Minggu, 15 November 2015

Bara Cinta Shanaya #1


Chapter 1
Menangis Saat Hujan

Aku melihat seekor kucing berbulu legam tengah menatap jendela dengan sendu. Mungkin dia juga tengah meresapi senandung dan gertakan hujan dari kaca di hadapannya. Aku tidak melihatnya menangis, hanya diam seribu bahasa. Seperti tengah menunggu sesuatu yang telah lama ia rindukan, sepertiku?
Aku melihat ke dinding atas kafe, jam kodok berwarna hijau muda tengah menjulurkan lidahnya tanda berganti jam. Aku menarik nafas panjang, sudah dua jam menunggu tanpa kepastian. Ingin sekali pergi dan marah karenanya. Tapi entah mengapa, nama dan kenangan bersamanya selalu membuatku terpaku di tempat saat harus menunggunya datang terlambat.
Tapi ini keterlaluan, dia mengacuhkanku selama dua jam tanpa kabar. Bahkan aku tidak yakin akan ada yang sesabar ini menunggu. Eh aku ralat, aku tidak yakin akan ada yang sebodoh ini untuk terus menunggu.
Namanya Bara, dia seorang pria tinggi dengan rambut ikal sebahu dan mata coklat karamel yang indah, kekasihku selama dua tahun ini. Selain kuliah, setahun belakangan dia disibukkan dengan pekerjaannya sebagai penulis dan wartawan lepas di salah satu media cetak terkemuka di Indonesia. Hobi dan tugasnya adalah mengisi rubrik khusus mengenai kegiatan alam bebas. Hidup berpetualang dan selalu lupa pulang. Begitupun arti penantian ini. Aku menunggunya, selalu. Dengan embel-embel makan malam setelah sibuk keluar kota mencari berita.
Bara adalah demisioner ketua adat Pecinta Alam di Universitasku. Berbeda dengan namanya, sosok pria ini sangat dingin dan jarang merajuk manis. Bahkan saat aku marah, dia hanya akan menatapku dengan tajam beserta senyum licik. Lantas mencium keningku dengan segera, semena-mena. Dan aku hanya akan diam serta memaafkannya, seakan mengerti kalau pria itu sedang capek dan tidak ingin berdebat. Bodoh, kan?
Ya, dia selalu memainkan matanya tanpa harus berbasa-basi. Pernah satu ketika aku memergokinya tengah digelayuti manja oleh Siska, rekan wartawannya. Aku sangat marah, membanting pintu kerjanya dan pergi. Kemudian Bara mengerjarku, dan dia hanya berteriak dari kejauhan. Saat itu hujan juga turun dengan deras, jadi teriakannya harus berlomba dengan teriakan hujan yang memekik.
"Shanaya, pergilah jika kamu tidak percaya padaku. Aku tidak akan memaksa", tantangnya datar lalu berbalik. Aku berhenti, entah kenapa kakiku waktu itu malah mengejarnya. Saat itu aku hanya mampu memeluknya lalu menangis. Mencoba mempercayai kesetiaannya. Bara memang pria yang aneh, dan aku lebih aneh lagi karena selalu memaafkannya.
Detik berganti menit, dan menit berlari mengejar jam. Sudah empat jam, pukul 23.00 WIB. Kucing hitam yang kulihat dua jam lalu sudah pergi, mungkin dia tidak sabar menunggu lantas minggat dan mencari pasangan baru. Entahlah.
Aku berkemas, memasukan handphone dan buku catatanku ke dalam tas. Sudah berdiri, namun duduk lagi karena masih ingin menunggunya. Seorang pelayan melihatku dengan tatapan iba, mungkin ia sadar dengan kebodohan yang kulakukan.
Dua puluh menit lagi, 23.20 WIB. Jalanan Bandung nampak sepi. Beberapa pelanggan juga sudah pulang, mungkin merindu selimut dan bantal guling yang terkesan sangat hangat di tengah hujan. Aku menghela nafas panjang, berat menahan marah dan rasa kantuk.
"Neng, sebentar lagi kami akan tutup" pelayan tadi mengagetkanku.
"Oh iya pak, setengah jam lagi ya" pintaku lemas.
"Iya, silahkan".
Aku memandang lagi kaca kafe yang nampak blur tersiram air hujan sepanjang malam. Tak kuasa menahan malu, pada diri sendiri, aku menutup wajah dengan kedua telapak tanganku. Bulir-bulir kecewa menetes pelan, pilu.
"Maaf", aku kenal suara itu. Sebelum dia lebih sadar, aku menghapus air mataku. Memasang wajah tegar, berusaha untuk menenangkan pita suaraku yang biasanya kalau sedang sedih akan bergetar saat dibunyikan. Dan aku tidak mau terlihat cengeng.
Aku melihatnya berdiri tegap di depanku, dengan kamera dan pakaian khas seorang wartawan. Ada tatapan menyesal dari iris cokelat terang itu, tapi aku sangat lelah untuk mengerti.
"Tidak apa" ucapku datar, lantas berusaha tersenyum sekuat hati. Aku mengambil tas tangan di sampingku, lantas pergi melewatinya.
Aku tebak, dia tidak akan pernah mengejarku. Seperti biasa, menunggu hari besok untuk meminta maaf dan menyelesaikan permasalahan. Tapi itu keterlaluan? Memang! Sayangnya aku selalu memaafkannya.
"Shanaya" aku terdiam di mulut pintu saat Bara memanggilku dengan suara tegasnya.
"Pergilah jika kau jenuh dan kecewa, tapi aku benar-benar minta maaf" lanjutnya. Aku berbalik tidak percaya. Kenapa dia selalu menyuruhku pergi? Tidak bisakah berterimakasih karena sudah kutunggu selama beberapa jam!
Aku keluar menantang hujan, tak kuasa berjalan lalu terduduk dan menangis. Sebenarnya aku sangat menyukai hujan, menangis saat hujan tidak akan membuat kita lemah. Karena air hujan akan terlihat sama beningnya dengan air mata.
Aku sangat kecewa kepada Tuhan karena telah membuatku sangat mencintainya. Kepalaku pening dan aku hanya bisa menangis sejadi-jadinya, namun tiba-tiba sebuah payung menaungi dan membuatku kehilangan hujan untuk berteman.
"Jangan berlomba dengan langit, menangislah sendiri" ucap Bara meledek.
Entah apa yang kupikirkan, aku meruntuhkan hati kokoh tadi. Menangis lagi, lebih keras. Tidak peduli pria ini akan mentertawakanku atau tidak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar