Minggu, 15 November 2015

Bara Cinta Shanaya #2


Chapter 2
 The First Kissing

"Jogja, Jogja"
"Solo-Bandung, Solo-Bandung"
"Kebumen, Kebumen"
"Mojokerto...." beberapa kenek seakan bersahutan menjajakan nama-nama kota yang menjadi trayeknya.
Siang yang terik di Kota Bandung. Matahari seakan membakar kulit manusia tanpa pandang bulu. Tak peduli pria, wanita, atau anak-anak. Mengenakan atasan berlengan pendek atau panjang. Akhir-akhir ini Parisj Van Java memang panas, mungkin pengaruh kemarau yang dibawa angin timur dari Benua Australia yang kering.
Sesekali aku mengipaskan koran yang kubeli beberapa menit lalu. Ya, sebenarnya tujuanku membeli lembaran kertas ini bukan untuk bahan bacaan, tapi untuk mengipasi tubuh yang kegerahan dan dibanjiri keringat. Kebetulan hari ini aku lebih memilih pergi ke Terminal Caheum dan menunggu bis, ketimbang memanaskan mobil pribadi lantas pergi menambah kemacetan beberapa kota besar yang akan kulewati menuju Malang.
Entah apa yang sedang kupikirkan, namun kejadian semalam membuatku muak dengan kota ini. Rasanya ingin beranjak sebentar dan melupakan semuanya.
Tadi malam aku sukses dipermainkan oleh nasib dan perasaan. Opera Tuhan terjadi kepadaku, aku menunggu seseorang dengan bodohnya selama 4,5 jam. Dan saat pria itu datang, aku hanya mampu berkata 'tidak apa' lantas pergi menahan tangis.
Namanya Bara, pria itu. Memang tidak selalu menghadiahkan tawa, malah terlalu banyak memberi kecewa. Namun sayangnya aku sama sekali tidak membenci atau berniat pergi dari hidupnya. Bodoh!
Aku membuka air mineral yang sedari tadi hanya sebagai hiasan carrier. Membiarkannya mengalir secara lembut di kerongkongan yang kering. Aku memejamkan mataku yang sembab karena menangis semalaman, menikmati keriuhan yang terjadi di sekelilingku. Hampa.
-oo0oo-
"Mau kemana?" tanya seorang pria mengagetkan, suara yang kukenal!
"Gak kemana-mana" jawabku ketus tanpa melirik orang itu.
"Kok bawa carrier segala?"
"Mau aja". Kemudian sejenak hening.
"Kok bisa disini?" tanyaku heran.
"Mau aja" jawab pria itu menirukan gaya bicaraku
"Ish, ngapain sih kesini?" aku memukulnya dengan gulungan koran.
Dia meringis, "Ini kan tempat umum, Nay". Sekali lagi aku hendak memukulnya, tapi kemudian dia memegang tanganku, erat.
Dia melirik koran yang kupegang, mengambilnya dengan paksa. Lantas membuka beberapa halaman sampai menemukan yang dia cari.
"Ini yang ngebuat aku telat tadi malam". Dia menunjukkan sebuah artikel yang menjadi headline news. Ada gambar sebuah stalaktit di dalamnya, benda alami yang bergantung di atap gua itu nampak berkilau terkena flash kamera, mungkin. Kemudian judul berita itu ditulis dengan font yang cukup besar, terbaca ‘Menelusuri Pesona Bawah Tanah Kampung Guha Cidolog’.
"Terus?" tanyaku menantang.
"Maaf, Nay". Aku menarik nafas panjang, memejamkan mata dan berusaha tidak peduli.
Hening kembali, lima menit kemudian aku baru sadar apa yang sedang aku tunggu.
"Oh iya, aku pergi ya"
"Kemana?"
"Nonton opera awan" ucapku sembarang. Aku berdiri dan memakai carrier-ku, mengencangkan setiap ikatannya tanpa memperdulikan Bara.
"Malang?" tanya pria itu ragu. Aku hanya menatapnya dingin, tak menjawab kemudian bergegas menuju bis yang kupesan via online. Melewatinya begitu saja.
"Aku ikut" kata-kata itu tidak cukup untuk menghentikan langkahku, toh dia juga tidak punya tiket. Itu pasti hanya omong kosong.
-oo0oo-
Aroma khas air conditioner menyengat ke dalam hidung. Aku memilih duduk di bangku kedua dari belakang, duduk dekat jendela sebelah kanan bis. Memakai headset, memejamkan mata, dan bersenandung pelan mengikuti irama yang menggema di telinga.
"Taylor Swift lagi?" seseorang bertanya dengan mencabut headset dari telinga kiriku. Mataku terbelalak heran, ‘darimana dia mendapatkan tiket dengan mudahnya?’ membatin.
"That was a Fairytale" terkanya setelah merebut headset-ku dan memasang benda itu di telinga kanannya. Walau kesal, aku mencoba masuk dalam permainannya. Terserah.
"Iya, That was a Fairytale. Kayak kita" kataku acuh sambil memejamkan mata lagi.
"Fairytale ya?" tanyanya pada diri sendiri, seakan tak memerlukan jawaban dari siapapun.
Sekitar pukul 13.30 WIB, bis mulai melaju dengan kencang. Membelah jalanan Bandung yang tidak terlalu padat di tengah terik. Kami masih terdiam, berkutat dengan pikiran masing-masing.
Satu jam kemudian aku melepas headset itu. Bara melirik, sebenarnya dari tadi aku sama sekali tidak berniat mendengarkan musik. Hanya mengisi waktu luang di tengah canggung dan lamunan. Lama-kelamaan aku kesal sendiri, apalagi musik yang terakhir adalah lagu yang pernah Bara nyanyian di hari ulang tahunku empat bulan lalu.
"Kenapa ke Semeru?" tanya pria itu memecah keheningan. Pertanyaan yang tepat, aku memang berniat mendaki gunung yang terkenal setelah launching-nya film 5 cm. itu.
"Lagi jenuh sama Bandung" jawabku hambar.
"Sama Bandung?" tanyanya lagi. Aku diam.
"Kenapa gak jenuh sama aku?"
"Aku jenuh, hanya tidak bisa pergi " jawabku datar.
“Kenapa?”
“Tidak tahu, cinta mungkin” jawabku sekenanya.
Bara melepas headset-nya, menatapku yang sibuk memperhatikan wajah jalanan. Bias bayangannya bisa tergambar cukup jelas di kaca di hadapanku, mungkin terpantul oleh cahaya matahari siang yang cukup terang.
"Aku cinta sama kamu, Nay. Tapi cinta itu apa?" aku terbelalak dengan pertanyaannya, sudah satu tahun sejak dia terakhir kali mengucapkan kata itu di depanku. Selama ini dia hanya bilang 'sayang', tidak pernah lagi yang lain, dan itu juga yang membuatku akhir-akhir ini menarik kesimpulan kalau hubungan kami hanyalah cinta sepihak.
Aku menyandarkan kepalaku di punggung kursi, memejamkan mata lelah.
"Cinta itu mengasihi tanpa alasan, mungkin" jawabku datar. Aku tidak mau melihat ekspresi Bara saat mendengarnya, jadi memutuskan untuk tetap menutup mata.
"Lantas kesetiaan itu apa?", pertanyaan selanjutnya. Aku menarik nafas panjang, berusaha tidak menangis.
"Tetap menunggu walau tahu orang yang ditunggu akan telat atau tidak pernah datang sama sekali". Bara diam, tidak ada kata apapun sekitar lima menit.
"Kenapa kamu masih bertahan, Nay?". Aku memegang kepalaku yang tiba-tiba sakit saat menerawang sosok Bara. Membayangkan tawa renyahnya saat kami mendaki Semeru dua tahun lalu. Saat itu kami masih bahagia, dan dia tidak pernah sedingin satu tahun terakhir ini.
"Entahlah, mungkin aku terlalu cinta hingga tidak tahu cara untuk marah karena curiga. Mungkin juga aku terlalu setia hingga tidak tahu cara untuk meninggalkan. Kamu aneh, seperti sebuah puzzle yang tidak pernah bisa kusatukan, karakter yang tidak bisa kutebak. Tapi aku cinta, itu sa__” ucapanku terpotong saat sesuatu mengunci bibirku.
Mataku terbuka, kaget. Pria itu menciumku tiba-tiba, dan ini adalah ciuman kami yang pertama. Selama dua tahun ini aku memang selalu berperan sebagai anak baik, seperti bocah SMA yang lugu dan hanya berpegangan tangan saat pacaran. Tapi ini pencurian! Aku tidak pernah menginginkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar