Rintik hujan terus-menerus
menampar permukaan bumi, menyadarkan sang bumi akan ke-khilafannya yang
ternyata disaksikan langit sepanjang waktu. Sepi, hanya makian
air langit yang terdengar. Sedangkan aku dan dia hanya terdiam seribu bahasa.
Kita berkutat dengan pikiran
sendiri, saling menyimpan keluh di dalam batin. Jujur saat itu aku sangat marah
hingga tak bisa lagi meneriakkan kemarahanku. Aku kecewa hingga tak bisa lagi
menangis saking lelahnya. Bisa-bisanya dia berkencan dengan wanita lain tepat di
hari pernikahan kami yang pertama.
Aku jadi membayangkan masa-masa
SMA dulu, masa saat hanya akulah yang mengejar dan mencintai. Sedangkan dia,
sama sekali tidak melirikku.
Apakah ini sebuah hukuman? Tuhan memberikannya
dengan dua syarat yang tidak bisa dibilang ringan. Pertama, dia tidak pernah
bisa mencintaiku karena pada intinya pernikahan ini terjadi hanya karena uang.
Kedua, aku harus selalu bersabar dengan sikapnya yang selalu berganti wanita di
hadapanku. Tapi apa aku tidak berhak untuk marah? Aku juga berhati dan berakal
! Cinta memang kejam, membakar tangan si pemegangnya.
“Kamu marah Ge ?” tanyanya
dengan nada terkesan sinis.
“Apa aku harus menegaskannya ?
Ini hati, bukan batu” jawabku datar dengan tetap menatap tarian hujan.
“Hhhhh !” terdengar dengus
merendahkan keluar dari mulutnya.
“Aku pikir kamu harus mulai ngaca dengan
seksama deh Ge. Kok bisa ya kamu gak nyadar kalau hati kamu itu keras atau
nggak. Bahkan yang aku tau, hati kamu itu lebih keras dibandingkan sama batu
manapun”.
Aku menatapnya tajam, “Cukup
Harak ! Jangan mendebatku !”, aku menghardik.
“Oh iya aku lupa, aku kan gak
lebih dari sebuah boneka yang kamu beli saat pemiliknya terjepit keadaan”.
Teriakan Harak mengingatkanku pada Sarah (kekasih sekaligus istri pertama
Harak).
*****
Ya, dia benar ! Aku memang
membelinya. Saat itu Sarah menderita kanker serviks stadium lanjut. Sarah tidak
pernah menceritakannya kepada Harak, bahkan aku lebih awal tau daripada
suaminya itu. Sungguh, rasa cintaku kepada Harak tidak pernah berkurang sedikit
pun. Aku bahkan berjuang membuat kehidupan Sarah dan Harak menderita, dengan
harapan akhir Harak akan menyerahkan dirinya kepadaku. Namun sepertinya takdir
mengenai penyakit Sarah sangat mendukungku.
Akhirnya Harak tau penyakit apa
yang tengah menggerogoti raga istrinya. Perlahan-lahan dia mulai menjual
saham-saham perusahaannya, menjadi bangkrut dan kehilangan banyak harta benda
yang berharga. Tanpa dia tau, akulah yang membeli semua yang telah ia jual.
Rupanya kecintaanku kepada Harak telah menjadi ambisi bahkan obsesi. Saat
mereka kesusahan, aku datang dengan tujuan menawarkan bantuan. Mereka tidak
perlu membayar uang yang telah aku berikan, cukup Harak yang harus membayarnya
dengan cara ‘menikahiku’ saja.
Seketika Sarah menangis dan
Harak mengusirku dengan makian. Namun kondisi Sarah semakin kritis, dia harus
segera mendapat bantuan medis yang lebih serius dan lebih mahal tentunya.
Mereka tidak memiliki uang sedikit pun, Harak akhirnya datang menemuiku. Kami
menikah, lantas setelah pernikahan kami sah aku baru mentransfer-kan biaya
operasi itu ke rekeningnya. Kami tidak langsung bulan madu, dia bahkan tidak
menganggapku sebagai mempelai wanitanya. Dia langsung ke rumah sakit sesaat
setelah uang itu sampai di rekeningnya. Sarah langsung dioperasi hari itu juga.
Tanpa Harak tau, sekeras apa pun hati yang kumiliki. Aku bahkan juga menangis
saat resepsi pernikahanku hanya dihadiri oleh satu mempelai. Aku menangisi
semua kebodohan dan rasa cintaku kepadanya.
Anak buahku memberi kabar kalau
ternyata Sarah tidak mampu bertahan saat operasi itu berlangsung. Dia
meninggal. Sejak saat itu Harak hanya berpikir kalau dia adalah boneka mainan
yang kusimpan rapi di rumahku. Aku menyuruhnya tidur di sampingku, dia menurut
tapi tidak pernah menghadapkan wajahnya kepadaku. Dia bahkan selalu menatapku
dengan kejam, seakan jijik dengan semua yang telah kulakukan pada hidupnya.
*****
“Jika kamu pikir aku hanya
menganggapmu sebagai boneka maka diamlah selayaknya boneka mainan biasa. Jangan
pernah memaki majikan yang telah membelimu karena aku bisa saja menginjak
boneka itu hingga rusak dan tidak bisa bergerak lagi”. Harak mungkin tidak akan
pernah mengerti rasa sakit ini.
“Sebenarnya aku bahkan jijik
sama kamu, Ge. Tapi ini semua tentang janji. Aku gak pernah bisa melanggar perjanjian
dengan oranglain, sekalipun dengan orang selicik kamu. Sekarang permainan
apalagi yang ingin kamu mainkan ?” tanya Harak dengan nada mencela, sama
seperti biasa.
‘Mau apalagi ? Aku hanya mau
ampunan kamu, Harak” batinku.
“Antar aku pulang, aku capek”.
Dia mengikuti apa yang kusuruh, mobil yang ia kendalikan melesat membelah tirai
hujan dengan sadis. Kami pulang ke sangkar emas yang kuciptakan untuk
memeliharanya. Memelihara ? Andai dia tau kalau aku tidak pernah berniat
seperti itu. Tapi apa daya, cinta ini telah membungkus rasioku dengan sangat
apik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar