Senin, 14 Desember 2015

Tropus yang Dingin

Namanya Tropus, sebangsa manusia purba yang tidak sengaja masuk mesin waktu dan tersesat di dataran tinggi Bandung pada Abad 21-an.

Aku mengenalnya setahun lalu, tidak sengaja dipertemukan di ladang yang sama, universitas berlabel pendidikan kebumian. Tidak sengaja pula disatukan di kelompok yang sama, jadi mau tidak mau saling berhadapan selama masa kaderisasi.

Kami sering berdebat, percayalah! Aku bahkan sangat membencinya kala itu, hingga kakak pembimbing kami kewalahan untuk mendamaikan. Masa kaderisasi itu usai, kami tidak lagi mendapat jam tambahan untuk bertemu, ya walaupun nyatanya masih berada di bawah satu atap dan waktu yang sama.

Kemudian secara tidak sengaja keinginan kami juga sama, mengikuti pendidikan dasar di organisasi kepecintaalaman yang mengharuskan ikatan persaudaraan yang kuat. "Ah, tidak mungkin bisa" tekanku dalam hati. Tapi ternyata keadaan mengharuskan aku untuk mengalah, kami harus belajar menekan egoisme, tidak berdebat dalam beberapa hal sepele.

Dulu, aku selalu suka membantah opininya. Aku juga suka menunjukkan rasa kesalku secara terang-terangan. Ya, orang itu selalu mengubah mood menjadi sedikit negatif. Tapi itu dulu, sebelum waktu mengajarkanku tentang arti persaudaraan. Dengan sedikit rasa gengsi aku katakan, aku menyayangimu sama seperti kesepuluh orang yang lainnya. Sikap tidak peduli yang seakan mengajak perang dingin, itu sedikit terindukan. Kau aneh, iya!

Tentang Tropus, saudaraku yang aneh.
Tulisan ini hanya bertujuan satu hal, memastikan otakku bahwa kita memang tidak sedang perang dingin. Ini hanya pengakuan bahwa aku menganggapmu saudara yang baik, sekarang. Tetaplah jadi konyol dan lindungi kami dari egoisme yang mematikan.

Itu saja. Jadi, damai kan?
.
.
Dari Kosan yang sedang kacau, siswa no. 4
Senin, 14 Desember 2015 pukul 10.31 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar