Minggu, 15 November 2015

Bara Cinta Shanaya #3


Chapter 3
Bertemu Ibu Jawa

Bis yang membawa kami melabuhkan dirinya di terminal Kota Malang. Aku menarik nafas panjang, memang sedari tadi ini yang ingin aku lakukan. Keluar dari keheningan!
Jadi selama beberapa jam tadi aku diam seribu bahasa, tidak ingin berbincang sedikit pun dengan Bara. Entah kenapa, rasanya muak sekali dengan sikapnya yang tiba-tiba menciumku tadi sewaktu bis kami masih melanglang di Kota Kembang.
Aku berusaha menggeser pria itu untuk keluar dari tempat duduknya, hingga aku juga bisa keluar dengan mudah. Aku berdiri dan mengambil carrier-ku, kemudian memasangnya kembali dengan kuat.
"Nay, kamu mau kemana?" tanyanya dengan wajah tidak berdosa. Aku memicingkan mataku, menggerutu dalam hati.
"Bukan urusan kamu!" jawabku ketus hendak berlalu, namun Bara menarik bagian belakang carrier dengan seringai khasnya, membuatku hilang keseimbangan dan hampir terjatuh kalau tidak ia tahan.
Aku menatapnya tajam, kesal dan marah.
"Ish, aku gak suka sama tatapan kamu yang ini, Nay" dia menaruh dua jempolnya di atas kelopak mataku. Perlahan, suasana menjadi hening. Ada aliran aneh dalam dadaku, debaran yang tidak menentu. Tiba-tiba jempol Bara bergetar, dia melepaskan kunciannya, lalu suasana menjadi kikuk dan kami salah tingkah.
"Aku udah pesan penginapan yang cocok buat kita. Ayo!" dia merangkul bahuku dengan lengan kanannya. Kuncian lengan kekar itu jelas tidak memberi celah untuk kabur.
Kami turun dari bis dan Bara memanggil seorang supir taksi, pria berkumis tebal itu lantas mengantarkan kami ke tempat yang disebutkan oleh Bara. Sebuah tempat yang dengan fasih dia katakan, lengkap dengan nomor rumah dan warna catnya.
-oo0oo-
Tiga puluh menit berlalu. Pak Agus, nama supir taksi yang aku tahu dari pembicaraannya dengan Bara, memarkirkan taksinya di halaman sebuah rumah tradisional yang nampak anggun dengan cat cokelat dan pekarangannya yang luas.
Setelah membayar, Bara membawa carrier-ku dari bagasi. Kemudian berjalan santai menuju beranda rumah yang terbuat dari kayu itu.
Aku masih terdiam di pekarangannya, memperhatikan tingkah Bara yang slenge’an. Pria berambut ikal itu menaruh carrier di kursi santai milik si pemilik rumah. Sedangkan aku hanya melongo heran saat dia mulai mengetuk pintu dan memanggil seseorang dengan panggilan 'ibu'.
"Iya sebentar" teriak si pemilik rumah dari dalam.
"Nay, sini!" teriak Bara sambil melambaikan tangannya ke arahku. Aku menggelengkan kepala, kemudian pria itu menghampiri dan menarikku ke beranda tadi.
Pintu dibuka, sosok itu lantas terlihat jelas. Seorang wanita Jawa yang anggun berdiri tepat di depan kami, kira-kira usianya sama dengan Mamaku di Bandung.
"Aduh, Nak. Kok kesini gak bilang-bilang ibu dulu" gerutu lembut Ibu Jawa itu dengan logat khasnya.
"Iya bu, sengaja biar kejutan" pria disampingku menyeringai. Aku menatapnya kesal, karena setahuku dia hanya penguntit yang tidak pernah berniat sama sekali untuk pergi ke Malang!
"Ya udah, ayo masuk dulu". Bara lagi-lagi menarik tanganku, mungkin dia pikir aku tidak berhati sampai tega membiarkan Ibu Jawa itu mengoceh sendiri tanpa digubris.
Kami duduk di ruang tamunya, Ibu Jawa lalu pamit ke belakang untuk mengambil minum dan beberapa cemilan. Aku hanya melirik keadaan sekitar. Sampai tiba-tiba mataku terbelalak melihat lukisan seorang bayi laki-laki lucu tengah digendong oleh Ibu Jawa itu. Anehnya, Ibu Jawa itu tidak sendiri tapi berpose dengan seorang pria muda yang nampak familiar, mirip ayahnya Bara.
"Kemarin ibu ke Bandung" Ibu Jawa memulai pembicaraan. Aku melempar senyum kepadanya dengan sedikit merengkuh, khas Indonesia, mungkin.
"Terus ibu ke rumah, niatnya mau nengok kamu. Tapi kata Ratih, kamunya lagi sibuk kerja di Sukabumi. Ya jadinya ibu pulang aja soalnya masih ada urusan di Malang yang belum selesai". Aku seperti mendengar sebuah percakapan berbahasa Prancis, tidak mengerti maksud pembicaraannya. Tapi aku kenal Ibu Ratih, dia ibunya Bara.
"Iya gak apa-apa bu, Bara ngerti kok. Oh iya, gimana sakit ibu? Udah baikan?" tanya Bara cemas.
"Udah baikan kok, Nak. Cuma kata dokter ibu masih harus check-up rutin ke rumah sakit. Nak, cah ayu ini siapa toh?". Kembali, aku tersenyum kepada wanita pemilik mata teduh itu.
"Ini Shanaya, bu. Calon istri Bara" jawabnya santai. Aku menatapnya jahat, bukan so' berakting seperti cerita dalam novel dan drama, tapi aku memang menginjak kakinya, kesal. Dia hanya meringis, tidak berteriak.
"Eng.... Enggak kok bu, Bara bercanda. Saya teman kuliahnya" ucapku membela dengan nada seramah mungkin.
"Iya, temen kuliah sekaligus pacar dan calon suami"
"Iiiiih kamu!" aku menjewer telinga kanannya. Kemudian dia memegang tanganku, menatap lekat.
Beberapa detik kemudian Ibu Jawa itu berdehem, lalu aku memergokinya tengah menertawakan kami. Spontan saja aku garuk-garuk kepala tidak gatal.
"Aku serius" kata-kata itu membuatku bingung. Tiba-tiba saja telingaku berdenging, tak mau dengar.
"Iya, aku serius mau nikahin Shanaya, bu". Ibu Jawa itu menatapku, beberapa saat kemudian sebuah busur senyuman terbingkai manis di wajahnya.
"Ya udah, sekarang kalian istirahat dulu ya". Wanita setengah baya yang kujuluki Ibu Jawa itu mengantarku ke sebuah kamar, yang katanya boleh kutempati selama tinggal di Malang.
"Ini kamar adiknya Bara, namanya Nadia" tiba-tiba saja ibu itu menatapku nanar. Mengelus kepalaku, lantas butiran bening keluar dari mata teduhnya.
"Kata Bara, kamu mirip sama adiknya". Aku hanya menatapnya heran.
'Sejak kapan Bara punya adik?'
'Terus Ibu Jawa ini sebenarnya siapa?'
'Jadi, Ibu Ratih dan Nadia juga siapa?'
Sebenarnya banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan, tapi tidak berani sekarang. Beliau terkesan sangat sedih, aku jadi takut akan memperkeruhnya suasana.
"Yo wes lah, kamu istirahat aja ya, Nak. Pasti capek" dia tersenyum hangat dan aku membalasnya.
Setelah ibu itu pergi, aku mulai merebahkan tubuhku dan mengingat semua kejadian hari ini. Mulai dari kedatangan Bara yang tiba-tiba di ruang tunggu terminal, ciuman itu, Ibu Jawa, lantas sekarang Nadia. Kepalaku semakin pening saja, apalagi mata sembabku yang semalam belum sepenuhnya hilang.
'Jadi, sebenarnya siapa Bara itu?'
Tiba-tiba ponselku bergetar, ada pesan BBM yang masuk.
"Lagi mikirin aku?" , dari layar itu tertulis nama Bara Pratama.
"IYA!!"
"Pasti kangen?"
"Ge-er! Ketemu yuk, ada yang mau aku omongin"
"Tuh kan kangen"
"Nggak ih!"
"Itu pengen ketemu"
"Ya udah gak jadi :P"
"Istirahat aja dulu, nanti malam aku ajak keliling Malang pake ontel"
"Gak niat!"
Percakapan itu berakhir. Senja perlahan memainkan opera manisnya. Semburat oranye merangsek masuk melalui jendela tua di kamar baruku. Hening, hingga akhirnya aku terlelap di pangkuan Sang Kelam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar