Rabu, 01 Juli 2015

Benih Cinta (2a) #6


“Sarah, Sarah, Saraaaaaah” aku bergegas mendengar teriakan itu.
Ternyata Harak mengigau, tubuhnya demam dan berkeringat. Aku mulai panic dan bergegas untuk mengompresnya dengan air hangat.
“Sabar ya Harak, semua akan baik-baik saja” ucapku cemas.
“Sarah, Sarah, aku mohon jangan pergi lagi. Aku kesepian, Sarah, Sarah”. Tiba-tiba tanganku beku, rasanya tidak bisa digerakkan. Apa mungkin cinta Harak pada Sarah memang sebesar itu? Entahlah, rasanya sakit mendengarnya.
“Bi, Bibi!” Aku memanggil seorang asisten rumah tangga untuk menggantikanku merawat Harak. Ya, aku tidak tahan dipanggil sebagai Sarah terus-menerus dalam igauannya.
“Iya non?”
“Kamu tolong urus tuan dengan baik, saya mau siapin mobil dulu”
“Maaf non, kenapa tidak sama Pak Ibnu saja?”
“Gak usah, saya sendiri yang bakal mengantar tuan”. Entah mengapa rasa panas di demamnya menjalar ke tanganku. Sekaligus dengan rasa sakit karena tak pernah dianggap bahkan dalam tidut dan lemahnya sekalipun.

“Jangan pergi”. Sontak aku menoleh pada tangan yang baru saja meraihku, Harak menangis dalam tidurnya.
Aku mencoba melepaskan genggamannya, namun malah semakin kuat.

“Jangan pergi, kumohon jangan pergi”. Aku melirik Bi Tarsih namun dia mengelus dadanya sendiri, menyuruhku untuk bersabar. Ya, Bi Tarsih dan Pak Ibnu sudah seperti orangtua penggantiku. Merekalah yang merawat dan mendengar keluhanku saat ayah dan ibu sibuk mencari penghidupan yang lebih mewah. Mereka juga yang tau jelas kisah cintaku dengan Harak, kisah yang tidak pernah ada awalnya. Kisahku sendiri.

Malam itu aku merawat Harak sampai demamnya benar-benar turun. Ya, aku berhasil. Dia akhirnya bisa tidur dengan nyenyak.
“Semoga aku tidak hadir di mimpimu malam ini” lirihku sepi. Aku meninggalkannya untuk pergi ke kantor. Berangkat lebih awal agar Harak tidak harus melihatku sepagi ini, mungkin itu akan mempercepat penyembuhannya.
*****
"Kriiiiiiiiiiing”, alarm hp-ku berbunyi.
“Harak?” aku kaget bukan main saat melihat pria itu di depanku.
"Ke kenapa kamu disini? Kamu k kan masih sakit" ucapku terbata-bata.
"Cih, apa menurutmu aku masih bisa tidur nyenyak saat semua orang kantor meneleponku untuk menggantikanmu bertemu klien dari Amerika pagi ini?". Kata-kata kasarnya membuatku menepuk dahi.
"Oh iya, aku lupa! Maafkan aku Harak".
"Dan kau dengan santainya tidur di ruang petugas kebersihan setelah semalaman berpesta di club". Aku menggeleng kepala tidak percaya, dari mana dia dengar kabar bohong seperti itu.
"Aku bisa jelaskan semuanya, Harak".
"Tidak usah, itu mungkin hanya akan menambah rasa benciku padamu". Harak kemudian pergi, dan kata-katanya seperti biasa (berhasil mencolok mataku hingga berair).
Kami pulang bersama karena aku lupa menyimpan kunci mobilku dimana. Perjalanan motor yang menyiksa, suasana malam yang dingin, gelap dan sepi. Bahkan dia dengan percaya dirinya tidak menanyakan mata sembab yang dia buat di wajahku. Aku juga tidak berani memeluknya, hanya menarik sedikit ujung bajunya untuk keseimbangan.
"Kita mau kemana?" tanyaku heran saat Harak menghentikan motornya tiba-tiba. Alunan musik berdetak kencang dari tempat itu, kami berhenti di sebuah bar!
"Aku harus ketemu seseorang sebentar".
"Di tempat seperti ini?" tanyaku menyudutkan.
"Diam saja di luar, aku akan cepat kembali". Harak masuk tanpa menghiraukanku.
Lima belas menit berlalu, dia tak juga kembali. Aku mulai merasa risih dengan dua lelaki bermata keranjang di seberang jalan. Setelah Harak masuk, keduanya keluar dan mulai saling berbisik dan memperhatikanku.
'Harak, kamu dimana?' tanyaku membatin. Kedua pria tadi menghampiriku, "hai cantik, abis pulang ngantor?" tanya pria yang lebih pendek dan brewokan.
"Sombong sekali", ledek pria botak disampingnya setelah kuacuhkan.
"Biarkan, bang. Yang sombong kayak gini emang selalu bikin gemas. Kamu mau masuk, cantik?" tawar pria pendek tadi. Aku turun dari motor Harak, jantungku mulai berdetak ketakutan.
"Pergi kalian!" ucapku lantang.
"Aih, aih. Kamu kok makin cantik ya kalau udah ngomong. Gitu dong sayang. Sini datang ke abang". Si pendek merentangkan tangannya untuk memelukku. Tiba-tiba saja kata-kata mereka berdenging keras. Pandanganku kabur, hingga yang bisa kulakukan hanya terduduk, menangis, dan meminta tolong.
Seseorang datang di waktu yang tepat dan mengusir dua pria hidung itu dengan tinjunya, setidaknya begitu yang kudengar.
"Kamu gak apa-apa, Ge?". Begitu melihat Harak aku langsung memeluknya ketakutan.
"Aku takut, Harak". Tubuh Harak terasa kaku dan tidak membalas pelukanku.
"Aku takut mereka", beberapa saat kemudian Harak mengusap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar