Minggu, 08 Maret 2015

Nenek Itu



Nenek itu menatap jalanan lengang di depannya dengan mata kosong, entah apa yang tengah ia pikirkan. Sesekali tangannnya meraup bungkus cemilan yang ia jual sendiri. Langit memang sedang mendung, bahkan beberapa air kasihnya telah jatuh menyejukkan bumi sedari tadi. Suasana begitu mungkin membuat nenek itu merasa lapar, atau mungkin bosan ? Karena tak seorangpun pembeli menghampirinya untuk sekedar menyapa atau bahkan membeli.
Nenek itu memang sering disini, berjualan makanan ringan yang juga ber-budget ringan (khas sekali dengan kantong makhluk-makhluk kost’an). Ia selalu ramah, tersenyum pada siapapun yang memandangnya. Senyum itu juga seringkali dibumbui dengan kalimat penawaran yang terdengar lembut. Mungkin usia telah menjadikan suaranya terdengar lebih bijak bak seorang ibu atau nenek pada umumnya.
Khayalanku terbang jauh, jujur saja aku kurang mendengarkan diskusi angkatan kala itu. Maklum, ada yang lebih menarik bung ! :D
Aku heran kenapa nenek itu memiliki nasib demikian. Dalam kondisi demikian sebenarnya siapa yang harus dipersalahkan ? Takdir atau diri kita sendiri. Akh tapi sepertinya aku merapat ke pemikiran Aliran Qadariyah saja (haha, maafkan muridmu ini Pak Nurul Fajri/ Read : guru Akidah Akhlak Esa).
“Tuhan tidak akan pernah mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya”. Sepertinya kita harus berlari lebih kencang lagi Bro, menjauh dari garis kekurangan yang begitu dekat dengan orang-orang yang kurang beruntung. Kita mungkin bergelimang harta hari ini, tapi punya siapa ? Kebanyakan dari kita cuma bisa ngaku harta orangtuanya saja. So, mungkin cara yang paling tepat untuk semuanya adalah ‘Pendidikan’. Ya, sudah jadi rahasia umum kalau pendidikan yang bermutu bisa membawa kita kepada harta, tahta, dan .... (you know what I mean). Tapi harta, tahta dan .... (temannya) belum tentu akan membawa kita kepada pendidikan yang bermutu.
Tolak ukur bermutu di atas juga tidak harus selalu ditunjukan dengan keberadaan kita di ruang kelas yang mewah, buku paket yang banyak dan berkualitas, belajar secara bilingual, dsb. Tapi bermutu disini artinya dilihat dari seberapa kuat tekad kita untuk meningkatkan kualitas diri melalui pendidikan. Tidak harus serius (karena itu membosankan), hanya perlu santai tapi pendidikan selesai dengan hasil memuaskan (konsep pendidikan itu meresap ke dalam otak, bukan ke dalam buku catatan saja).
Ok, akhirnya ucapan terimakasih layak Esa sampaikan kepada nenek itu. Karena diamnya mengajarkan kita mengenai satu hal yang bermakna. Biarkanlah takdir dan bahagia yang merangkul nenek itu,  tentunya dengan syarat ikhlas yang ia pegang teguh. Semoga akan ada banyak orang lagi yang belajar dari nenek itu, mengenai apapun yang lebih berarti daripada yang Esa tulis :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar