Rabu, 16 Maret 2016

Membual untuk Kesekian Kalinya

"Apa kamu sakit melihatnya tertawa riang bersama wanita lain?"
"Iya, sedikit. Mungkin, aku gak tau"

"Apa kamu ikhlas kalau ternyata dia pacaran sama salah satu saudara kamu?"
"Ikhlas, cuma paling ngerasa kehilangan aja"

"Menurut kamu, profesionalitas atau perasaan?"
"Profesionalitas, walau ternyata biasanya secara nggak sengaja aku malah mendahulukan perasaan"
.
.
Tiga pertanyaan, tiga jawaban untuk malam ini. Tentang kisah yang belum berakhir, tentang Yudan-Ja dan februari-nya.

Hari ke-230 dari 1000 hari yang telah kuproyeksikan.

Lucu, ternyata sebagian besar hari itu kuhabiskan dengan memikirkanmu, bukan memikirkannya. Padahal niat hati 1000 hari itu kusiapkan untuk melupakan atau menguatkan perasaan kepadanya.

Aduh manusia!

Iya, mungkin itu semua terjadi karena aku hanyalah manusia. Yang hanya memiliki pensil untuk menulis, sedang Tuhan tetap jadi pemilik penghapusnya.

Entah, aku bisa bilang apalagi. Aku jemu, berpikir mengenai sesuatu yang tidak seharusnya terpikirkan. Berpikir sendiri mengenai kisah yang tidak berjudul.

Aduh bodoh!

Aku terlalu bodoh untuk bersikap seperti wanita dewasa yang elegan, apalagi di hadapan seorang pria.

Aku masih senang berbicara sesuka hati, lantas bertindak seingin diri.

Aku terlalu banyak bicara --"
Hingga terkesan sebagai pembual ulung.

Konyol, ini semua konyol.
.
.
Kami berjalan beriringan, bersebelas, di tengah malam yang temaram sehabis hujan.

Aku memainkan syal dengan menunduk, hingga Diana menepuk pundak dan bertanya.

"Kamu kenapa?"
"Menyerah kayaknya, Di"
"Jangan sakit, kamu tidak akan pernah tersakiti selama kamu tidak membiarkan siapapun untuk menyakitimu". Aku tersenyum, kata-kata yang bijak, sayang bukan untukku.

Iya, tidak ada yang berusaha untuk menyakitiku. Ini hanya skenario palsu yang kuciptakan sendiri. Tidak ada yang salah selain isi kepalaku, semua baik-baik saja. But its fearless,

Hanya saja, aku memang menyerah. Menyerah untuk berpikir mengenai ketidakprofesional-an ini. Aku lupa bahwa ikatan emosional itu tidak seharusnya dinodai oleh ikatan yang lain. Aku terlalu jauh menulis, hingga lupa genre apa yang seharusnya kumainkan. Aku terlalu jauh berpikir, hingga lupa alur cerita yang seharusnya kuikuti.

Iya, malam ini aku berniat untuk menyerah.

Hanya tidak berjanji, takut membual lagi seperti hari kemarin.

Tapi setidaknya niat ini sedikit berbeda, tersaksikan. Terima kasih, ayo kita kembali ke lembar awal, saat secara tulus aku berusaha untuk menjadi saudara yang baik.

Semoga aku tidak sedang membual, membual untuk ke sekian kalinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar