Minggu, 15 November 2015

Bara Cinta Shanaya #4


Chapter 4
Payung dan Batu

Aku memperhatikan lukisan di depanku dengan seksama, sepertinya ada banyak hal yang belum kuketahui tentang Bara.
"Belum makan malam kan?" tanya seseorang mengagetkanku. Aku berbalik, Bara!
"Belum, kan tadi ada yang mau ngajak jalan. Kali aja dikasih makan malam juga"
"Hahaha. Berarti emang mau ya diajak jalan?" pertanyaan pria itu lebih terkesan seperti ejekan. Terserah.
"Ya udah, ayo!"
Bara tidak benar-benar mengajakku jalan-jalan dengan ontel. Benar kan? Omong kosong!
Dia melesatkan sebuah Ninja hijau yang dipinjamnya dari Ibu Jawa. Maklum, Bara sama sekali tidak membawa apapun dari Bandung. Mungkin hanya sebuah tas kecil dan baju wartawan yang dipakainya saja.
Pria itu melesatkan motornya membelah Kota Malang yang dingin, entah kemana. Beberapa saat kemudian kami sampai di tempat tujuannya. Sebuah rumah makan panggung dengan gaya bangunan khas Jawa.
Bara melempar senyum kepada wanita yang selanjutnya kuterka adalah pemilik rumah makan itu, aku mengikuti, dan wanita itu membalas senyuman kami.
Kami diantar menuju lantai dua, ke sebuah ruangan khusus yang sepertinya memang dirancang untuk makan malam berdua. Tapi yang aku herankan sejak kapan pria ini menghangat? Apa dia merasa bersalah karena kejadian semalam? Atau angin timur yang kering mencairkan bongkahan-bongkahan es dalam hatinya? Entah.
"Waw, keren!" seruku girang melihat pemandangan yang disajikan restoran panggung ini.
Bara tersenyum menang, "Itu Kota Batu, Nay. Indah kan? Kayak kamu" aku tercengang mendengarnya.
"Ish, kenapa sih kamu?" menjitaknya.
"Aww"
Aku berjinjit memegang dagunya lantas memasang mata jahat."Kesambet apa?".
"Ruh Shanaya", aliran panas mengalir dengan cepat di tubuhku. Tatapan Bara lebih dalam, seperti tatapan yang dia berikan empat tahun lalu saat kami pertama kali bertemu di rumah sakit. Tatapan yang pernah membuatku sangat jatuh cinta.
"Gila!" dengan canggung aku mengalihkan perhatian pada pemandangan tadi.
Aku tidak lagi mendengarkannya, sibuk menumpang dagu dan menggumam salut. Yang aku ingat dari Google, Kota Batu dan Malang memang berdekatan, dan saling melengkapi.
"Kamu tahu gak, Nay?" tanya Bara tiba-tiba.
"Malang sama Bandung punya banyak persamaan".
"Oya?" aku balik bertanya, heran.
"Malang mendapat julukan Kota Bunga dan Bandung Kota Kembang. Malang dan Bandung juga sama-sama terletak di sebuah cekungan purba yang terbentuk di masa lampau". Aku melirik pria itu, tapi dia malah sibuk dengan Kota Batu-nya.
"Terus?"
"Terus mereka juga punya julukan asing yang hampir mirip. Bandung adalah Parijs van Java, sedangkan Malang adalah Parijs van East Java". Kami terdiam sesaat, hening.
"Bara!" dia menoleh. "Maksud aku, terus emang siapa yang nanya? Lagian orang kita lagi di Batu kok, bukan di Malang"
"Ish, ini anak!" celanya kesal.
Makanan yang kami pesan datang, seorang pelayan muda berwajah ayu-lah yang mengantarnya. Dalam hati aku bersyukur karena Bara bukan seorang mata keranjang, mungkin?
Kami melahap makanan itu tanpa suara, beberapa kali aku melirik keluar pintu yang memang dibiarkan terbuka, mencegah pandangan negatif oranglain. Melirik orang-orang di luar yang sedang lesehan dan sesekali terbahak ria.
Oh iya, nama kawasan ini Payung, tempat barisan rapi rumah makan menyuguhkan pemandangan kota saat didekap kelam. Di Bandung juga ada tempat seperti ini, namanya Punclut. Tempat yang cocok untuk memandang Kota Kembang dari ketinggian.
Suasana kota di malam hari ternyata memang sangat menawan. Titik lampu warna-warni terlihat seperti aksesoris mungil yang menghias wajah kota dengan manis.
Sungguh malam di Payung yang indah. Sesekali aku juga melirik Bara, heran. ‘Tidak biasanya orang itu begini’ dan hanya bergumam dalam hati.
Kami mulai membicarakan kenangan-kenangan kami saat mendaki bersama teman-teman pecinta alam lainnya. Pendakian ke Semeru dua tahun lalu, Rinjani setahun lalu, dan pendakian-pendakian sederhana lainnya.
Malam semakin larut, Bara mengajakku pulang. Tanpa sadar aku malah tertidur sepanjang jalan dan melupakan semua pertanyaan tadi siang.
Samar-samar aku membayangkan Payung dan Batu hidup. Dua tempat yang berbeda, si tinggi dan si rendah yang saling mencintai. Batu sejuk karena paru-paru hijau dan air kasih dari Payung, dan Payung ada karena Batu akan indah dipandang dari ketingian. Walau keduanya berkisah tentang Batu, Payung tidak mengeluh kepada Tuhan ataupun berniat ingin pergi. Dia diam, setia, entah bodoh sepertiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar