Kamis, 16 Juli 2015

My First Rain Kissing

Kau ternyata tidak sekedar mengajariku bagaimana mengatur nominal uang itu dan memasukannya ke dalam sebuah jurnal, tapi lebih dari itu ! Tanpa sengaja kau mengajari jantung ini sebuah irama kacau tak beralur. Irama yang belakangan ini selalu kurasakan kala dekat denganmu, berbarengan dengan nafas yang tiba-tiba sesaat mata kita bertemu.

Hari ini sama seperti biasanya, kita bertemu di taman kota 3 kali dalam seminggu. Kau mengajariku bagaimana strategi mendapatkan medali emas dalam olimpiade bulan depan.

"Kak, aku boleh nanya sesuatu ?" ucapku terbata karena takut menanyakannya.
"Silahkan Far, kamu mau tahu tentang apa ?" jawabmu dengan senyuman ramah.

Aku terdiam, merangkai kata yang pas untuk disampaikan.

"Kakak masih pacaran sama Kak Anita ?" spontan aku menunduk menghindari tatapanmu.

Dari sudut mata kulihat kau sibuk membereskan buku-buku di hadapanmu. Perasaan kacau menghantuiku, aku menyesal tlah menanyakannya.

"Kita masih pacaran Far" aku menatapmu dengan tatapan yang entah bagaimana. Marah ? Kurasa hatiku begitu, karena sakitnya cukup terasa.

"Tapi sayangnya aku mulai suka sama oranglain. Rasa muakku pada sifat Anita-lah yang membuatku jadi begitu".

"Siapa cewek itu kak ?" mataku membulat mengharapkan jawabannya.

Tiba-tiba terdengar suara petir yang cukup keras dan hujan gerimis mulai turun membasahi bumi. Kau menarikku untuk berteduh, di bawah sebuah pohon yang rindang. Kita tidak sempat berlari ke tempat yang lebih layak, dan tidak sempat juga menyelamatkan buku-buku yang dibawa.

Hujan turun semakin deras, kau menarikku lebih dekat agar air hujan tidak menyentuhku sedikitpun.

Bodoh ! Jantungku berdebar lebih kencang, aku tidak suka kondisi seperti ini. Mata kita sempat bertemu lantas dialihkan, aku sadar kita berdua gugup satu sama lain.

"Emmm soal yang tadi, apa kamu masih penasaran siapa cewek yang aku maksud ?" tanyamu mencairkan suasana.

"Oh, a-aku terserah kakak sih. Mau cerita boleh, nggak juga gak apa-apa". Seperti biasa, aku menjawab pertanyaan orang suka diselingi senyuman. Ekh, tapi dia menatapku lebih lekat. Sontak aku mengalihkan pandangan ke arah hujan.

"Dia, adalah orang yang menyukai rintik hujan". Nalarku yang bodoh berharap kau menyebutkan namaku. Aku lantas menggeleng-gelengkan kepala mengusir pemikiran itu.

"Dia juga menyukai dandelion, entah kenapa ? Dia memang aneh, disaat banyak cewek menyukai mawar dan bunga cantik lainnya, dia malah menyukai dandelion. Sajakku tentangnya adalah tentang dandelion. Tentang sebuah bunga mungil di tepi jalan, yang rapuh dan sangat sederhana. Sangat jarang ada orang yang mampu melihat keindahannya. Ya, jarang" aku meliriknya heran, sebenarnya siapa yang dia bicarakan.

"Dia, yang mendambakan kunjungan ke sebuah ladang bertabur dandelion. Dia yang selalu mengkhayal bisa menemukan ladang itu tepat berdampingan dengan sebuah danau. Dia yang menginginkan kencan ke ladang khayalan itu bersama kekasihnya. Dia yang aneh, aneh sekali"

"Bukkkk"
"Kyaaaaaa, kau kenapa ?" tanyamu emosi karena kupukul dengan gulungan buku.

"Siapa yang kakak bicarakan ? Dia nggak aneh tahu, dia cuma berbeda. Emang apa salahnya suka sama hujan, dandelion dan ladang khayalan itu ?". 

Kau melipat kedua tangan di atas perutmu, menatapku dengan tatapan puas dan senyum yang menyebalkan.
"Kakak pikir kakak nggak lebih waras dari aku ?" aku mengalihkan pandangan karena sebal.

"Hey bodoh !"
"Aww !" kau menjitakku dengan sengaja.
"Kau pikir aku membicarakanmu ?" tanyamu puas. 'Iya ya, mati aku kalau ternyata tebakanku salah'.
"Oh itu, aku cuma nebak aja kok"

"Apa kau menginginkannya ?"
"Apa ?"
"Bahwa kamu adalah cewek yang kakak suka"
'Kenapa wajahku tiba-tiba panas begini ?'
"Bahwa kamu juga cewek yang bisa menggantikan posisi Anita". Kau meraih tangan kananku, meletakkannya di dadamu.

"Disini, kakak merasakan detak itu. Detak yang tidak biasa saat dekat denganmu. Detak yang kakak rasa itu cinta".
Aku larut dalam suasana, hujan tetap mendendangkan senandung romantiknya.

'Beginikah ciuman pertamaku akan dimulai ? My first rain kissing ?'
Aku menutup mataku, lalu tak terasa mulai menangis, merasa bersalah pada Kak Anita. Ya, seharusnya aku tidak merebut siapapun dari kekasihnya. Cinta memang tidak bisa disalahkan, tapi harusnya aku juga bisa mengontrol perasaanku sendiri !

Sepertinya menyadari tangisku, kau memegang kepala dan hanya mencium keningku.

"Maafkan kakak, Far". Lantas kau pergi membelah tirai hujan, meninggalkanku dengan rasa bersalah dan kebingungan. Apa yang bisa kulakukan lagi saat itu selain menangis ? Aku mulai menanyakan alasan Tuhan membuatku jatuh cinta padamu dalam kondisi begini.

Perjalanan Hidup


Manis dan pahitnya cinta telah kurasakan
Pahit getirnya kehidupan telah kualami
Susah senang kubertahan demi si buah hati yang menjadi tumpuan
Bila esok tiada cerah lagi mungkin mendung kan datang
Bila hujan membasahi bumi maka daun pun tumbuh kembali
Bila kerinduan datang ke hati selalu kucoba ‘ntuk hindari
(TDS)

Entah


Bilakah hati terjalin kasih
Sungguh duka pun terasa suka
Bilakah sakit yang aku rasakan
Sungguh kau pun merasa sedih
Cukup sudah kualami
Rasa rindu yang menggelora
Saat hati mulai bicara, kau bisikkan kata mesra untukku
Kembali kita rasakan bersama
Cinta yang saling menyapa antara dua hati yang terjalin sejak lama
Biarkan cinta selalu melangkah
Dalam gerakan hati dan kaki
(TDS)

28 Juni, tanpa tahun


Ingin aku membuang rasa kecewa yang terus menyiksaku
Di setiap kita bertemu ada perasaan aneh yang membuat aku lepas kendali dan mengungkap perasaan yang ada
Sungguh aku sangat kecewa pada nasibku ini
Meski kuharus mencoba untuk sabar dan menerima nasib yang Tuhan berikan
Mungkin ini yang terbaik untukku dan semuanya
(TDS)

6 Januari 2002


“Hari ini ada rasa marah di hati sebab kau tak pedulikan perasaanku, padahal kaupun tahu itu”
Terlalu Pagi
Barulah kumengerti
Setelah kusadari
Bahwa kita berdua, masih terlalu muda
Banyak sesal di hati, tak ada kedamaian
Mengapa kuharus begini, kemana mesti harus pergi
Tak ingin kukembali lagi, pada orangtua yang sudah membenciku dari bercinta dulu
Apakah orangtua atau kita berdua
Sehingga kita tak bahagia
(TDS)

4 Agustus 2002


Wanita dalam Terali Hitam
Apakah aku tidak pantas untuk mendapat bahagia
Apakah aku tidak pantas untuk tahu dunia luar
Aku tahu dan mengerti semua yang ada di sekitarku
Meski aku diam tapi bukan berarti aku tidak tahu
Aku mengalah karena nasib, bagiku cinta hanya datang sekali
Tapi kasih sayang tumbuh dari hati sanubariku yang paling dalam
Yang sulit aku ungkapkan dengan perasaan
Hanya kesepian yang selalu setia menemaniku dan hanya kerinduan yang selalu membuatku menangis
Haruskah aku lari…lari…dan lari…
Pergi jauh meninggalkan semua yang aku punya
Lepas dari tanggungjawab yang selama ini menjadi beban dalam hidupku
Tapi apakah setelah itu aku bahagia?
Mungkin ya… mungkin juga tidak…
Mungkin jawaban yang pastinya ada pada hatiku sendiri
(TDS)

31 Agustus 2002


Wanita mana yang takkan terluka
Bila pasangannya mengkhianati kepercayaan dan kesetiaan wanita tersebut
Begitu pula aku
Tapi hanya satu yang aku mau
Janganlah kau lupakan kata dan sumpahmu
Karena bila itu terjadi maka bersiaplah terima akibatnya Jangan salahkan mereka disana
Cukup dirimu sendiri yang harus kau tanya
Apakah sikapmu sudah benar padaku?
Jawabannya ada padamu (bukan pada oranglain)
Bagiku kesetiaan dan kasih sayang adalah di atas segalanya
Dan cinta tak pernah pandang perbedaan dan perubahan
Aku hanya menulis yang sebenarnya
Tak ada maksud lain
Kecuali bisikan hati yang selalu ada dalam jiwa, yang menggebu dalam kalbu
(TDS)

28 Juni 2002


Baiknya kau segera melepas aku
Sebelum jauh berjalan dan melangkah pergi
Dengan budimu memandang jernih
Niscaya kau kan tahu dan mengerti
Tiada murni semua maknanya sia-sia semua
Karena aku tak ingin dikasihani
Bukan iba yang aku harapkan
Dengan keadaanku seperti ini
Kuyakin masih ada harapan
Di luar sana masih ada cinta dan kasih yang tulus adanya
Bukan sandiwara karena aku sangat ingin cinta dan kasih sayang yang sebenarnya
Aku yang berduka akan nasibku sendiri
(TDS)

24 Agustus 2002


Namun perasaan kecewa tetap ada
Antara rasa cemburu dan curiga
Terus menyiksa dalam dada
Sungguh aku terlalu… hingga membuat dirimu bangga
Bahwa kau sangat dibutuhkan
Meski kutahu bahwa diriku tak seperti dulu
Tapi bukankah cinta tak memandang perbedaan ataupun perubahan
Rela kumendapatkan semua walau tanpa keputusan yang pasti
(TDS)

26 Januari 2002


Lelah hati ini menanti cinta yang tak pasti
Jauh sudah perjalananku
Cinta dalam dada membuat lara
Rindukan dirimu membuatku menangis
Biarkanlah hujan badai menghalangi cinta ini
Biarkanlah kusimpan rinduku hanya untukmu
Selamanya
Harus kuakui cinta tak selamanya memiliki
Namun engkau selalu membayangiku
(TDS)

Rabu, 15 Juli 2015

20 April 2002


Baiknya segera kau melepas aku
Sebelum lebih jauh dirimu terjatuh
Kini kusadar begitu saja mengimbangi segenap perhatianmu
Baiknya kujelaskan dasar alasan walau menyakitimu, imbalan itu walau kuharus bermanis muka dalam rasa iba bersemukan cinta
Dengan budimu memandang jernih, niscaya kau sadar apa yang telah terjadi
Cinta punyamu iba dariku
Tiada murni maknanya sia-sia semua
Coba pahami kau kan setuju kita berpisah tanpa menyakiti
Biarlah waktu yang mengurai keputusan terbaik yang pernah kita cipta
(TDS)

11 Desember 2002

Lima belas Agustus 93
Pertama kita jumpa, dan kau terus membeli perhatianku
Dengan segala cara kau meyakinkan aku untuk menjadi pengobat luka hatimu
Dan berjanji kan menjadikan aku sebagai pendamping dalam hidupmu
Sampai musibah itu terjadi, kumulai sayang padamu, mulai mencintai kami
Tapi aku juga tak bisa ‘melupakan’ dia yang terlalu baik padaku
Namun takdir menentukan lain aku hanya milik “dia” dan menjadi pendampingnya
Waktu itu kumarah padamu, karena kata-katamu yang menyinggung perasaanku hingga kulari ke pelukan ”dia” dan menjadi istrinya
Walau sebenarnya kutak bisa melupakanmu

(TDS)

1 Juni 2002

Saat kumulai merasakan kasih terhadapmu
Dan mulai menanamkan rasa percaya
Saat terlanjur diri ini tak sendiri lagi
Kau pun mulai mengkhianatiku sama seperti yang kau lakukan dulu
Dengan kata-katamu yang menyejukkan hati
Mendamaikan jiwa, kau menghiburku
Dan aku pun terlena sejenak tanpa sadar apa yang tengah terjadi
Tapi perasaan wanita terkadang lain adanya
Dan kini kurasakan kau tak jujur padaku
Tak sayang terhadap anak-anakmu
Biarlah kini kutempuh jalanku sendiri
Meski pahit kurasakan dan getir kau berikan
Mungkin berpisah lebih baik agar tiada yang menghalangi jalan hidupmu

(TDS)

Realita Hidup

Caci maki saja diriku
Jika itu bisa membuatmu kembali ke masa indah yang tak bisa dilupakan
Terlalu cepat ditinggalkan, sulit kubayangkan
Kalaulah memang kau lupakan segala yang telah terjadi
Bagiku pengorbanan dalam cinta adalah segala-galanya
Bagai penghargaan yang tak dapat dihitung nilainya
Sungguh aku mengharap kata darimu
Bukan janji-janji indah yang dapat menghancurkan hidupku
Bahkan masa depanku yang hampir saja hilang
Lenyap ditelan perubahan zaman

(TDS)

Siasat Cinta

Bila hati ini mulai bicara
Mulut tak perlu berkata
Bila jiwa telah melihat
Mata tak perlu melirik
Hasrat hati pada yang lain
Apa daya tali mengikat
Sungguh suatu kehormatan
Apabila orang yang dicintai memperhatikan
Tapi sungguh kesialan
Apabila si jantung hati tak mau peduli

(TDS)

Rabu, 01 Juli 2015

Benih Cinta (2a) #6


“Sarah, Sarah, Saraaaaaah” aku bergegas mendengar teriakan itu.
Ternyata Harak mengigau, tubuhnya demam dan berkeringat. Aku mulai panic dan bergegas untuk mengompresnya dengan air hangat.
“Sabar ya Harak, semua akan baik-baik saja” ucapku cemas.
“Sarah, Sarah, aku mohon jangan pergi lagi. Aku kesepian, Sarah, Sarah”. Tiba-tiba tanganku beku, rasanya tidak bisa digerakkan. Apa mungkin cinta Harak pada Sarah memang sebesar itu? Entahlah, rasanya sakit mendengarnya.
“Bi, Bibi!” Aku memanggil seorang asisten rumah tangga untuk menggantikanku merawat Harak. Ya, aku tidak tahan dipanggil sebagai Sarah terus-menerus dalam igauannya.
“Iya non?”
“Kamu tolong urus tuan dengan baik, saya mau siapin mobil dulu”
“Maaf non, kenapa tidak sama Pak Ibnu saja?”
“Gak usah, saya sendiri yang bakal mengantar tuan”. Entah mengapa rasa panas di demamnya menjalar ke tanganku. Sekaligus dengan rasa sakit karena tak pernah dianggap bahkan dalam tidut dan lemahnya sekalipun.

“Jangan pergi”. Sontak aku menoleh pada tangan yang baru saja meraihku, Harak menangis dalam tidurnya.
Aku mencoba melepaskan genggamannya, namun malah semakin kuat.

“Jangan pergi, kumohon jangan pergi”. Aku melirik Bi Tarsih namun dia mengelus dadanya sendiri, menyuruhku untuk bersabar. Ya, Bi Tarsih dan Pak Ibnu sudah seperti orangtua penggantiku. Merekalah yang merawat dan mendengar keluhanku saat ayah dan ibu sibuk mencari penghidupan yang lebih mewah. Mereka juga yang tau jelas kisah cintaku dengan Harak, kisah yang tidak pernah ada awalnya. Kisahku sendiri.

Malam itu aku merawat Harak sampai demamnya benar-benar turun. Ya, aku berhasil. Dia akhirnya bisa tidur dengan nyenyak.
“Semoga aku tidak hadir di mimpimu malam ini” lirihku sepi. Aku meninggalkannya untuk pergi ke kantor. Berangkat lebih awal agar Harak tidak harus melihatku sepagi ini, mungkin itu akan mempercepat penyembuhannya.
*****
"Kriiiiiiiiiiing”, alarm hp-ku berbunyi.
“Harak?” aku kaget bukan main saat melihat pria itu di depanku.
"Ke kenapa kamu disini? Kamu k kan masih sakit" ucapku terbata-bata.
"Cih, apa menurutmu aku masih bisa tidur nyenyak saat semua orang kantor meneleponku untuk menggantikanmu bertemu klien dari Amerika pagi ini?". Kata-kata kasarnya membuatku menepuk dahi.
"Oh iya, aku lupa! Maafkan aku Harak".
"Dan kau dengan santainya tidur di ruang petugas kebersihan setelah semalaman berpesta di club". Aku menggeleng kepala tidak percaya, dari mana dia dengar kabar bohong seperti itu.
"Aku bisa jelaskan semuanya, Harak".
"Tidak usah, itu mungkin hanya akan menambah rasa benciku padamu". Harak kemudian pergi, dan kata-katanya seperti biasa (berhasil mencolok mataku hingga berair).
Kami pulang bersama karena aku lupa menyimpan kunci mobilku dimana. Perjalanan motor yang menyiksa, suasana malam yang dingin, gelap dan sepi. Bahkan dia dengan percaya dirinya tidak menanyakan mata sembab yang dia buat di wajahku. Aku juga tidak berani memeluknya, hanya menarik sedikit ujung bajunya untuk keseimbangan.
"Kita mau kemana?" tanyaku heran saat Harak menghentikan motornya tiba-tiba. Alunan musik berdetak kencang dari tempat itu, kami berhenti di sebuah bar!
"Aku harus ketemu seseorang sebentar".
"Di tempat seperti ini?" tanyaku menyudutkan.
"Diam saja di luar, aku akan cepat kembali". Harak masuk tanpa menghiraukanku.
Lima belas menit berlalu, dia tak juga kembali. Aku mulai merasa risih dengan dua lelaki bermata keranjang di seberang jalan. Setelah Harak masuk, keduanya keluar dan mulai saling berbisik dan memperhatikanku.
'Harak, kamu dimana?' tanyaku membatin. Kedua pria tadi menghampiriku, "hai cantik, abis pulang ngantor?" tanya pria yang lebih pendek dan brewokan.
"Sombong sekali", ledek pria botak disampingnya setelah kuacuhkan.
"Biarkan, bang. Yang sombong kayak gini emang selalu bikin gemas. Kamu mau masuk, cantik?" tawar pria pendek tadi. Aku turun dari motor Harak, jantungku mulai berdetak ketakutan.
"Pergi kalian!" ucapku lantang.
"Aih, aih. Kamu kok makin cantik ya kalau udah ngomong. Gitu dong sayang. Sini datang ke abang". Si pendek merentangkan tangannya untuk memelukku. Tiba-tiba saja kata-kata mereka berdenging keras. Pandanganku kabur, hingga yang bisa kulakukan hanya terduduk, menangis, dan meminta tolong.
Seseorang datang di waktu yang tepat dan mengusir dua pria hidung itu dengan tinjunya, setidaknya begitu yang kudengar.
"Kamu gak apa-apa, Ge?". Begitu melihat Harak aku langsung memeluknya ketakutan.
"Aku takut, Harak". Tubuh Harak terasa kaku dan tidak membalas pelukanku.
"Aku takut mereka", beberapa saat kemudian Harak mengusap

Boneka Mainan

Rintik hujan terus-menerus menampar permukaan bumi, menyadarkan sang bumi akan ke-khilafannya yang ternyata disaksikan langit sepanjang waktu. Sepi, hanya makian air langit yang terdengar. Sedangkan aku dan dia hanya terdiam seribu bahasa.

Kita berkutat dengan pikiran sendiri, saling menyimpan keluh di dalam batin. Jujur saat itu aku sangat marah hingga tak bisa lagi meneriakkan kemarahanku. Aku kecewa hingga tak bisa lagi menangis saking lelahnya. Bisa-bisanya dia berkencan dengan wanita lain tepat di hari pernikahan kami yang pertama.

Aku jadi membayangkan masa-masa SMA dulu, masa saat hanya akulah yang mengejar dan mencintai. Sedangkan dia, sama sekali tidak melirikku.

Apakah ini sebuah hukuman? Tuhan memberikannya dengan dua syarat yang tidak bisa dibilang ringan. Pertama, dia tidak pernah bisa mencintaiku karena pada intinya pernikahan ini terjadi hanya karena uang. Kedua, aku harus selalu bersabar dengan sikapnya yang selalu berganti wanita di hadapanku. Tapi apa aku tidak berhak untuk marah? Aku juga berhati dan berakal ! Cinta memang kejam, membakar tangan si pemegangnya.

“Kamu marah Ge ?” tanyanya dengan nada terkesan sinis.
“Apa aku harus menegaskannya ? Ini hati, bukan batu” jawabku datar dengan tetap menatap tarian hujan.
“Hhhhh !” terdengar dengus merendahkan keluar dari mulutnya.

“Aku pikir kamu harus mulai ngaca dengan seksama deh Ge. Kok bisa ya kamu gak nyadar kalau hati kamu itu keras atau nggak. Bahkan yang aku tau, hati kamu itu lebih keras dibandingkan sama batu manapun”.
Aku menatapnya tajam, “Cukup Harak ! Jangan mendebatku !”, aku menghardik.

“Oh iya aku lupa, aku kan gak lebih dari sebuah boneka yang kamu beli saat pemiliknya terjepit keadaan”. Teriakan Harak mengingatkanku pada Sarah (kekasih sekaligus istri pertama Harak).
*****
Ya, dia benar ! Aku memang membelinya. Saat itu Sarah menderita kanker serviks stadium lanjut. Sarah tidak pernah menceritakannya kepada Harak, bahkan aku lebih awal tau daripada suaminya itu. Sungguh, rasa cintaku kepada Harak tidak pernah berkurang sedikit pun. Aku bahkan berjuang membuat kehidupan Sarah dan Harak menderita, dengan harapan akhir Harak akan menyerahkan dirinya kepadaku. Namun sepertinya takdir mengenai penyakit Sarah sangat mendukungku.

Akhirnya Harak tau penyakit apa yang tengah menggerogoti raga istrinya. Perlahan-lahan dia mulai menjual saham-saham perusahaannya, menjadi bangkrut dan kehilangan banyak harta benda yang berharga. Tanpa dia tau, akulah yang membeli semua yang telah ia jual. Rupanya kecintaanku kepada Harak telah menjadi ambisi bahkan obsesi. Saat mereka kesusahan, aku datang dengan tujuan menawarkan bantuan. Mereka tidak perlu membayar uang yang telah aku berikan, cukup Harak yang harus membayarnya dengan cara ‘menikahiku’ saja.

Seketika Sarah menangis dan Harak mengusirku dengan makian. Namun kondisi Sarah semakin kritis, dia harus segera mendapat bantuan medis yang lebih serius dan lebih mahal tentunya. Mereka tidak memiliki uang sedikit pun, Harak akhirnya datang menemuiku. Kami menikah, lantas setelah pernikahan kami sah aku baru mentransfer-kan biaya operasi itu ke rekeningnya. Kami tidak langsung bulan madu, dia bahkan tidak menganggapku sebagai mempelai wanitanya. Dia langsung ke rumah sakit sesaat setelah uang itu sampai di rekeningnya. Sarah langsung dioperasi hari itu juga. Tanpa Harak tau, sekeras apa pun hati yang kumiliki. Aku bahkan juga menangis saat resepsi pernikahanku hanya dihadiri oleh satu mempelai. Aku menangisi semua kebodohan dan rasa cintaku kepadanya.

Anak buahku memberi kabar kalau ternyata Sarah tidak mampu bertahan saat operasi itu berlangsung. Dia meninggal. Sejak saat itu Harak hanya berpikir kalau dia adalah boneka mainan yang kusimpan rapi di rumahku. Aku menyuruhnya tidur di sampingku, dia menurut tapi tidak pernah menghadapkan wajahnya kepadaku. Dia bahkan selalu menatapku dengan kejam, seakan jijik dengan semua yang telah kulakukan pada hidupnya.
*****
“Jika kamu pikir aku hanya menganggapmu sebagai boneka maka diamlah selayaknya boneka mainan biasa. Jangan pernah memaki majikan yang telah membelimu karena aku bisa saja menginjak boneka itu hingga rusak dan tidak bisa bergerak lagi”. Harak mungkin tidak akan pernah mengerti rasa sakit ini.

“Sebenarnya aku bahkan jijik sama kamu, Ge. Tapi ini semua tentang janji. Aku gak pernah bisa melanggar perjanjian dengan oranglain, sekalipun dengan orang selicik kamu. Sekarang permainan apalagi yang ingin kamu mainkan ?” tanya Harak dengan nada mencela, sama seperti biasa.

‘Mau apalagi ? Aku hanya mau ampunan kamu, Harak” batinku.
“Antar aku pulang, aku capek”. Dia mengikuti apa yang kusuruh, mobil yang ia kendalikan melesat membelah tirai hujan dengan sadis. Kami pulang ke sangkar emas yang kuciptakan untuk memeliharanya. Memelihara ? Andai dia tau kalau aku tidak pernah berniat seperti itu. Tapi apa daya, cinta ini telah membungkus rasioku dengan sangat apik.