Kamis, 16 April 2015

Ayah Gadis Itu

Malam yang senyap menemani seorang gadis pemuja sepi memandang kembali jalan hidupnya. Kehidupan saat ia belajar mengenai makna kebencian dan kesal_kehidupan yang kelam dan beku, yang ternyata akhirnya mencetak kepribadian yang  dingin dan tidak suka berbasa-basi. Kehidupan seorang gadis kecil.

Gadis kecil itu serampangan, hanya melakukan apa yang ia suka, tertawa lepas dengan menggenggam sahabatnya, memukul dan menendang mereka yang iseng dan menyebalkan (termasuk laki-laki dengan lidah tajam dan tangan yang gatal).

Tidak salah, gadis kecil itu memang mendapatkan pendidikan serupa di rumahnya. Diperdengarkan teriakan dan caci maki, diperlihatkan tangis dan pukulan, diperkenalkan kepada kebencian.

Awalnya, hari Jumat adalah hari yang ia suka. Hari untuk jajan lebih banyak dari biasanya. Hari untuk bertemu ayah.

Besar sekali keinginannya untuk dipeluk oleh sang Ayah, tapi tidak bisa. Ia tidak pernah mendapatkannya, bahkan keinginannya untuk sering mendapat usapan kepala juga tidak terlaksana. Ya, yang gadis kecil itu tau ayahnya memang bukanlah seorang pria yang manis budi, ramah atau romantis. Ayahnya itu salah satu pria yang cukup kasar, kaku dan jarang berkata manis. Ayah gadis itu beruntung karena menikahi wanita yang ia cintai, namun ternyata sakit juga hidup dengan orang yang sama sekali tidak mencintainya.

Ayah gadis itu pulang pergi Bogor – Sukabumi demi menghidupi istri dan anaknya. Berjuang dengan tenaga yang tersisa di dalam tubuhnya. Seringkali peluhnya bercucuran saat di tengah hari yang terik ia masih harus tetap bekerja. Namun karena jauhnya jarak dengan keluarga membuat mata ayah gadis itu khilaf, melirik wanita-wanita nakal Kota Hujan. Eh, ntah darimana wanita-wanita itu berasal, yang jelas pengkhianatan itu sudah cukup menanamkan bom waktu dalam dada istri dan gadis kecilnya.

Ayah gadis itu, pria yang tidak bisa mengatakan rasa sayangnya. Bahkan di suatu hari yang cerah, saat anaknya pulang membawa hadiah rangking 1 di sekolahnya, pria itu dengan santainya berkata bahwa itu hal yang biasa. Sontak gadis kecil itu marah dalam hati, mengutuk tindakannya diam-diam. Menanam sedikit benci kepada ayahnya sendiri.

Ayah gadis itu, pria yang mendidik keluarganya dengan dingin dan keras. Dengan tamparan dan teriakan. Dengan hening dan pergi.

Ternyata Tuhan mungkin sengaja menganugerahkan pria itu untuk keluarganya. Ternyata waktu memberi luang untuk semua mengerti arah tindakannya. Ayah gadis itu ternyata dermawan, bahkan lebih dermawan sehingga mendahulukan oranglain dibanding keluarganya. Ayah gadis itu juga ramah, kepada oranglain sehingga mereka selalu memanggilnya untuk membantu menyelesaikan masalah kelompok. Ayah gadis itu juga hangat dan lunak di dalam hatinya. Bagai seekor kerang dibalik cangkangnya, halus dan mengandung mutiara.

Kini gadis kecil itu mengerti semua yang Tuhan gariskan untuknya. Gadis kecil itu tau maksud Tuhan, Tuhan yang sengaja memberinya ayah yang begitu. Buktinya, dengan begitu dia bisa meraih lebih banyak prestasi. Mengerti alur kehidupan, bahkan sangat mencintai apa yang pernah ia benci. Ya, kini gadis kecil yang telah beranjak dewasa itu malah merindukan sang Ayah. Sang ayah yang mengajarkannya arti bangkit saat terjatuh, kuat saat kecewa dan berjuang saat semua meragukan. Rasa terimakasih rasanya ingin gadis itu teriakan di tengah malam ini. Merobek gulita dengan kata yang sama yang tidak bisa dikatakan ayah dalam dunia nyata. Kata-kata cinta dan kerinduan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar