Sabtu, 19 September 2015

Seribu Hari Menanti Hujan #3

Namanya Ucrit
Bertemu di persimpangan saat tengah melamun
Kutanya, 'Sedang apa?'
'Menatap langit, kak' jawabnya tidak menoleh
'Memang disana ada apa?' tanyaku heran.
'Tidak ada'
'Lantas apa yang sedang kau perhatikan, adik kecil?'. Semakin heran.
'Tidak ada'
Aku menghela nafas, gemas. 'Bagaimana rasanya?'
'Hampa' ujarnya membungkamku.
'Aku ikut', seketika dia yang balik menatapku heran.
Perlahan bias senyum terukir di wajah lugunya
'Ok' serunya kegirangan.
Senja itu kuputuskan untuk berteman dengannya, menatap langit senja setiap hening.

(Seribu Hari Menanti Hujan - H3)

Aku terdampar di sebuah ruang kelam yang membeku
Tersadar, ternyata beberapa pasang mata menyergapku dengan kilat bengisnya
Aku bertanya, sebenarnya berteriak
'Apa yang kalian mau?'
Mereka menjawab dengan bahasa yang tidak bisa kumengerti
Bisikan yang lebih seperti jeritan memekik
Tiga puluh menit berlalu, mereka hanya mengumpat ke-tidak-mengerti-anku
Hingga seseorang diantara mereka mendekat, dia sosok paling kerdil disana
Pria itu memegang daguku kencang, kemudian berbicara jelas tepat di telingaku
Bahasaku, akhirnya!
Seketika airmukaku mendidih, ternyata mereka menuntut 'makna' dalam sajakku
Aku menciut, malu dan ketakutan
'Tidak bisa, aku bukanlah penyair ulung. Aku hanya bergumam, ampuni aku'
Mereka menatapku dengan tatapan yang lebih bengis
'Ampuni aku, Tuan. Aku bersalah'
Sosok kerdil itu mengambil gadanya, mengacungkan ke udara. Lantas . . . .

(Seribu Hari Menanti Hujan - H3)

Dandelion
Tirai akar
Pohon layang-layang
Senja
Dan kau

(Seribu Hari Menanti Hujan - H3)

Senangnya mencinta, hati terbuai oleh imajinasi tak terbatas

(Seribu Hari Menanti Hujan - H3)
Bandung, 2 September 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar