Rabu, 19 Agustus 2015

Sudut Tanpa Nama

Aku menengok sudut kecil dalam hatiku. Sebuah sudut yang tak lagi tersinari, gelap dan lembap. Sudut yang tak lama kutinggalkan, namun ternyata begitu cepat berdebu dan menjadi lahan hunian yang cocok untuk laba-laba.
Sepertinya baru kemarin aku memutuskan untuk mencintaimu, menyayangimu di posisi ketiga setelah ayah dan ibuku.
Dan sepertinya baru kemarin juga aku memutuskan untuk meninggalkan rasa itu. Rasa yang tidak terlalu penting ada di dalam hidupku. Aku tlah lelah untuk mengejar dan memilih untuk diam dan menunggu.
Waktu tujuh tahun mungkin bukanlah waktu yang singkat, apalagi saat dipakai untuk menunggu. Ayolah, tapi itu perkiraan manusia normal. Tidak akan berlaku untuk pecinta seperti kami, yang selalu bodoh untuk menunggu.
Kemarin juga, kukemas semua kenangan kita ke dalam sebuah kardus besar bertuliskan 'benda pecah' di atasnya. Kuberi ia pelindung yang banyak agar tak bisa lagi terbuka.
(-oo0oo-)
Aku berjalan melintasi setiap lorong dalam otakku. Menatap kosong jalanan dan menggusur kardus itu dengan sebuah penggusur roda yang kupinjam dari tetangga sebelah.
Aku berpikir tentang bagaimana kemungkinannya hidupku kelak. Akankah kutemui sebuah 'bahagia' walau tanpamu. Ayolah, kau tahu? Saat tulus mencintai seseorang, seorang manusia bahkan bisa tertawa lepas sambil menangis. Apalagi saat melihat orang yang dicintainya bersama oranglain, dia tertawa melihat orang itu bahagia, juga menangis menahan sakit.
Langkahku kemudian terhenti saat melihatnya. Sudut kecil paling jauh dari sentral otakku. Sudut yang tidak pernah kutengok karena tidak kuanggap penting.
Aku berjongkok, menatap sudut itu berjam-jam. Kunikmati terlebih dulu semua kenangan itu sebelum benar-benar kutinggalkan.
Kardus 'barang pecah' itu sangat menggoda untuk kubuka lagi. Tidak boleh, tekadku. Aku ingat waktu itu kau pernah memberiku sticker 'tengkorak' berwarna hitam, aku melepaskan perekatnya dan menempelkan benda itu di muka kardus kenangan. Kardus yang jelek sekali.
Dewi Angin seketika bertiup kencang, membelai dan membisikkanku tentang dunia nyata. Aku menyernyitkan dahi, Sang Dewi memaksaku untuk pergi. Beranjak, pergi, melupakan, dan tak pernah kembali.
Aku menarik nafas panjang, berdiri. "Selamat tinggal barang pecah" ucapku puas. Namun titik-titik bening tiba-tiba saja menetes dari sudut mataku.
Menahan tangis, kuletakkan kardus 'barang pecah' di sudut itu. Kuhalangi dengan sebuah white board yang kemudian kucoreti dengan tulisan 'Sudut Tanpa Nama, jangan mendekat! Bahaya'
Kupandangi sekali lagi sudut itu. Ah, aku tidak pernah berpikir akan sesulit ini melepaskan sesuatu. Seperti sebagian nyawaku hilang saja.
Aku mematikan lampu untuk sudut itu. Membiarkannya didekap Tuan Kelam dengan erat. Agar ia tak bisa beranjak menuju retinaku lagi.
Aku berlari ke sudut yang lain, melihat Sudut Tanpa Nama itu dari seberang.
Hujan kemudian turun tiba-tiba, mengelus kepalaku dengan lembut. Aroma tanah menyeruak ke dalam hidungku yang tidak mancung. Hidung ala tropis ini selalu saja termanjakan aroma tanah saat hujan, ini aroma kehidupan dan kematian. Iya, aroma kematian.
Hujan semakin deras dan tangisku pun menjadi. Aku menyukai hujan, dia tidak akan membiarkanku tampak lemah. Hujan dan airmata sama beningnya. Menangislah saat hujan, dan kau tidak akan terlihat tengah menangis. Kau akan tampak kuat.
Kuperhatikan kembali sudut itu. Hujan membuat tatapanku kabur, sudut itu hanya tampak seperti ruang gelap yang menakutkan. Kardus 'benda pecah' pun tak terlihat. Dan dalam kisah ini, aku hanya berperan sebagai pecundang yang rindu membuka kardus itu kembali. Iya, aku pecundang yang memutuskan untuk pergi dari kebahagiaan semu kisah sendiri.
Hari itu biar hujan yang membawa semua sedihku dengan rintiknya. Membersihkan tubuhku dari semua kenangan, membawanya menjadi air tanah yang terjebak di lapisan akuitard. Mengosongkan diri.
(-oo0oo-)
Kunyalakan kembali lampu yang selama ini tertidur pulas. Menggeser white board yang waktu itu kupakai untuk menghalau pandangan.
Deg! Jantungku berdegup kencang, nafasku seakan terhenti. Kardus 'benda pecah' itu terlihat, memantulkan sesuatu yang aneh ke dalam sel otakku, kerinduan.
Aku mendekatinya, melanggar aturan yang tertulis dalam kardus itu. Kemudian membukanya.
Lihat, airmataku menetes lagi. Tapi bukan rasa sakit, aku meyakininya sebagai bahagia. Iya, selama ini ternyata aku salah. Hidup bersama kenangan memang lebih bahagia ketimbang tanpanya. Walau harus menangis setiap kali, aku bersyukur karena masih punya alasan untuk menangis dan tertawa.
Aku meraih kardus itu. Seperti seorang pencuri, dengan setengah berlari aku meninggalkan Sudut Tanpa Nama. Mendekap erat Kardus Barang Pecah, meninggalkan Sudut Tanpa Nama.
"Sudut Tanpa Nama"
(Koba, 19 Agustus 2015 8:19 WIB)
Teruntuk Jihan Marselina Buana yang merasakan :')

Tidak ada komentar:

Posting Komentar