Rabu, 01 Juli 2015

Boneka Mainan

Rintik hujan terus-menerus menampar permukaan bumi, menyadarkan sang bumi akan ke-khilafannya yang ternyata disaksikan langit sepanjang waktu. Sepi, hanya makian air langit yang terdengar. Sedangkan aku dan dia hanya terdiam seribu bahasa.

Kita berkutat dengan pikiran sendiri, saling menyimpan keluh di dalam batin. Jujur saat itu aku sangat marah hingga tak bisa lagi meneriakkan kemarahanku. Aku kecewa hingga tak bisa lagi menangis saking lelahnya. Bisa-bisanya dia berkencan dengan wanita lain tepat di hari pernikahan kami yang pertama.

Aku jadi membayangkan masa-masa SMA dulu, masa saat hanya akulah yang mengejar dan mencintai. Sedangkan dia, sama sekali tidak melirikku.

Apakah ini sebuah hukuman? Tuhan memberikannya dengan dua syarat yang tidak bisa dibilang ringan. Pertama, dia tidak pernah bisa mencintaiku karena pada intinya pernikahan ini terjadi hanya karena uang. Kedua, aku harus selalu bersabar dengan sikapnya yang selalu berganti wanita di hadapanku. Tapi apa aku tidak berhak untuk marah? Aku juga berhati dan berakal ! Cinta memang kejam, membakar tangan si pemegangnya.

“Kamu marah Ge ?” tanyanya dengan nada terkesan sinis.
“Apa aku harus menegaskannya ? Ini hati, bukan batu” jawabku datar dengan tetap menatap tarian hujan.
“Hhhhh !” terdengar dengus merendahkan keluar dari mulutnya.

“Aku pikir kamu harus mulai ngaca dengan seksama deh Ge. Kok bisa ya kamu gak nyadar kalau hati kamu itu keras atau nggak. Bahkan yang aku tau, hati kamu itu lebih keras dibandingkan sama batu manapun”.
Aku menatapnya tajam, “Cukup Harak ! Jangan mendebatku !”, aku menghardik.

“Oh iya aku lupa, aku kan gak lebih dari sebuah boneka yang kamu beli saat pemiliknya terjepit keadaan”. Teriakan Harak mengingatkanku pada Sarah (kekasih sekaligus istri pertama Harak).
*****
Ya, dia benar ! Aku memang membelinya. Saat itu Sarah menderita kanker serviks stadium lanjut. Sarah tidak pernah menceritakannya kepada Harak, bahkan aku lebih awal tau daripada suaminya itu. Sungguh, rasa cintaku kepada Harak tidak pernah berkurang sedikit pun. Aku bahkan berjuang membuat kehidupan Sarah dan Harak menderita, dengan harapan akhir Harak akan menyerahkan dirinya kepadaku. Namun sepertinya takdir mengenai penyakit Sarah sangat mendukungku.

Akhirnya Harak tau penyakit apa yang tengah menggerogoti raga istrinya. Perlahan-lahan dia mulai menjual saham-saham perusahaannya, menjadi bangkrut dan kehilangan banyak harta benda yang berharga. Tanpa dia tau, akulah yang membeli semua yang telah ia jual. Rupanya kecintaanku kepada Harak telah menjadi ambisi bahkan obsesi. Saat mereka kesusahan, aku datang dengan tujuan menawarkan bantuan. Mereka tidak perlu membayar uang yang telah aku berikan, cukup Harak yang harus membayarnya dengan cara ‘menikahiku’ saja.

Seketika Sarah menangis dan Harak mengusirku dengan makian. Namun kondisi Sarah semakin kritis, dia harus segera mendapat bantuan medis yang lebih serius dan lebih mahal tentunya. Mereka tidak memiliki uang sedikit pun, Harak akhirnya datang menemuiku. Kami menikah, lantas setelah pernikahan kami sah aku baru mentransfer-kan biaya operasi itu ke rekeningnya. Kami tidak langsung bulan madu, dia bahkan tidak menganggapku sebagai mempelai wanitanya. Dia langsung ke rumah sakit sesaat setelah uang itu sampai di rekeningnya. Sarah langsung dioperasi hari itu juga. Tanpa Harak tau, sekeras apa pun hati yang kumiliki. Aku bahkan juga menangis saat resepsi pernikahanku hanya dihadiri oleh satu mempelai. Aku menangisi semua kebodohan dan rasa cintaku kepadanya.

Anak buahku memberi kabar kalau ternyata Sarah tidak mampu bertahan saat operasi itu berlangsung. Dia meninggal. Sejak saat itu Harak hanya berpikir kalau dia adalah boneka mainan yang kusimpan rapi di rumahku. Aku menyuruhnya tidur di sampingku, dia menurut tapi tidak pernah menghadapkan wajahnya kepadaku. Dia bahkan selalu menatapku dengan kejam, seakan jijik dengan semua yang telah kulakukan pada hidupnya.
*****
“Jika kamu pikir aku hanya menganggapmu sebagai boneka maka diamlah selayaknya boneka mainan biasa. Jangan pernah memaki majikan yang telah membelimu karena aku bisa saja menginjak boneka itu hingga rusak dan tidak bisa bergerak lagi”. Harak mungkin tidak akan pernah mengerti rasa sakit ini.

“Sebenarnya aku bahkan jijik sama kamu, Ge. Tapi ini semua tentang janji. Aku gak pernah bisa melanggar perjanjian dengan oranglain, sekalipun dengan orang selicik kamu. Sekarang permainan apalagi yang ingin kamu mainkan ?” tanya Harak dengan nada mencela, sama seperti biasa.

‘Mau apalagi ? Aku hanya mau ampunan kamu, Harak” batinku.
“Antar aku pulang, aku capek”. Dia mengikuti apa yang kusuruh, mobil yang ia kendalikan melesat membelah tirai hujan dengan sadis. Kami pulang ke sangkar emas yang kuciptakan untuk memeliharanya. Memelihara ? Andai dia tau kalau aku tidak pernah berniat seperti itu. Tapi apa daya, cinta ini telah membungkus rasioku dengan sangat apik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar