Jumat, 25 Maret 2016

Sial!

Aku merebahkan kepalaku di atas lengan kanannya, menatap langit-langit kamar, di tengah senja yang menua.

Tiba-tiba dia memelukku lantas mengatakan 'rindu'.
Aku terdiam, bingung kemudian ragu.

"Kenapa?"
"Gapapa, pengen meluk aja"
"Kamu kenapa?" aku mengulang pertanyaan sebelumnya.
"Gak tau, kangen aja sama kamu"

Lantas puncak gunung es dalam hatiku sedikit mencair.

Aku menarik nafas panjang, seakan mengeluarkan sisa-sisa kecanggungan dalam hati.

"Hhhh, ayo kita kayak gini aja" ucapku ringan.
"Iya" gumamnya pelan, lantas kita terdiam beberapa saat, sibuk dengan pikiran masing-masing.

Entah apa yang tengah menganggu pikirannya, dia kembali memelukku, lebih erat hingga terasa menyesakkan.

Bernafas teratur hingga acak, tepat di atas ubun-ubunku.

Aku berusaha melirik, mendongkak dan sedikit berupaya melepaskan diri dari pelukannya. Mata kami bertemu, lantas saling menatap lebih dalam.

Secara tidak sadar Sang Waktu menggiring kami untuk lebih dekat, bahkan terlalu dekat.

Kami hampir melakukannya, namun aku segera mengalihkan pandangan seraya mengumpat pelan ''sial''.

Aku mengutuk tiga hal: kepolosan, rasa penasaran, dan kebodohanku.

Dia mengecup keningku lembut, hingga kami kembali terjebak dalam diam.

Entah bagaimana caranya, wajah kami kembali mendekat, terlalu dekat.

Semua terjadi, dengan cepat, bahkan terlalu cepat.

"Kesalahanku!"

Lantas semua terhenti, sebelum terlalu jauh.

"Maafin kakak, Nad". Dia memelukku spontan dengan pelukan menyesal. Dan tanpa sengaja aku menangis, merasa aneh serta bersalah.

"Shuuut, jangan nangis". Dia mengusap kepalaku, mencairkan situasi, tapi gagal. Aku masih menangis, linglung, dan tak sengaja membuatnya menambah penyesalan.

"Kakak jahat ya, Nad?"
Pertanyaan yang racau, namun tanpa sadar aku mengangguk_mengiyakan.

"Maaf...." kata yang terucap dengan sendu, menusuk.

Kemudian tangisan sedu yang lain terdengar, bukan dariku, aku berusaha mendongkakkan kepalaku namun tertahan. Dia memelukku terlalu erat, menahan agar tidak bisa melihatnya.

"Kakak kenapa?" pertanyaan bodoh pertama.
"Udah kamu diem aja, Nad"
"Kenapa?" pertanyaan bodoh kedua, suara yang terdengar sayup karena berusaha menerobos pelukannya.

Aku menyerah, patuh.

"Kamu udah sayang sama kakak, tapi malah kakak kecewain. Maaf ya, Nad. Harusnya aku bisa nahan diri".

Lantas puncak gunung es dalam hatiku kembali mencair.

"Maafin aku kak" ucapku kemudian. Penyesalanku bertambah, rasanya menyedihkan karena tanpa sengaja membuatnya bersedih.

Entahlah.
Rasanya memang tidak adil, tapi ini semua jelas kesalahan kami berdua. Terlalu dekat membuat emosi kami semakin besar, lantas tertaut.

Ah sial. Tetaplah disini, jangan buat aku rindu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar