Minggu, 06 Maret 2016

~_~

[Hutan Lindung Elpeem]

Dengan tatapan percaya diri setengah angkuh, pria itu berjalan menelusuri lorong gelap di depannya. Diawali tarikan nafas panjang dan decih menghina, ia telah lama memangkas sisi kemanusiaannya untuk mengokohkan diri di tengah bumi yang tidak manusiawi.

Langkahnya terhenti,

Tap, tap, tap.
Langkah yang lebih pelan (bahkan seakan berjinjit) berjalan mendekatinya. Tubuhnya waspada, dia menarik pisau yang sedari tadi bertengger dengan gagah di pinggang kirinya.

"Aaaaaa" teriakan itu menggema ke seluruh lorong setelah sabetan pisau dengan licin mengenai lehernya.

Tidak lama kemudian langkah kaki yang lebih banyak terdengar mendekatinya. Pria berambut ikal sebahu itu dengan lincah membunuh pemilik langkah-langkah tadi. Bau amis menyeruak di lorong, pria itu kembali berdecih, merasa puas akan perlawannya.

Dia memulangkan pisau basah itu ke dalam rumahnya lalu melanjutkan langkah terakhirnya yang sempat tertunda.
.
.
.
.
.
[Penjara Manatan]

Sinar matahari merangsek masuk melalui fentilasi udara di kiri atas ruangan. Pria tambun yang sudah tiga tahun dijeruji itu menggeliat malas, hingga seorang sipir penjara memanggilnya dengan teriakan yang memekik.

"Hei, Pak Tua bangunlah! Ada yang ingin bertemu".
"Siapa Sipir?" tanyanya seakan bergumam.

"Dia bilang, dia anakmu". Mata pria tambun itu langsung membulat. Dia sadar siapa yang datang, pria itu langsung berdiri kemudian mengusap wajah tidurnya, menepuk pipinya dengan keras hingga memerah terasa segar.

"Anakku, anakku, anakku...." dia mengulangnya pelan seperti sebuah mantera kemenangan.
.
.
.
Pria tambun itu melihat pemuda di depannya dengan seksama, memperhatikan setiap senti bagian tubuh yang mampu dilihatnya. Walau dibatasi sebuah kaca, pria itu merasa puas dengan pemandangan di depannya_pemuda berambut ikal sebahu yang menatapnya datar,

'Dia selamat', ujarnya dalam batin disertai seringai licik.

"Kau berhasil merenovasi rumah kita, Raka?"
Pemuda di depannya mendelik, ia mengerti setiap kode yang tersirat dari pertanyaan itu.

"Iya, aku bahkan melakukannya sendiri. Anak buah kita terlalu sibuk mengurusi villa-villa yang lain".

"Hahaha" tawa berat pria tambun itu membahana. Merasa puas terhadap laporannya.

"Kau memang anakku, Raka"
"Cih, aku hanya melakukan semuanya demi uang. Bukan karena rasa patuhku pada ayah sepertimu, dasar bajingan!" Raka memalingkan wajahnya ke sisi kanan. Menghindari tatapan tajam seseorang yang dulu sempat ia panggil 'ayah'. Seseorang yang sempat ia kagumi, namun dengan tega berperilaku kotor di depan ibunya_melenggang kesana kemari bersama wanita-wanita malamnya.

"Kau masih membenciku?" pertanyaannya mengambang di udara, tak didengar apalagi terbalas.

"Oh iya, apa minggu ini kau bisa urus jadwal keluar? Aku tidak sabar ingin meniduri salah satu wanita koleksiku".

"Ternyata penjara tidak pernah membantumu melupakan mainan-mainan itu. Tugasku hanya merenovasi dan membangun rumah yang lebih mewah, serta menyingkirkan gulma-gulma yang menghalangi perluasannya. Itu saja".

"Apa kau tidak mau membantu ayahmu menemukan mainannya?" satu lagi pertanyaan yang mengambang.

"Aih, anak sialan! Kau bahkan tau aku bisa mati tanpa mainan-mainan itu" gerutu pria tambun dengan nada kesal.

"Terserah, laporanku selesai. Jaga dirimu baik-baik, jangan sampai penjara itu membunuhmu"
"Hei, tunggu. Aku belum selesai bicara, Raka!" seruan yang tidak didengar itu hanya menjadi salam perpisahan. Pemuda dihadapannya pergi dengan wajah tampannya yang tak berekspresi.

"Ish anak nakal itu, ternyata dia masih mengkhawatirkanku" ia bergumam sembari memperhatikan sebuah punggung tegap yang nampak menjauhinya.

"Kau harus kembali ke sel", pria tambun mengangguk. Seorang sipir lantas membawanya kembali ke kamar dingin berbintang 'zero' itu.
.
.
.
.
.
[SMAN 5 Ordem]

"Alma!" gadis bermata hazel itu spontan berbalik. Seorang gadis lain mencoba menghampirinya dengan setengah berlari. Alma terdiam, menunggu sapaan dari sahabatnya itu.

"Akhirnya...." ungkapan yang diselingi nafas pendek-pendek itu terdengar kesal.
"Jalanmu cepat sekali Alma, apa ada roket di sepatumu?" Alma menggelengkan kepalanya polos.

"Ok, aku harus duduk. Bicara denganmu membutuhkan energi besar. Ckckck, rasanya kecantikan itu tidak berpengaruh pada kepintaran seseorang. Oh Tuhan, skenariomu...." gadis itu mengedarkan pandangan dengan mata coklatnya.
"Ketemu!" serunya setelah menemukan tempat yang cocok untuk duduk, kemudian menarik Alma ke sampingnya.

"Aku punya kabar baik"
"Apa?", akhirnya Alma mengeluarkan suaranya.

"Fasya ulangtahun, dan dia mengundang seisi sekolah untuk berpesta di rumahnya"
"Terus?" yang ditanya menarik rambut pendeknya dengan kesal_frustasi.

"Maksud aku Alma, bagaimana kalau kita datang? Aku yakin Fasya pasti senang"
"Aku gak mau" Alma mengambil handphone lantas membuka game favoritnya.

"Anak ini...." gumam sahabatnya kesal.

"Rinka" gadis berambut pendek itu merasa terpanggil.
"Aku capek jadi penggemar, melihat Fasya sama seperti melihat kebodohanku sendiri. Sampai kapan pun, Fasya hanya milik Sa...." Rinka langsung memeluk sahabatnya, dia sadar gadis itu tidak akan sanggup meneruskan kalimatnya.

"Menangislah, Alma" gadis hazel itu perlahan membasahi pundak sahabatnya.

"Malam ini kita pergi shopping aja ya". Alma menggeleng dalam pelukannya,
"Terus mau kemana?"
"Tidur" jawaban Alma terkesan tidak menyenangkan.

"Aduh, hidupku. Oranglain berpesta ria dan aku hanya tidur? Membosankan sekali, oh Tuhan wajah cantikku bisa mubadzir...." Alma terkekeh geli dengan kalimat sahabatnya.

"Dan kau, kenapa kau tertawa peri jahat? Kau menghancurkan malam indahku, rasanya aku akan mati jomblo malam ini. Ah tidak, aku tidak mau mati jomblo" Rinka bertingkah konyol dengan memeragakan kata-katanya. Mereka lantas tertawa bersama.
.
.
.
.
.
[Kediaman Pratama]

Rumah yang selalu sunyi itu tiba-tiba ramai, banyak orang hilir-mudik untuk menata setiap sudut ruangan, menghiasnya dengan berbagai perlengkapan pesta.

"Akhirnya selesai, aku yakin Fasya pasti senang" ucap Miya puas.

Miya adalah gadis yang merencanakan pesta megah itu. Semenjak ibu Fasya meninggal, Miya yang hanya berumur tiga tahun lebih tua dari pemuda itu telah bertransformasi menjadi kakak perempuan yang baik. Walau mereka tidak memiliki ikatan darah, Miya tetap menyayangi keluarga Pratama dengan sepenuh hati.

"Bi, Fasya mana?" teriakan itu membuat Miya menoleh. Selain Fasya, pemuda di depannya adalah salah satu alasan terbesar untuk mencintai keluarga Pratama.

"Kamu udah pulang, Raka?" pertanyaan itu hanya dibalas dengan tatapan datar. Miya sadar bahwa pertanyaannya tidak berguna, Raka sudah ada di rumah itu, untuk apa ditanya lagi.

"Kamu udah makan?" pertanyaan kedua, dijawab oleh anggukan.
"Oh...." Miya merasa mati kutu.

"Fasya mana?" pertanyaan itu keluar dengan nada dingin, tapi Miya tetap tertarik untuk menjawabnya.
"Masih di sekolah, aku menata semuanya. Bagaimana menurutmu?" Raka melirik setiap sudut, ada yang aneh.

Dia melangkah menuju sudut ruangan yang dibuat layaknya panggung, memperhatikan sketsa wajah yang tadi pagi ia temui.

"Jangan pasang yang ini" salah satu sketsa berbingkai kaca itu ditutup, sehingga tinggal tiga sketsa yang masih tersisa _wajah Fasya, ayah, dan ibunya_

"Kenapa?" tanya Miya sedih.
"Aku tidak niat bergabung di pesta, jadi untuk apa memasangnya" Raka melangkah ke lantai dua, menuju kamarnya dan meninggalkan Miya yang sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Gadis itu sadar, yang diucapkan Raka adalah sebuah keputusan mutlak.
.
.
.
.
.
[SMA 5 Ordem]

"Alma!" ini kedua kalinya gadis itu dipanggil dari kejauhan, namun oleh dua orang yang berbeda.

Alma menoleh, dia mengenal suara bariton yang memanggilnya. Suara yang dia puja selama tiga tahun ini, Fasya.

"Hei" pemuda itu sudah berdiri di depannya.
"Hei" entah kenapa Alma merasa salah tingkah. Sesekali ia menyelipkan rambut sisa kuncirannya ke belakang telinga. Wajah gadis cantik itu perlahan merona.

"Mau datang ke pesta ulangtahunku?" Alma terhenyak, ragu.
"Jangan bilang gak datang" kata-kata Fasya mengurungkan penolakannya.

"Ok, jam berapa?" tanya gadis itu mantap, di sisi lain dia membayangkan Rinka yang akan kegirangan saat mendengar berita ini.

"Jam 7 malam, di rumahku. Datang ya" Fasya memberikan senyum terbaiknya.
"Oh iya, aku pergi dulu ya".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar