Chapter 4
Payung dan Batu
Aku
memperhatikan lukisan di depanku dengan seksama, sepertinya ada banyak hal yang
belum kuketahui tentang Bara.
"Belum
makan malam kan?" tanya seseorang mengagetkanku. Aku berbalik, Bara!
"Belum,
kan tadi ada yang mau ngajak jalan. Kali aja dikasih makan malam juga"
"Hahaha.
Berarti emang mau ya diajak jalan?" pertanyaan pria itu lebih terkesan
seperti ejekan. Terserah.
"Ya
udah, ayo!"
Bara
tidak benar-benar mengajakku jalan-jalan dengan ontel. Benar kan? Omong kosong!
Dia
melesatkan sebuah Ninja hijau yang dipinjamnya dari Ibu Jawa. Maklum, Bara sama
sekali tidak membawa apapun dari Bandung. Mungkin hanya sebuah tas kecil dan
baju wartawan yang dipakainya saja.
Pria
itu melesatkan motornya membelah Kota Malang yang dingin, entah kemana.
Beberapa saat kemudian kami sampai di tempat tujuannya. Sebuah rumah makan panggung
dengan gaya bangunan khas Jawa.
Bara
melempar senyum kepada wanita yang selanjutnya kuterka adalah pemilik rumah
makan itu, aku mengikuti, dan wanita itu membalas senyuman kami.
Kami
diantar menuju lantai dua, ke sebuah ruangan khusus yang sepertinya memang dirancang
untuk makan malam berdua. Tapi yang aku herankan sejak kapan pria ini
menghangat? Apa dia merasa bersalah karena kejadian semalam? Atau angin timur
yang kering mencairkan bongkahan-bongkahan es dalam hatinya? Entah.
"Waw,
keren!" seruku girang melihat pemandangan yang disajikan restoran panggung
ini.
Bara
tersenyum menang, "Itu Kota Batu, Nay. Indah kan? Kayak kamu" aku
tercengang mendengarnya.
"Ish,
kenapa sih kamu?" menjitaknya.
"Aww"
Aku
berjinjit memegang dagunya lantas memasang mata jahat."Kesambet
apa?".
"Ruh
Shanaya", aliran panas mengalir dengan cepat di tubuhku. Tatapan Bara
lebih dalam, seperti tatapan yang dia berikan empat tahun lalu saat kami
pertama kali bertemu di rumah sakit. Tatapan yang pernah membuatku sangat jatuh
cinta.
"Gila!"
dengan canggung aku mengalihkan perhatian pada pemandangan tadi.
Aku
tidak lagi mendengarkannya, sibuk menumpang dagu dan menggumam salut. Yang aku
ingat dari Google, Kota Batu dan Malang memang berdekatan, dan saling
melengkapi.
"Kamu
tahu gak, Nay?" tanya Bara tiba-tiba.
"Malang
sama Bandung punya banyak persamaan".
"Oya?"
aku balik bertanya, heran.
"Malang
mendapat julukan Kota Bunga dan Bandung Kota Kembang. Malang dan Bandung juga
sama-sama terletak di sebuah cekungan purba yang terbentuk di masa
lampau". Aku melirik pria itu, tapi dia malah sibuk dengan Kota Batu-nya.
"Terus?"
"Terus
mereka juga punya julukan asing yang hampir mirip. Bandung adalah Parijs van
Java, sedangkan Malang adalah Parijs van East Java". Kami terdiam sesaat,
hening.
"Bara!"
dia menoleh. "Maksud aku, terus emang siapa yang nanya? Lagian orang kita
lagi di Batu kok, bukan di Malang"
"Ish,
ini anak!" celanya kesal.
Makanan
yang kami pesan datang, seorang pelayan muda berwajah ayu-lah yang
mengantarnya. Dalam hati aku bersyukur karena Bara bukan seorang mata
keranjang, mungkin?
Kami
melahap makanan itu tanpa suara, beberapa kali aku melirik keluar pintu yang
memang dibiarkan terbuka, mencegah pandangan negatif oranglain. Melirik
orang-orang di luar yang sedang lesehan dan sesekali terbahak ria.
Oh iya,
nama kawasan ini Payung, tempat barisan rapi rumah makan menyuguhkan
pemandangan kota saat didekap kelam. Di Bandung juga ada tempat seperti ini,
namanya Punclut. Tempat yang cocok untuk memandang Kota Kembang dari
ketinggian.
Suasana
kota di malam hari ternyata memang sangat menawan. Titik lampu warna-warni
terlihat seperti aksesoris mungil yang menghias wajah kota dengan manis.
Sungguh
malam di Payung yang indah. Sesekali aku juga melirik Bara, heran. ‘Tidak
biasanya orang itu begini’ dan hanya bergumam dalam hati.
Kami
mulai membicarakan kenangan-kenangan kami saat mendaki bersama teman-teman
pecinta alam lainnya. Pendakian ke Semeru dua tahun lalu, Rinjani setahun lalu,
dan pendakian-pendakian sederhana lainnya.
Malam
semakin larut, Bara mengajakku pulang. Tanpa sadar aku malah tertidur sepanjang
jalan dan melupakan semua pertanyaan tadi siang.
Samar-samar
aku membayangkan Payung dan Batu hidup. Dua tempat yang berbeda, si tinggi dan
si rendah yang saling mencintai. Batu sejuk karena paru-paru hijau dan air
kasih dari Payung, dan Payung ada karena Batu akan indah dipandang dari
ketingian. Walau keduanya berkisah tentang Batu, Payung tidak mengeluh kepada
Tuhan ataupun berniat ingin pergi. Dia diam, setia, entah bodoh sepertiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar