Nenek itu
menatap jalanan lengang di depannya dengan mata kosong, entah apa yang tengah
ia pikirkan. Sesekali tangannnya meraup bungkus cemilan yang ia jual sendiri.
Langit memang sedang mendung, bahkan beberapa air kasihnya telah jatuh
menyejukkan bumi sedari tadi. Suasana begitu mungkin membuat nenek itu merasa
lapar, atau mungkin bosan ? Karena tak seorangpun pembeli menghampirinya untuk
sekedar menyapa atau bahkan membeli.
Nenek itu
memang sering disini, berjualan makanan ringan yang juga ber-budget ringan
(khas sekali dengan kantong makhluk-makhluk kost’an). Ia selalu ramah,
tersenyum pada siapapun yang memandangnya. Senyum itu juga seringkali dibumbui
dengan kalimat penawaran yang terdengar lembut. Mungkin usia telah menjadikan
suaranya terdengar lebih bijak bak seorang ibu atau nenek pada umumnya.
Khayalanku
terbang jauh, jujur saja aku kurang mendengarkan diskusi angkatan kala itu.
Maklum, ada yang lebih menarik bung ! :D
Aku heran
kenapa nenek itu memiliki nasib demikian. Dalam kondisi demikian sebenarnya
siapa yang harus dipersalahkan ? Takdir atau diri kita sendiri. Akh tapi
sepertinya aku merapat ke pemikiran Aliran Qadariyah saja (haha, maafkan
muridmu ini Pak Nurul Fajri/ Read : guru Akidah Akhlak Esa).
“Tuhan
tidak akan pernah mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang
mengubahnya”. Sepertinya kita harus berlari lebih kencang lagi Bro, menjauh
dari garis kekurangan yang
begitu dekat dengan orang-orang yang kurang beruntung. Kita mungkin bergelimang harta hari ini, tapi punya
siapa ? Kebanyakan dari kita cuma bisa ngaku harta orangtuanya saja. So, mungkin cara
yang paling tepat untuk semuanya adalah ‘Pendidikan’. Ya, sudah jadi rahasia
umum kalau pendidikan yang bermutu bisa membawa kita kepada harta, tahta, dan
.... (you know what I mean). Tapi harta, tahta dan .... (temannya) belum tentu
akan membawa kita kepada pendidikan yang bermutu.
Tolak
ukur bermutu di atas juga tidak harus selalu ditunjukan dengan keberadaan kita di ruang kelas yang
mewah, buku paket yang banyak dan berkualitas, belajar secara bilingual,
dsb. Tapi bermutu disini artinya dilihat dari seberapa kuat tekad kita untuk
meningkatkan kualitas diri melalui pendidikan. Tidak harus serius (karena itu
membosankan), hanya perlu santai tapi pendidikan selesai dengan hasil memuaskan
(konsep pendidikan itu meresap ke dalam otak, bukan ke dalam buku catatan
saja).
Ok, akhirnya ucapan
terimakasih layak Esa sampaikan kepada nenek itu. Karena diamnya mengajarkan
kita mengenai satu hal yang bermakna. Biarkanlah takdir dan bahagia yang
merangkul nenek itu, tentunya dengan
syarat ikhlas yang ia pegang teguh. Semoga akan ada banyak orang lagi yang
belajar dari nenek itu, mengenai apapun yang lebih berarti daripada yang Esa
tulis :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar