Aku menarik nafas panjang,
berusaha tidak menangis.
"Tetap
menunggu walau tahu orang yang ditunggu akan telat atau tidak pernah datang
sama sekali". Bara diam, tidak ada kata apapun sekitar lima menit.
"Kenapa
kamu masih bertahan, Nay?". Aku memegang kepalaku yang tiba-tiba sakit
saat menerawang sosok Bara. Membayangkan tawa renyahnya saat kami mendaki
Semeru dua tahun lalu. Saat itu kami masih bahagia, dan dia tidak pernah
sedingin satu tahun terakhir ini.
"Entahlah,
mungkin aku terlalu cinta hingga tidak tahu cara untuk marah karena curiga. Mungkin
juga aku terlalu setia hingga tidak tahu cara untuk meninggalkan. Kamu aneh,
seperti sebuah puzzle yang tidak pernah bisa kusatukan, karakter yang
tidak bisa kutebak. Tapi aku cinta, itu sa__” ucapanku terpotong saat sesuatu
mengunci bibirku.
Mataku
terbuka, kaget. Pria itu menciumku tiba-tiba, dan ini adalah ciuman kami yang
pertama. Selama dua tahun ini aku memang selalu berperan sebagai anak baik,
seperti bocah SMA yang lugu dan hanya berpegangan tangan saat pacaran. Tapi ini
pencurian! Aku tidak pernah menginginkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar