Chapter 1
Menangis Saat Hujan
Aku
melihat seekor kucing berbulu legam tengah menatap jendela dengan sendu.
Mungkin dia juga tengah meresapi senandung dan gertakan hujan dari kaca di
hadapannya. Aku tidak melihatnya menangis, hanya diam seribu bahasa. Seperti
tengah menunggu sesuatu yang telah lama ia rindukan, sepertiku?
Aku
melihat ke dinding atas kafe, jam kodok berwarna hijau muda tengah menjulurkan
lidahnya tanda berganti jam. Aku menarik nafas panjang, sudah dua jam menunggu
tanpa kepastian. Ingin sekali pergi dan marah karenanya. Tapi entah mengapa,
nama dan kenangan bersamanya selalu membuatku terpaku di tempat saat harus
menunggunya datang terlambat.
Tapi
ini keterlaluan, dia mengacuhkanku selama dua jam tanpa kabar. Bahkan aku tidak
yakin akan ada yang sesabar ini menunggu. Eh aku ralat, aku tidak yakin akan
ada yang sebodoh ini untuk terus menunggu.
Namanya
Bara, dia seorang pria tinggi dengan rambut ikal sebahu dan mata coklat karamel
yang indah, kekasihku selama dua tahun ini. Selain kuliah, setahun belakangan
dia disibukkan dengan pekerjaannya sebagai penulis dan wartawan lepas di salah
satu media cetak terkemuka di Indonesia. Hobi dan tugasnya adalah mengisi
rubrik khusus mengenai kegiatan alam bebas. Hidup berpetualang dan selalu lupa
pulang. Begitupun arti penantian ini. Aku menunggunya, selalu. Dengan
embel-embel makan malam setelah sibuk keluar kota mencari berita.
Bara
adalah demisioner ketua adat Pecinta Alam di Universitasku. Berbeda dengan
namanya, sosok pria ini sangat dingin dan jarang merajuk manis. Bahkan saat aku
marah, dia hanya akan menatapku dengan tajam beserta senyum licik. Lantas
mencium keningku dengan segera, semena-mena. Dan aku hanya akan diam serta
memaafkannya, seakan mengerti kalau pria itu sedang capek dan tidak ingin berdebat.
Bodoh, kan?
Ya, dia
selalu memainkan matanya tanpa harus berbasa-basi. Pernah satu ketika aku
memergokinya tengah digelayuti manja oleh Siska, rekan wartawannya. Aku sangat
marah, membanting pintu kerjanya dan pergi. Kemudian Bara mengerjarku, dan dia
hanya berteriak dari kejauhan. Saat itu hujan juga turun dengan deras, jadi
teriakannya harus berlomba dengan teriakan hujan yang memekik.
"Shanaya,
pergilah jika kamu tidak percaya padaku. Aku tidak akan memaksa",
tantangnya datar lalu berbalik. Aku berhenti, entah kenapa kakiku waktu itu
malah mengejarnya. Saat itu aku hanya mampu memeluknya lalu menangis. Mencoba
mempercayai kesetiaannya. Bara memang pria yang aneh, dan aku lebih aneh lagi
karena selalu memaafkannya.
Detik
berganti menit, dan menit berlari mengejar jam. Sudah empat jam, pukul 23.00
WIB. Kucing hitam yang kulihat dua jam lalu sudah pergi, mungkin dia tidak
sabar menunggu lantas minggat dan mencari pasangan baru. Entahlah.
Aku
berkemas, memasukan handphone dan buku catatanku ke dalam tas. Sudah berdiri,
namun duduk lagi karena masih ingin menunggunya. Seorang pelayan melihatku
dengan tatapan iba, mungkin ia sadar dengan kebodohan yang kulakukan.
Dua
puluh menit lagi, 23.20 WIB. Jalanan Bandung nampak sepi. Beberapa pelanggan
juga sudah pulang, mungkin merindu selimut dan bantal guling yang terkesan
sangat hangat di tengah hujan. Aku menghela nafas panjang, berat menahan marah
dan rasa kantuk.
"Neng,
sebentar lagi kami akan tutup" pelayan tadi mengagetkanku.
"Oh
iya pak, setengah jam lagi ya" pintaku lemas.
"Iya,
silahkan".
Aku
memandang lagi kaca kafe yang nampak blur tersiram air hujan sepanjang malam.
Tak kuasa menahan malu, pada diri sendiri, aku menutup wajah dengan kedua
telapak tanganku. Bulir-bulir kecewa menetes pelan, pilu.
"Maaf",
aku kenal suara itu. Sebelum dia lebih sadar, aku menghapus air mataku.
Memasang wajah tegar, berusaha untuk menenangkan pita suaraku yang biasanya
kalau sedang sedih akan bergetar saat dibunyikan. Dan aku tidak mau terlihat
cengeng.
Aku
melihatnya berdiri tegap di depanku, dengan kamera dan pakaian khas seorang
wartawan. Ada tatapan menyesal dari iris cokelat terang itu, tapi aku sangat
lelah untuk mengerti.
"Tidak
apa" ucapku datar, lantas berusaha tersenyum sekuat hati. Aku mengambil
tas tangan di sampingku, lantas pergi melewatinya.
Aku
tebak, dia tidak akan pernah mengejarku. Seperti biasa, menunggu hari besok
untuk meminta maaf dan menyelesaikan permasalahan. Tapi itu keterlaluan?
Memang! Sayangnya aku selalu memaafkannya.
"Shanaya"
aku terdiam di mulut pintu saat Bara memanggilku dengan suara tegasnya.
"Pergilah
jika kau jenuh dan kecewa, tapi aku benar-benar minta maaf" lanjutnya. Aku
berbalik tidak percaya. Kenapa dia selalu menyuruhku pergi? Tidak bisakah
berterimakasih karena sudah kutunggu selama beberapa jam!
Aku
keluar menantang hujan, tak kuasa berjalan lalu terduduk dan menangis. Sebenarnya
aku sangat menyukai hujan, menangis saat hujan tidak akan membuat kita lemah.
Karena air hujan akan terlihat sama beningnya dengan air mata.
Aku
sangat kecewa kepada Tuhan karena telah membuatku sangat mencintainya. Kepalaku
pening dan aku hanya bisa menangis sejadi-jadinya, namun tiba-tiba sebuah
payung menaungi dan membuatku kehilangan hujan untuk berteman.
"Jangan
berlomba dengan langit, menangislah sendiri" ucap Bara meledek.
Entah
apa yang kupikirkan, aku meruntuhkan hati kokoh tadi. Menangis lagi, lebih
keras. Tidak peduli pria ini akan mentertawakanku atau tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar