Kamis, 25 Februari 2016

Yudan-Ja di Hari ke-212

Secara logika, aku tidak pernah mengharapkan apapun darimu, mencintaimu dengan cara seperti ini sudah terasa sangat cukup. Melihatmu bisa tertawa adalah hal yang spesial dan candu, sekalipun tawa itu tidak terjadi bersamaku. Iya, kau harus selalu baik-baik saja_agar sisa-sisa keresahan tidak pernah menempel di dalam hati yang kedinginan
.
.
Sesekali aku memperhatikan kedua kelopak matamu yang tertutup, sesekali juga mengalihkan pandangan dan berusaha mengambil nafas panjang untuk membunuh perasaan canggung_yang juga miris.

Seakan kita hanya mampu berbicara saat malam, dalam kelam dan hening.

Dengan perasaan ragu bukan main, kuusap kembali kepalamu yang katanya sedikit pening. Aku memaklumi, mungkin kau memang lelah menjalani hari yang melelahkan itu. Walau ragu, aku hanya tengah berusaha mencairkan hati dan membuatmu lebih baik.

Hening, yang sebenarnya tidak, kau menyalakan sebuah radio dengan keras_hingga suaranya memenuhi ruangan dengan jendela berlukis Kota Bandung yang temaram.

Sesekali kau bergumam, namun kutegur_biarkan aku menikmati hening yang nampak kabur, biarkan aku sedikit berpikir tentang kita.

Aku menarik nafas lagi, lebih panjang_lantas menghembuskan rasa ragu dalam benak. Aku ingin menegurmu tentang satu hal.

"Kak, masa Dina ngirim aku foto ini" kau membuka mata lantas menoleh.
"Foto apa? Gak keliatan"
"Ini lho". Sejenak memicingkan mata dan seakan berpikir.

"Kenapa harus dikirim ke aku coba yah" gumamku dengan nada riang.

Hening.

"Kakak kayak kucing, seneng banget diusap-usap kepalanya. Hahaha"

Diam.

"Makanya jangan pindah-pindah tangan" saranku sambil iseng mengetuk-ngetuk kepalamu.

"Kamu marah?", wushhh seakan ada angin gunung yang kencang berhembus di balik tubuhku_dingin, tapi wajahku malah memanas.

"Nggak, aku cuma nyaranin aja. Jangan pindah-pindah tangan kalau mau diusapin, nanti orang-orang mengira kakak jahat. Eh bukan sih, maksud aku, nanti orang-orang salah faham dan mengira kalau kakak kesana-kemari", jawabku asal sambil tertunduk.

Dari sudut mata, dengan samar aku bisa melihatmu sibuk memperhatikan tingkahku yang konyol dan itu malah membuatku semakin tertunduk.

Kau meraih tanganku dan mengusapnya lembut.

"Ya udah, maaf ya udah pindah-pindah tangan". Aku menoleh,  dan dengan jelas melihat matamu berbinar.

Aku tidak pernah bisa mengartikan apa makna dari binar mata itu, karena seakan kau tidak pernah memberikanku kesempatan untuk mengartikannya berdasarkan fikiranku sendiri. Iya,  kau selalu begitu_bertindak secara abu-abu.

Sayang, binar mata itu selalu bisa melumpuhkan.

Kau menutup mata dan menggenggam tanganku kembali. Seakan memeluk, menaruhnya tepat di hadapan wajah_hingga dengan jelas aku bisa merasakan setiap helaan nafas dari hidungmu.

Sebagian otakku menolak_karena ini adalah hal yang salah, aku tidak pernah diajarkan untuk berlaku demikian.

Namun sebagiannya lagi menyerah_membiarkan diri larut dalam kegelisahan yang lebih besar.

Aku ingin menangis.
Aku juga ingin tau apa yang tengah kau pikirkan.

Hening.
Sibuk dengan pikiran masing-masing.

Tangan kiriku sibuk memegang kepala yang mendadak berat, aku tertunduk untuk ke sekian kalinya.

Sedang kau menatap bisu lapisan udara di hadapanmu, lantas dengan ragu menutup dan membuka mata bergantian.

Kita terdiam (lagi) dan hening merajai hingga menghimpit dalam beku.

Lantas kau menyandarkan kepalamu, menutup mata lagi_tapi lebih lama
.
.
Beberapa menit kemudian semua berakhir, dan seperti biasa_perpisahan kita selalu meninggalkan rasa bingung dan keraguan.

Iya, aku bingung bagaimana harus bersikap. Kau selalu menempatkanku di posisi yang salah, membuatku tidak profesional.

Kau mampu bersikap biasa_tapi aku harus selalu berusaha bersikap biasa.

Entahlah
.
.
.
Minggu, 28 Februari 2016
Rumah Kemarin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar